Mubadalah.id – Untuk perayaan Hari Perempuan Internasional tahun ini (2021), Rumah Kitab memilih tema “Merayakan Keragaman Kerja Perempuan”. Sesuai dengan tema Internasional Women’s Daya (IWD), Choose to Challenge, Rumah Kitab menggarisbawahi tekanan pada pentingnya untuk “Berani “Menantang”/ “Choose to Challenge” sebagai pilihan aksi kami. Hal yang hendak ditantang adalah apapun yang menyebabkan perempuan kehilangan hak-hak mereka untuk bekerja.
“Beranti Menantang”/ “Choose to Challenge” dalam IWD kali ini, menurut pandangan kami adalah segala sesuatu yang menghalangi perempuan bekerja yang disebabkan oleh prasangka gender, praktik diskriminasi yang berlindung di balik budaya, tradisi, pandangan agama, atau bahkan infrastruktur yang bias terhadap perempuan. Semua itu secara berkelindan telah atau dapat menghalangi hak perempuan bekerja. Dan itulah yang seharusnya ditantang.
Isu perempuan bekerja punya kaitan historis dengan IWD. Di peralihan abad ke 20, setelah revolusi industri, terjadi perubahan dahsyat dalam hubungan-hubungan gender di tingkat keluarga akibat munculnya industrialisasi. Lahirnya mesin-mesin dan terbukanya peluang bekerja bagi perempuan di ruang publik ternyata tak secara otomatis menyejahterakannya.
Ini disebabkan oleh bias gender yang melahirkan praktik-praktik diskriminasi berbasis prasangka terhadap perempuan. Bagi masyarakat luas pada awal abad ke 20 itu, ditemukannya mesin-mesin industri telah mengubah hubungan-hubungan gender dalam keluarga yang sekaligus memunculkan beban ganda kepada perempuan.
Pada tahun 1909, sejumlah perempuan di Inggris yang diinisiasi Partai Buruh mulai menyadari hal itu; perempuan bekerja lebih panjang karena harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga sebagai bagian dari peran tradisional mereka yang mereka terima sebagai ajaran Gereja. Kaum perempuan bekerja namun dengan asumsi sebagai pencari nafkah tambahan, karena sebagai pencari nafkah utamanya adalah lelaki.
Perempuan rentan mengalami perumahan ketika produksi pabrik menurun, rentan kekerasan seksual, tak mendapat perlindungan kerja yang sesuai dengan peran reproduksi mereka, tanpa ruang istirahat yang memadai. Para perempuan pekerja ini kemudian memelopori menggalang hak perempuan bekerja untuk aman dalam menjalankan perannya.
Sebuah demonstrasi besar di Eropa muncul dipicu oleh peristiwa kebakaran pabrik di London yang telah menelan 146 perempuan. Mereka terperangkap di dalam pabkrik akibat sistem pengawasan pekerja yang buruk yang membatasi akses mereka ke luar pabrik.
Dimotori oleh para pekerja sendiri dan oleh gagasan-gagasan pemikiran feminis yang lahir pada awal abad itu, gerakan buruh mendapatkan “suplai pengetahuan, analisis kritis tentang penindasan berbasis prasangka gender sekaligus cara aksinya” yang kemudian membentuk teori dan sekaligus praksis feminis.
Kampanye-kampanye tentang hak-hak buruh ini terus digulirkan di antara antara kaum pekerja di dua benua Eropa dan Amerika. Tahun 1910 aksi kaum buruh yang dimulai pada 8 Maret itu, dan berlanjut pada hari-hari berikutnya kemudian ditandai sebagai “Hari Perempuan Internasional”. Namun secara resmi HPI/ IWD baru diresmikan PBB lebih dari setengah abad kemudian, pada 8 Maret 1975!.
Dengan melihat sejarah IWD, kita tahu bahwa yang diperjuangkan oleh pada aktivis perempuan pendahulu adalah soal Hak Perempuan Bekerja. Pengalaman perempuan di Eropa ini menginspirasai kaum perempuan terpelajar di negara-negara jajahan yang memiliki kontak melalui buku-buku bacaan dan majalah. Namun di negara jajahan seperti India, Indonesia, sejumlah negara di Afrika, serta negara-negara berpenduduk Muslim seperti di Mesir, probem yang dihadapi kaum perempuan itu dirasakan lebih kompleks lagi.
