Mubadalah.id – Namanya Diana, gadis manis yang aku kenal tak sengaja ketika pulang kuliah. Kami bertemu di angkutan umum. Sering berjumpa lalu kami saling bertegur sapa. Ternyata kami masih satu kampus, tapi lebih dulu saya 3 tahun. Artinya dia mahasiswa baru, sedangkan aku sudah masuk semester tujuh, masa-masa kritis menjelang lulus kuliah. Aku mencintainya.
Aku tak ingin bicara tentang bagaimana aku akhirnya bisa wisuda dan mendapatkan gelar sarjana. Tetapi aku akan berkisah mengapa aku menunda rencana pernikahan, karena jatuh cinta pada sosok Diana lalu aku memilih setia.
Kami saling membantu melengkapi kekurangan kami. Saling menguatkan di saat dalam kesulitan, dan saling mengingatkan di kala keberuntungan datang. Kami sepakat menjalankan konsep kebersalingan ini, untuk mencapai keluarga yang bahagia lahir dan batin.
Sejak perkenalan, kami menjadi semakin dekat. Meski tak selalu pergi bersama, kami selalu menyempatkan diri untuk bertemu, sekadar makan bersama di kantin kampus. Keinginanku untuk bisa melamar dan menikahinya sudah pernah aku sampaikan. Diana hanya menjawab, “jika Abang mencintaiku pasti mau menunggu selama apapun, sampai aku siap nanti”.
Dan aku bersabar menunggu hingga saatnya tiba. Hari bahagia yang dimimpikan semua lelaki. Menikahi perempuan yang dicintai. Mengikat janji sehidup semati di depan orang tua, keluarga, kerabat dan sahabat.
Satu tahun kemudian aku lulus kuliah dan resmi menyandang gelar sarjana. Keinginan untuk melamar Diana aku utarakan kembali. Diana masih memintaku untuk bersabar menunggu, karena Diana masih harus menyelesaikan kuliahnya.
“Abang Rasyid sudah jadi sarjana, maka aku juga harus bisa mengikuti jejak Abang. Bisa lulus kuliah tepat waktu. Aku gak mau kalah dong sama Abang. Syukur Alhamdulillah kalau sampai dapat nilai memuaskan.”
Begitu seringkali Diana bicara setiap kali ku ajak menikah. Karena aku mencintainya dan aku memilih setia menanti hari bahagia itu tiba.
Bergelar sarjana ternyata bukan jaminan mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Bahkan aku harus bersaing dengan banyak pelamar kerja dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta. Cinta Diana memberiku semangat. Aku harus bekerja keras agar mampu mewujudkan mimpi membangun rumah tangga dengan pondasi ekonomi yang kuat, sehingga mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga.
Satu tahun setelah lulus akhirnya aku diterima bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta. Keinginan untuk menikahi Diana pun muncul kembali. Karena aku semakin percaya diri setelah memiliki penghasilan tetap.
Ketika Diana tengah menyelesaikan skripsi, aku katakan lagi rencana pernikahan yang sudah aku mimpikan sejak lama. Diana hanya diam lalu mengatakan “Abang aku minta waktu untuk berpikir. Karena keputusan menikah itu tak mudah. Banyak hal yang harus kita pertimbangkan bersama. Bagaimana kehidupan kita nanti setelah menikah. Abang, menikah itu gak gampang lho. Tidak sekedar kita akad nikah, bikin resepsi mengundang banyak orang untuk merestui setelah itu selesai begitu saja.”
Mendengar jawaban Diana aku merasa dipermainkan. Lalu dengan menahan emosi aku bilang pada Diana apakah dia tidak mencintaiku? Apakah selama ini kesetiaanku menunggunya tak cukup menjadi bukti bahwa aku serius ingin menikahinya.
