Mubadalah.id – Ramadan adalah bulan yang memiliki makna sangat penting bagi umat Muslim di seluruh dunia. Di mana Ramadan merupakan bulan penuh berkah dan sangat istimewa.
Pada bulan Ramadan umat Muslim dianjurkan untuk memperbanyak ibadah selain ibadah wajib. Namun, saat ini bulan Ramadan berhadapan dengan fenomena kapitalisme.
Para pelaku bisnis mencoba memanfaatkan momen Ramadan untuk kepentingan bisnis dan meraih keuntungan materi. Praktik ini dikenal sebagai Kapitalisme Ramadan, di mana suasana ibadah berubah menjadi ajang komersialisasi.
Misalnya, saat menjelang bulan Ramadan semua media sosial dan marketplace akan dipenuhi oleh konten promosi untuk produk-produk ‘Ramadan’ seperti pakaian muslim, mukenah, dan lain sebagainya.
Fenomena ini seolah-olah menjadi norma baru yang harus diterima oleh masyarakat. Bahkan momen Ramadan seringkali menjadi ajang pamer barang-barang baru.
Komersialisasi Ramadan dapat mengaburkan makna sebenarnya dari bulan suci ini. Ramadan seharusnya menjadi waktu untuk introspeksi diri, beribadah, dan berbuat kebajikan. Namun, banyaknya iklan, promosi, dan penawaran menarik selama bulan ini seringkali membuat masyarakat lupa akan esensi Ramadan yang sebenarnya.
Meningkatnya Konsumerisme
Kapitalisme Ramadan akan berdampak pada meningkatnya konsumsi atau pembelian yang berlebihan. Masyarakat didorong untuk terus berbelanja melebihi kebutuhan sebenarnya. Pelaku bisnis mempromosikan barang-barang mereka secara masif dengan iming-iming promo banting harga atau diskon.
Penawaran harga yang lebih murah dari pasaran tentu saja akan membuat masyarakat tertarik untuk membeli walaupun tidak membutuhkan barang tersebut.
Pembelian secara berlebihan ini biasanya pada item fashion dan membuat masyarakat terjebak pada fenomena fast fashion.
Fast fashion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan model bisnis di industri mode yang meniru tren terkini dengan cepat dan memproduksinya secara massal dengan harga yang murah. Tujuannya adalah untuk menawarkan banyak pilihan pakaian yang selalu up-to-date kepada konsumen, sehingga mendorong mereka untuk terus membeli pakaian baru.
Mengikuti tren terkini seolah sudah menjadi gaya hidup masyarakat. Mereka merasa perlu untuk terus memperbarui barang-barang mereka agar tidak ketinggalan zaman.
Hal tersebut tentu saja berdampak buruk pada lingkungan dan sumber daya alam. Di mana akan semakin banyak sampah pakaian dan penggunaan sumber daya alam yang berlebihan untuk memenuhi permintaan pasar.
Ramadan: Momen Tepat untuk Menahan Hawa Nafsu
Pada bulan Ramadan umat Muslim menjalankan ibadah wajib yakni puasa. Puasa kita lakukan dengan menahan diri dari makan, minum, nafsu, dan segala sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Menahan hawa nafsu salah satu di antaranya adalah mengendalikan keinginan duniawi, seperti; Tidak berlebihan mengejar kenikmatan duniawi, tidak tamak dan rakus terhadap harta benda, dan mencukupkan diri dengan apa yang ada dan tidak selalu merasa kurang.
Berbelanja secara berlebihan adalah cermin dari mengejar kenikmatan duniawi, tamak dan rakus terhadap harta benda, dan selalu merasa kurang dengan yang ada.
Tindakan impulsif untuk berbelanja karena harga murah merupakan tindakan yang kurang bijak dan tidak mencerminkan sedang menahan hawa nafsu saat menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Komersialisasi Ramadan kerap membuat masyarakat melupakan esensi yang sesungguhnya dari bulan suci ini.
Seharusnya Ramadan menjadi ajang untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta bukan menjadi ajang menumpuk harta benda.
Sudah saatnya untuk menormalisasi memakai barang-barang lama yang masih dalam kondisi baik dan tidak harus memakai barang baru setiap tahunnya.
Konsumerisme Memperparah Ketimpangan Sosial
Konsumerisme juga memperdalam ketidaksetaraan sosial. Hal ini dengan jelas menunjukkan perbedaan antara kelompok masyarakat yang mampu mengikuti gaya hidup konsumtif dan mereka yang tidak mampu.
Masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi memiliki kemampuan untuk mengonsumsi barang dan jasa yang lebih banyak dan mewah. Sementara itu, masyarakat berpenghasilan rendah hanya mampu membeli barang-barang yang paling penting. Perbedaan daya beli ini menciptakan kesenjangan dalam standar hidup dan akses terhadap fasilitas dan layanan.
Konsumerisme juga mempromosikan gaya hidup mewah dan glamor melalui iklan dan media sosial. Hal ini dapat memicu rasa iri dan tidak puas pada masyarakat yang tidak mampu mengikuti gaya hidup tersebut. Akibatnya, timbul perasaan tidak adil dan ketegangan sosial.
Konsumerisme mendorong orang untuk berutang demi memenuhi keinginan konsumsinya. Jika tidak dikelola dengan baik, utang dapat menjadi beban yang berat dan menyebabkan kemiskinan.
Hal tersebut juga menggeser nilai-nilai sosial yang lebih penting seperti gotong royong, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama. Masyarakat menjadi lebih individualistis.
Padahal, salah satu tujuan Ramadan adalah untuk menumbuhkan rasa empati dan kepedulian terhadap sesama, terutama bagi mereka yang kurang beruntung.
Oleh karena itu, maraknya konsumerisme selama bulan Ramadan sebenarnya bertentangan dengan semangat kebersamaan yang seharusnya diutamakan.
Esensi Bulan Ramadan
Pada bulan suci sebaiknya kita fokus untuk beribadah dan melakukan kebaikan bukan pada konsumerisme yang memiliki banyak dampak negatif.
Daripada mengikuti arus dan terjebak dalam fast fashion, kita bisa memilih untuk berkontribusi dalam ekonomi yang berkelanjutan, membeli produk yang ramah lingkungan dan mendukung umkm lokal.
Sebagai penutup, kita semua harus menyadari bahwa Ramadan adalah kesempatan istimewa yang hanya datang setahun sekali. Ini adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki diri, mendekatkan diri kepada Tuhan, dan berbuat baik kepada sesama.
Dengan menjauhi konsumerisme Ramadan dan menjalani bulan suci ini dengan tulus dan sungguh-sungguh, kita akan mendapatkan hikmah dan keberkahan yang sebenarnya. Kita juga akan menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat serta lingkungan sekitar.[]