Mereka menghadapi budaya dan agama yang lebih kokoh menghalangi kebebasan kaum perempuan. Belum lagi persoalan yang dihadapi sebagai negara jajahan yang memiliki agenda-agenda besar untuk kemerdekaan. Dua kepentingan itu- kebebasan perempuan dari penindasan budaya/ pandangan agama dan tradisi, dan kebebasan sebagai bangsa, harus dijalin dan dianyam oleh perempuan sebagai agenda ganda perjuangan mereka.
Dalam konteks kekinian IWD, isu itu menjadi semakin relevan dan penting mengingat tantangan yang dihadapi. Tema Choose to Challange dalam IWD tahun ini sangatlah penting mengingat ragam tantangan yang menghalangi perempuan bekerja.
Secara teori, terutama dari teori-teori besar pembangunan, terdapat sebuah asumsi yang patut diuji. Teorinya adalah, semakin maju suatu masyarakat, dan semakin baik pendidikan suatu negara, maka dengan sendirinya akan semakin baik keadaan perempuan sebagai konsekwensi dari akselerasi pendidikan mereka. Akselerasi pendidikan seharusnya terhubung dengan capaian kesejahteranan mereka.
Namun bagi perempuan hal itu tak senantiasa berkorelasi. Keterbukaan akses pekerjaan kepada perempuan tanpa pendidikan yang memadai menempatkan mereka menjadi tenaga kerja murah dalam industri-industri masal, atau menjadi tenaga kerja migran. Namun karena mereka tak mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang hak-haknya sebagai manusia yang seharusnya disediakan oleh negara, mereka kemudian mengalami dehumanisasi.
Contoh lain adalah ketika terjadi perubahan alih fungsi dan kepemilikan lahan dari pertanian tradisional ke industri pertanian seperti perkebunan sawit atau tambang, warga di mana terjadinya perubahan itu, secara stuktural mengalami proses pemiskinan.
Capaian pendidikan dan permintaan pasar memberi peluang kepada perempuan untuk bekerja. Namun relasi gender di tingkat keluarga seringkali stagnan, tidak berubah. Hal ini telah memunculkan beban kerja berlipat ganda kepada perempuan. Dan karena pekerjaan perempuan tak selalu dapat dilaju atau dikerjakan secara rangkap, pekerjaan rumah tangga itu kemudian disubstitusikan kepada anak perempuan mereka.
Masalahnya, alih-alih mencari solusi yang logis atas perubahan-perubahan itu, pilihan gampang yang ditempuh adalah menarik mundur perempuan untuk kembali ke peran tradisional mereka. Penarikan mereka itu tak dilandasi oleh perubahan sosial dan di perubahan ruang publik yang telah berubah.
Ketika ruang publik tempat perempuan bekerja dianggap tidak aman, mereka tidak diberi pilihan untuk mendapatkan ruang aman mereka yang seharusnya disediakan korporasi dan negara, melainkan ditarik kembali ke peran tradisional yang telah didefinisikan sebelumnya oleh pandangan keagamaan dan budaya yang tak responsif terhadap perubahan zaman itu.
Inilah bacaan kami atas tantangan itu. Untuk itu sangatlah penting untuk kembali ke kredo awal IWD: bekerja adalah hak setiap orang, lelaki maupun perempuan. Norma-norma gender yang diskriminatif, layanan infrastruktur yang bias gender, yang tidak responif kepada kebutuhan perempuan, serta menguatnya pandangan keagamaan yang konservatif, yang menyebabkan perempuan rentan kehilangan hak-haknya untuk bekerja di luar rumah, harus dilawan!
Dan itulah tantangan yang harus kita jawab. Sebab, bekerja adalah HAK, tak terkecuali bagi kaum perempuan! Selamat Hari Perempuan Internasional! []