“Bagi saya hanya ada dua macam kebangsawanan, bangsawan jiwa dan bangsawan budi. Pada pikiran saya tidak ada yang lebih gila, lebih bodoh daripada melihat orang-orang yang membanggakan apa yang disebut ‘keturunan bangsawan’ itu”.
Kalimat di atas mengutip dari surat Kartini kepada Nona E. H. Zeehandelaar, pada 18 Agustus 1899, yang merupakan penegasan dari keturunan bangsawan kala itu untuk mengubah pemikiran masyarakat tentang makna kebangsawanan sendiri. Hal ini Kartini lakukan karena pada masanya sosok keturunan bangsawan diagung-agungkan, dihormati, serta dipuja oleh masyarakat, dan mengabaikan perilaku serta pemikiran mereka sehari-hari.
Pernyataan dari kutipan surat itu mematahkan pemahaman bahwa bangsawan dilabelkan sebatas kepada mereka keturunan darah biru atau keluarga kerajaan. Akan tetapi menurut Kartini bangsawan adalah ketika seseorang berbudi luhur dan memiliki jiwa kemanusiaan yang mampu ditularkan kepada siapa saja. Sehingga manusia seutuhnya adalah mereka yang mampu memanusiakan manusia. Perjuangan kemanusiaan Kartini pada saat itu adalah dengan mengangkat derajat kaum perempuan akibat sikap feodal yang timbul di lingkungannya sendiri.
Melalui tulisan dan surat-suratnya Kartini menjadi perempuan pertama yang memperjuangkan kesetaraan bagi kaum perempuan waktu itu. Perjuangan emansipasi yang dilakukan Kartini dapat kita rasakan hingga saat ini, dimana seorang perempuan memiliki ruang yang sama untuk mengoptimalkan kemampuan dan cita-citanya di ranah publik.
Hal ini menjadikan perempuan dapat menularkan nilai-nilai kemanusiaan bagi lingkungannya tanpa terhalang oleh kurungan feodalisme yang menjerat hak-hak perempuan untuk menyuarakan pemikirannya dan mengambil peran diberbagai bidang pekerjaan.
Perjuangan sosok Kartini yang lahir di Jepara, 21 April 1879 ini dijadikan sebagai salah satu peringatan hari besar Nasional yakni Hari Kartini setiap 21 April. Sebagai suatu harapan lahirnya kartini-kartini baru yang tetap memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan dan kemanusiaan untuk martabat bangsanya sendiri.
Dapat dikatakan bahwa perjuangan Kartini belum selesai sebatas adanya emansipasi. Lebih dari itu nilai kesetaraan dan kemanusiaan menjadi hal besar yang diwarisakan untuk terus disuarakan dan diperjuangkan oleh kita generasi bangsa saat ini.
Terlepas dari itu semua ada hal penting yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini, maaf kalo sebelumnya saya ajak muter-muter dulu mengenang masa lalu sosok Kartini, karena sejarah dari masa lalu ada bukan hanya untuk dikenang tapi untuk dipahami esensi dan maknanya untuk kita saat ini.
Kartini di Tengah Pandemi
Peringatan Hari Kartini saat ini agaknya sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ya, ditahun 2020 Indonesia bahkan beberapa negara di dunia sedang tidak baik-baik saja. Wabah penyakit Covid-19 pada tanggal 11 Maret 2020 oleh WHO telah ditetapkan sebagai pandemi global, yang mengaharuskan kita untuk tetap di rumah saja dan mengurangi aktivitas di luar serta berkerumun dengan banyak orang.
Hal ini membuat kita tak dapat menemui adanya diskusi, nonton bareng film Kartini, atau event festival perempuan berkebaya untuk memperingati Hari Kartini. Kita nikmati Hari Kartini #dirumahsaja sebagai bentuk usaha kita meringankan beban tenaga medis dengan mengurangi penyebaran dari covid-19 itu sendiri.
Ditengah pandemi saat ini, kita yang berjuang dengan rebahan saja di rumah dapat melihat perjuangan tenaga medis untuk terus berada di garda terdepan melawan Covid-19. Khususnya perawat yang notabene adalah perempuan tetap setia pada amanah dan tanggung jawab mereka untuk merawat pasien.
Meskipun resiko mereka untuk tertular sangat besar, hingga saat ini tidak sedikit tenaga medis yang telah gugur melawan Covid-19. Bahkan mereka rela tidak menemui keluarganya untuk menghindari penularan dan tetap memberikan perawatan kepada pasien dengan harapan agar pasien dapat sembuh dan penyebaran penyakit ini dapat diminimalisir.
Bukan hal yang berlebihan jika kita menjadikan dokter dan perawat perempuan sebagai refleksi Kartini ditengah pandemi saat ini. Mengingat keistiqomahan mereka dengan peran yang mereka miliki untuk terus berjuang merawat pasien berperang melawan penyakit menular yang mematikan.
Esensi dari perjuangan Kartini untuk menebarkan nilai kemanusiaan dilakukan oleh para dokter dan perawat tanpa memikirkan latar belakang dari pasien, tanpa memikirkan apakah mereka akan tertular, tanpa memikirkan penambahan gaji atau apalah semacamnya. Mereka tetap tulus untuk bekerja dan menebarkan kebahagiaan agar pasien bisa sembuh dengan segera dan jumlahnya tidak lagi mengalami peningkatan.
Merefleksikan nilai juang Kartini ditengah pandemi juga dapat dilakukan oleh kita yang berada diluar lingkaran tenaga medis dan juga pemerintahan yang dapat mengeluarkan kebijakan. Sebagai kaum yang berjuang melalui rebahan, kita dapat terus menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang dilakukan Kartini dulu, melalui tulisan.
Selain itu, kita juga dapat berkolaborasi sesama komunitas untuk membentuk jaringan yang menyalurkan donasi kepada golongan rentan ekonomi dan terpapar Covid-19 ini. Mungkin bukan hal besar seperti yang dilakukan oleh tenaga medis, atau perjuangan melawan sikap feodal di lingkungannya sendiri seperti Kartini, namun setidaknya kita dapat memperjuangkan nilai-nilai kemanusian dari hal kecil yang masih dapat kita lakukan meskipun hanya di rumah saja.
Perjuangan Kartini untuk emansipasi memang sudah tuntas, dan banyak dapat kita rasakan buah perjuangannya di kehidupansaat ini. Akan tetapi untuk berjuang layaknya Kartini dalam menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan sudah tentu tak akan ada habisnya selama masih ada manusia di muka bumi. Hal ini yang harus menjadi pegangan bagi kita semua untuk terus menularkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah pandemi saat ini bagi siapa saja tanpa mempermasalahkan identitas dan latar belakang orang-orang disekitar kita, akan tetapi terus berjuang atas nama kemanusiaan.
Menumbuhkan kesalingan (mubaadalah) bukan hanya dalam relasi berpasangan dalam rumah tangga, akan tetapi juga dalam relasi dengan sesama manusia sebagai wujud nilai hablumminannas sebagai landasan utama, agar ketika kita mampu meningkatkan keimanan dan mendekat kepada Tuhan. Tidak lupa bahwa kita hanyalah sebatas manusia sebagai hamba yang terus berbenah dan beribadah kepadaNya. []