Mubadalah.id – Selepas kemenangan pasukan kaum muslimin dalam perang Badar, kaum kafir Quraisy tidak tinggal diam begitu saja. Kekalahan yang menimpa mereka menimbulkan dendam yang ingin segera dilimpahkan kepada kaum muslimin. Maka, terjadilah perang Uhud pada 7 Syawal tahun ke-3 Hijriah, bertepatan pada tanggal 23 Maret 625 M.
Pertempuran sengit yang terjadi di lembah utara Gunung Uhud ini mengakibatkan gugurnya sejumlah pasukan Muslim sebagai syuhada. Salah satu syuhada tersebut adalah Hanzalah bin Abu Amir, suami dari Jamilah binti Abdullah. Dari sinilah kisah perempuan mulia yang mendampingi pahlawan Islam mulai terkenal.
Berbeda Keyakinan dengan Ayahnya
Sosok perempuan ini bernama Jamilah, Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay merupakan salah satu orang munafik yang memusuhi Rasulullah SAW. Awalnya, ia merupakan tokoh pembesar di kota Madinah. Setelah kedatangan Nabi Muhammad di kota tersebut, para pengikutnya banyak yang mulai memeluk agama Islam. Ia merasa bahwa kedatangan Rasulullah SAW di Madinah menurunkan reputasinya secara perlahan.
Karena itulah dia menyimpan kedengkian yang luar biasa terhadap Rasulullah. Meskipun secara lahiriah dia menyatakan diri sebagai pemeluk agama Islam, tindakannya menunjukkan bahwa semua itu hanyalah kepura-puraan untuk menjaga pengaruh dan posisinya di tengah masyarakat Madinah.
Bukti kemunafikan yang pernah ia lakukan adalah mengajak mundur sejumlah tiga ratus pasukan saat perang Uhud. Pasukan muslim yang awalnya berjumlah sekitar seribu orang berkurang menjadi tujuh ratus orang karena propaganda yang disebarkan oleh Abdullah bin Ubay.
Perilaku munafik Abdullah bin Ubay tidak serta merta mempengaruhi keturunannya untuk melakukan kejahatan yang sama. Putrinya, Jamilah binti Abdullah, berbaiat kepada Nabi Muhammad dan menjadi pemeluk Islam yang taat.
Berbeda dengan ayahnya, Jamilah binti Abdullah adalah sosok muslimah yang salihah dan tergolong sebagai orang yang beriman. Hal ini menunjukkan bahwa hidayah yang Allah berikan kepada hamba-hambanya tidaklah tergantung pada garis keturunan.
Dipersunting oleh Ksatria Perang Uhud
Ketaatan Jamilah dalam menunaikan ajaran Islam dengan penuh cinta dan kesadaran menjadi jalan dipersatukannya ia dengan sosok laki-laki saleh yang sama-sama memiliki visi untuk terus berjuang di jalan Allah. Akad nikah tersebut berlanjut dengan pesta pernikahan yang membuat kota Madinah begitu semarak. Sebab, mereka adalah anak dari dua pembesar Madinah pada masa itu yang bersatu dalam ikatan pernikahan.
Akan tetapi, kebahagiaan yang baru saja menghiasi kota tersebut tidak berlangsung lama. Berita tentang datangnya pasukan Quraisy yang terdiri dari tiga ribu tentara tersebar di penjuru kota. Terjadilah pertentangan antara dua kubu: satu kubu ingin tetap bertahan di dalam kota Madinah, sedangkan kubu yang lain ingin menemui musuh dan bertempur di medan perang.
Karena suara mereka yang ingin melawan lebih dominan, akhirnya Rasulullah SAW menyetujuinya. Saat itu pasukan muslim hanya terdiri dari seribu orang yang bersiaga, sangat tidak seimbang dibandingkan dengan total pasukan besar kafir Quraisy.
Setelah disatukan oleh ikatan sakral bernama pernikahan, Hanzalah dan Jamilah merayakan cinta mereka. Pada malam itu, mereka berbagi ruang, cerita, dan keheningan untuk pertama kalinya. Keduanya tahu bahwa besok Hanzalah harus bergabung dalam pasukan kaum muslimin.
Meskipun masih menyandang status sebagai pengantin baru, ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk ikut andil dalam melawan musuh-musuh Allah. Istrinya, Jamilah, pun mengizinkannya untuk pergi dalam pertempuran tersebut. Allah menghendaki bahwa malam tersebut adalah malam pertama sekaligus terakhir bagi mereka.
