Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu saya melihat rentetan Story Intagram salah seorang teman perempuan, ia menumpahkan segala keluh-kesah, jengkel, dan kedongkolan yang dia alami. Terus dilanjuti dengan beberapa balasan dari teman-temannya yang turut menimpali dan turut serta kesal atas postingannya.
Agar tidak kehilangan konteks problemnya, akan saya bahas detailnya. Teman saya adalah lulusan pesantren, lanjut merantau di kota besar, hingga akhirnya lanjut studi Sarjana dan Masternya di China. Dan beroleh penghasilan dari sana melalui mengajar, dan mengerjakan proyek sana-sini lainnya. Kemudian dari hasil pendapatannya pun ia bagikan kepada orang tua beserta adik-adiknya.
Belum lagi menurut penuturannya, di daerah di mana dia berasal, jangankan perempuan seumurannya, yang lebih muda darinya pun telah banyak yang berkeluarga dan memiliki anak. Sementara dia emang masih belum nikah, dan tentu saja belum juga punya anak. Intinya dia menjalani tantangan perempuan yang berbeda dan melawan pakem di daerahnya.
Dia juga jarang pulang, kalaupun pulang pastinya hanya sebentar. Hanya untuk “memecahkan celengan rindu” yang sekian lama dia tabung untuk sekadar bertemu sanak keluarganya. Kemudian desas-desus yang muncul ke permukaan mengenai dia beserta keluarganya bahwa dia jauh-jauh merantau hanya untuk menjadi perempuan enggak bener. Lalu keluarganya pun tertuduh memelihara tuyul karena mendapatkan kiriman dari anaknya, sementara warga di sekitar sana katanya sering kehilangan sesuatu.
“Anaknya kok dibiarin jauh-jauh, paling kerja ga bener” “kok bisa si jadi guru tapi gajinya segede itu, guru yang bagaimana nih?”, “Duh kok belum nikah anaknya padahal perempuan seusianya udah pada punya anak.” Kira-kira begitu gema letupan kiri kanannya.
Tantangan Menjadi Perempuan
Desakan nikah dari kanan kiri datang bukan hanya sekali, melainkan bertubi-tubi dan menjadi bahan obrolan untuk sekadar bertegur sapa basa-basi. Padahal tidak pernah ada interaksi sama sekali sebelumnya. Maklum tantangan perempuan seusianya sudah menikah dan telah memiliki anak. Menjadi buah bibir lantaran nggak menikah seolah menjadi aib.
Perlu kita garisbawahi, aib di sini hanyalah seolah-olah, bukan aib dalam arti yang sebenarnya. Sebab menjadi tantangan perempuan desa yang berusia 25 tahun dianggap perawan tua. Bahkan ada anggapan bahwa di usia segitu tidak akan ada laki-laki yang ingin mempersuntingnya. Sadar atau tidak, anggapan-anggapan seperti ini masih hidup dan lestari di omongan orang-orang kebanyakan, khususnya lingkungan pedesaan.
Jadi kalau ada seorang perempuan yang keluar dari kampung halamannya untuk merantau di kota-kota besar, apalagi di luar negeri nun jauh di sana yang tidak pernah mereka kunjungi kecuali hanya melalui televisi, ditambah lagi memiliki karir yang moncer, behh potensial menjadi buah bibir tetangganya.
Fenomena semacam ini begitu berulang, ketika subjeknya perempuan. Berbeda ketika laki-laki yang menjadi subjeknya. Laki-laki hampir selalu mendapatkan kemakluman dan kewajaran ketika mau merantau, tinggal gas aja, tanpa fafifu ini itu, bahkan mau keluar negeri sekalipun.
Seolah jalan menjadi mulus dan keberuntungan berpihak pada laki-laki. Meskipun laki-laki juga kerap mendapatkan pertanyaan “kapan ini atau kapan itu” yang nyaris sama, tapi tetap tidak seriuh-ramai yang perempuan alami.
