Mubadalah.id – Orang-orang berkata perempuan yang sudah siap menikah bisa dilihat dari caranya membuat kopi yang disajikan pada orang lain. Kalau tidak pandai meracik perpaduan kopi dan gula, maka sudah pasti bukan perempuan ideal untuk dinikahi? Ketika mendengar ini, saya seketika menganga sekaligus heran. Sejak kapan kopi menjadi tolak ukur siap tidaknya seorang perempuan untuk menikah? Walaupun, sering dijadikan bahan bercandaan, tapi saya risih dengan pendapat yang cenderung merendahkan.
Teman perempuan yang sekantor dengan saya pun mengungkapkan penyesalannya, kala di usia yang sekarang sudah memasuki awal duapuluhan, tapi tak tahu cara membuat kopi yang pas untuk dinikmati oleh orang lain. Ia berkata kira-kira seperti ini, “Kak, aku udah dewasa tapi gak tahu cara buat kopi, rasanya sangat malu, apabila orang tahu dan membicarakan diriku hanya karena kopi, apalagi sambil ngeledek belum siap nikah selama masih gak tahu meracik kopi.”
Seketika saya menyela dan menyakinkan dirinya bahwa kopi bukan tolak ukur siap atau tidaknya seorang perempuan untuk menikah. Kopi ya kopi. Pernikahan ya pernikahan. Mana ada melihat keberhasilan pernikahan seseorang bermodal hanya sebatas meracik kopi. menikah itu hal yang sangat kompleks melebihi racikan kopi yang sekali seduh langsung dinikmati hingga tandas.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana saudara perempuan kita yang di luar sana, yang dinikahkan dengan semata-mata dianggap siap hanya karena telah pandai mengurus pekerjaan rumah tangga—termasuk meracik kopi yang sesuai takaran ala selera tiap lidah orang yang menikmati. Mengurus pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai bekal yang paling penting untuk dimiliki oleh perempuan daripada pengetahuan yang lain. Padahal, pandai mengurus urusan dapur tak menjamin kehidupan pernikahan yang utuh dan bahagia.
Terbukti dalam Catahu Komnas Perempuan tahun 2020, bahwa KDRT yang terjadi dalam lingkup ranah privasi masih mendominasi. Kekerasan terbanyak meliputi kekerasan psikis sebanyak 42%, diikuti kekerasan fisik, ekonomi dan seksual yang kerapkali terjadi dalam ranah keluarga. Dan, kaum perempuan adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban akibat KDRT yang dilakukan oleh pasangan mereka.
Hal ini tak terlepas dari cara pandang yang cenderung bias gender dan menempatkan perempuan sebagai sosok yang inferioritas, dan tak berhak atas dirinya sendiri karena telah menjadi milik suami, saat menikah nanti. Relasi rumah tangga yang tak menempatkan relasi suami-istri yang sama-sama subjek penuh kehidupan bukan subjek-objek turut serta akan memiliki pengaruh yang besar terhadap rumah tangga yang dijalani.
Kita juga perlu tahu kalau dalam membangun pernikahan yang ideal tak hanya sekedar tentang kepandaian mengurus rumah tangga yang lebih banyak dibebankan pada perempuan ketimbang laki-laki. Padahal, urusan domestik merupakan tanggung jawab bersama suami-istri. Alih-alih menuntut perempuan untuk pandai untuk membuat kopi, akan lebih baik apabila anak perempuan diberi akses untuk belajar dan memperkaya diri dengan pengetahuan, yang nantinya bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Dalam sebuah hadits yang berbunyi, “Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah sanggup menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu obat pengekang nafsunya. (Muttafaq’alih)” Menganjurkan kita untuk memiliki kesiapan yang matang baik dari segi jasmani, rohani dan finansial, apabila hendak ingin menikah.
Dikutip dari Tirto.id, Menurut Kepala BKKBN—Hasto Wardoyo ada sepuluh poin dimensi kesiapan yang wajib dimiliki oleh setiap invidu sebelum menikah diantaranya; kesiapan usia, fisik, finansial, mental, emosi, sosial, moral, interpersonal, keterampilan hidup, dan intelektual. Nah, kesiapan ini penting agar bisa mewujudkan rumah tangga yang sesuai anjuran agama yakni keluarga yang sakinah.
Kesiapan fisik, psikis dan finansial sudah sepatutnya dijadikan barometer yang tepat untuk menilai kesiapan seseorang untuk menikah ataupun tidak. Bukan menjadikan tiga aspek ini sebagai tolak ukur untuk memaksa perempuan untuk harus segera menikah. Toh, memilih menikah atau tidak merupakan urusan privasi masing-masing orang. Apalagi urusan racik-meracik kopi, itu bukan sesuatu yang perlu semua perempuan tahu membuatnya. Sebab, membuat rumah tangga yang ideal sesuai dengan apa yang diinginkan tak semudah membuat kopi. []