Bergabung dalam Pertempuran dengan Semangat Jihad yang Kuat
Matahari baru saja terbit. Hanzalah segera menyusul pasukan muslim yang sudah siaga menuju medan perang. Dia pergi jauh meninggalkan kota Madinah dalam keadaan junub. Hal yang terjadi di sana sungguh mengejutkannya. Ayahanda Jamilah berdiri tegak di antara ratusan pasukan yang dia bawa.
Alih-alih mengobarkan semangat jihad, dia justru menyebarkan propaganda kepada ratusan prajurit tersebut untuk mundur dari medan perang dan meninggalkan Rasulullah begitu saja. Pasukan muslimin yang mulanya berjumlah seribu orang, kini kehilangan sepertiga dari kekuatan yang diharapkan.
Melihat mertuanya sendiri melakukan pengkhianatan, Hanzalah tetap teguh pada keimanannya. Dia terus menguatkan hatinya untuk membela kebenaran. Namun, dia menyaksikan hal lain yang lebih menyesakkan dadanya. Ayahnya sendiri, Abu Amir, terlihat jelas bergabung dalam pasukan kafir Quraisy.
Pertempuran semakin berkecamuk. Hanzalah menghadapi pedang-pedang yang hendak menikam tubuhnya. Dia berhadapan langsung dengan Abu Sufyan yang menjadi panglima tertinggi Perang Uhud dari pasukan Makkah. Abu Sufyan memiliki seorang putra yang juga bernama Hanzalah—dan ia tewas di medan perang.
Karena itu, dendam yang ada di hatinya semakin memuncak. Dia tak menyia-nyiakan kesempatannya saat berhadapan dengan Hanzalah yang lain. Namun, lihatlah, Hanzalah benar-benar kuat. Dia mampu mengimbangi orang yang notabenenya adalah panglima tertinggi.
Abu Sufyan justru terlihat kewalahan menghadapinya. Dari kejauhan, seorang prajurit dari pasukan Quraisy yang bernama Syaddad datang ke arah mereka. Ia berniat membantu Abu Sufyan untuk menghabisi Hanzalah. Saat itu, Hanzalah fokus menangkis pedang yang dilayangkan berkali-kali oleh Abu Sufyan. Dia tak menyadari kehadiran Syaddad yang segera mengambil kesempatan itu dan berhasil menikamnya dari belakang.
Hanzalah terbunuh dengan luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya. Jamilah yang baru saja menjadi pengantin baru selama sehari telah kehilangan suaminya tercinta ini. Dari pernikahannya dengan Hanzalah yang hanya sehari itu, dia dikaruniai anak yang kelak diberi nama Abdullah.
Kembali Diuji dengan Perpisahan di Medan Perang
Setelah Jamilah melahirkan putranya, dia menikah lagi dengan seorang sahabat yang bernama Tsabit bin Qais. Dia adalah sosok yang selalu menjadi garda terdepan untuk membela Nabi SAW. Laki-laki ini terkenal dengan kepiawaiannya dalam berpidato dan berpuisi untuk melawan hinaan dan tuduhan yang seringkali terlontarkan kepada Islam.
Pada masa pemerintahan sahabat Abu Bakar, muncullah seorang nabi palsu di Yamamah. Ia bernama Musailamah Al-Kadzab. Bergabunglah Tsabit dalam pasukan besar untuk memerangi musuh tersebut. Dipimpin oleh Khalid bin Walid, pasukan muslim menjalani pertempuran sengit dengan jumlah orang yang lebih sedikit dibandingkan dengan pasukan musuh.
Meskipun begitu, kaum muslimin berhasil memenangkan peperangan ini dan membunuh Musailamah Al-Kadzab. Kemenangan ini dibayar mahal dengan terbunuhnya beberapa tokoh dari kaum Muslimin. Salah satu orang yang gugur sebagai syuhada adalah suaminya Jamilah, Tsabit bin Qais. Maka, sempurna sekali kisah perempuan ini dalam menemani dua ksatria Islam semasa hidupnya.
Dari pernikahan Jamilah binti Abdullah dan Tsabit bin Qais, lahirlah seorang putra yang bernama Muhammad bin Tsabit. Kelak, anak ini juga syahid di medan perang bersama dengan saudara seibunya, Abdullah bin Hanzalah. Jadi, Jamilah tidak hanya seorang istri dari para syuhada, namun juga seorang ibu yang melahirkan dua ksatria hebat. []