Aku ingin menjadikan Diana satu-satunya perempuan dalam hidupku. Ingin Diana jadi ibu bagi anak-anakku. Ingin saat aku terpejam Diana orang terakhir yang aku tatap matanya. Ingin saat aku terbangun dari tidur Diana orang pertama yang aku lihat. Tapi karena cinta aku tak sanggup mengatakannya. Aku hanya bisa bergumam lirih.
“Berapa hari waktu yang kamu minta Diana? Abang akan penuhi. Yang penting kamu mau menikah dengan Abang”.
Sebelum aku beranjak pulang, Diana menjawab dengan tegas, “tiga hari cukup, Bang. Aku juga akan istikhoroh dan meminta pertimbangan orang tua”.
Setelah aku pamit pergi masih sempat aku dengar Diana bicara “Terima kasih Bang Rasyid sudah mencintaiku. Terima kasih sudah mau memahamiku”.
Tiga hari waktu yang diberikan Diana akhirnya tiba. Aku datang menemuinya dengan harapan mendapatkan jawab atas segala penantian panjangku selama ini. Sebelum aku bertanya, Diana sudah terlebih dahulu bicara. Bahwa Diana juga mencintaiku sama halnya dengan aku mencintainya.
Bahwa komitmen pernikahan tidak hanya di dunia, tetapi juga dipertanggujawabkan bahkan hingga akhirat. Bahwa kehidupan manusia sesungguhnya terjadi setelah berrumah tangga.
“Abang Rasyid, aku ingin pernikahan ini menjadi pernikahan sekali seumur hidupku. Aku ingin menyiapkan banyak hal dulu sebelum kita masuk ke gerbang pernikahan. Setelah lulus kuliah nanti baru aku bisa ikut masuk menjadi bagian rencanamu. Karena hari ini aku masih ingin menyelesaikan kuliah dulu.”
Dengan jelas Diana memberi jawaban. Karena aku mencintainya dan memilih setia, maka aku tetap menunggu hingga Diana selesai kuliah, dan bersama-sama merencanakan masa depan kami berdua.
Selang lima bulan kemudian Diana wisuda. Aku datang kembali menemui Diana sekaligus kedua orang tuanya. Diana seperti ingat janjinya padaku beberapa bulan yang lalu. Dengan senyum manisnya Diana mengatakan, “Bang Rasyid terima kasih sudah mau menunggu. Terima kasih telah mencintaiku tanpa tapi. Kini aku siap menjadi bagian rencanamu. Kapan Abang akan datang ke rumah dan melamarku?”
Ah, kalimat yang indah sekali. Bahkan aku tak ingin beranjak pergi dari sisinya. Ingin selalu bersamanya di dalam ruang dan waktu.
Setelah acara lamaran dan memutuskan waktu pernikahan, aku dan Diana mulai merencanakan konsep rumah tangga yang akan kami jalani nanti. Dua manusia yang berbeda watak, tabiat, sikap dan perilaku akan hidup bersama dalam satu atap.
Kami saling membantu melengkapi kekurangan kami. Saling menguatkan di saat dalam kesulitan, dan saling mengingatkan di kala keberuntungan datang. Kami sepakat menjalankan konsep kebersalingan ini, untuk mencapai keluarga yang bahagia lahir dan batin.
Ketika tiba waktunya hari bahagia itu. Betapa tak terlukiskan rasa cinta yang aku miliki. Perempuan yang selama ini aku tunggu telah resmi menjadi pendamping, partner seumur hidup untuk merawat, mengasuh dan mendidik anak-anak kelak.
Kami sudah menyatukan langkah mengarungi bahtera rumah tangga, samudera kehidupan yang luas tak berkesudahan. Dengan ikrar pernikahan ini, janji suci yang kami buat di hadapan Tuhan dengan disaksikan seluruh orang yang hadir, menjadi awal perjalanan kami berikutnya.
Karena aku mencintainya dan aku memilih setia. Karena aku mencintainya, maka betapa indah ketika menikah sudah tepat pada waktunya.[]