Andai Terlahir sebagai Perempuan
Sekali lagi, kalau saja terlahir sebagai perempuan. Jangankan ke luar negeri, ketika hendak merantau untuk menuntut ilmu di kota besar saja ada orang tua yang tidak pasrah. Lebih banyak khawatirnya ketika perempuan yang merantau ketimbang anak laki-laki. Ruang gerak perempuan terkungkung oleh lingkungan beserta keluarganya.
Pertanyaan yang muncul kemudian, “Mengapa ketika perempuan berkarir hampir selalu mendapat perlakuan yang menyudutkan?” Bahkan untuk sekadar menuntut ilmu di kota-kota besar yang banyak perguruan tinggi, mereka kerap mendapat larangan dari orang tuanya?
Orang tua khawatir anaknya mendapat pergaulan beresiko, dan kemudian mengalami kehamilan tidak diinginkan. Perasaan was-was itu sebenarnya tidak salah, melihat realita lapangan yang memang menunjukkan banyak terjadi tantangan perempuan yang demikian. Saya juga paham kalau orang tua ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Tapi upaya generalisasi dari satu kasus negatif untuk memandang buruk semua keadaan lain juga sangat problematis.
Setali Tiga Sumur Kasur Dapur
Sehingga lahirlah anggapan umum terhadap perempuan bahwa mereka harus di rumah, perempuan juga mesti di dapur, perempuan harus menikah sebelum umur 25, lalu punya anak. Kalaupun setali tiga ini terlaksana, bukan berarti akan terlepas dari pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang akan selalu bermunculan dengan konteks dan bahan yang berbeda pula.
Setali tiga ini seolah-olah menjadikan tupoksi perempuan yang hanya berkutat pada ranah dapur, sumur, dan kasur. Atau akademikus biasa menyebutnya dengan ‘wilayah domestik’. Sementara untuk sektor publik adalah wilayah laki-laki. Sehingga konstruksi sosial yang mengakar terhadap tupoksi perempuan seolah telah menjadi takdir dan kodrat yang melekat pada diri perempuan.
Sadar atau tidak, fenomena semacam ini terjadi dan hidup di tengah-tengah kita. Padahal kalau kata Najwa Shihab Kodrat perempuan itu hanya tiga; pertama, menstruasi, kedua, mengandung, dan terakhir adalah menyusui. Dah itu saja.
Mau setinggi apapun pendidikannya, semelejit bagaimanapun karirnya, dan sejauh mana pun kakinya melangkah itu merupakan hak yang sama-sama orang miliki, tanpa pandang bulu dan kelamin. Termasuk pilihan waktu kapan ia akan menikah adalah pilihan hidup masing-masing.
Menikah dan Tuntutan terhadap Perempuan
Saya juga tahu tuntutan menikah di umur segitu memang lagi kencang-kencangnya. Saya juga paham kalau menikah itu ibarat ibadah puasa yang harus disegerakan. Tapi satu hal yang juga perlu kita sadari bahwa kumandang Maghrib di bumi tidaklah serentak.
Menikah juga bukan siapa yang tercepat, ini bukan tentang siapa yang menang dan kalah, apalagi sebagai bentuk persaingan dengan yang lain. Semua ada waktunya. Tak perlu khawatir dengan anggapan orang-orang, menikah bukan tujuan hidup tapi bagian dari hidup itu sendiri.
Jadi kalau ada anggapan perempuan di usia segitu belum menikah, anggap saja menikah itu seperti halnya mati, sudah ada waktu dan garisan takdirnya. Betapapun kesalnya, meski sama-sama takdir, tapi nggak mungkin kan kita membalasnya dengan balik bertanya kapan Anda mati?
Dengan begitu, perempuan yang ingin menempuh pendidikan tinggi merupakan haknya, begitupun merantau di tempat mana pun yang mereka mau juga merupakan haknya. Sejauh itu memberikan manfaat untuk dirinya, keluarga, dan yang lainnya, mengapa harus kita halang-halangi?
Mengapa harus menjadi buah bibir yang enggak-enggak? Kita tidak pernah tahu kebenaran di balik apa yang kita bicarakan. Terpenting tidak merugikan orang lain.
Daripada ngobrolin yang belum jelas kebenarannya, bukannya lebih baik cari kegiatan lain yang lebih bermanfaat. []