Indonesia berada dalam situasi darurat kekerasan seksual. Masih ingat dengan kasus Baiq Nuril? Tahun lalu kasus Baiq Nuril sempat ramai dan membuat warganet marah. Baiq Nuril adalah seorang korban pelecehan seksual yang dikriminalisasi pelaku dengan menggunakan pasal karet UU ITE.
Advokasi dan solidaritas dari berbagai pihak berhasil membangun kesadaran publik dan membangun tekanan publik untuk mencari penyelesaian atas kasus tersebut. Hasilnya, Baiq Nuril mendapatkan amnesti dari presiden meski ia diputus bersalah dan dikenal denda.
Namun, kasus Baiq Nuril merupakan satu dari banyaknya kasus kekerasan seksual lain yang tidak mendapat perhatian. Bagaimana dengan kasus-kasus lain yang tidak tersentuh perhatian publik itu? Bagaimana dengan korban-korban lain yang takut melaporkan pelaku karena takut berpotensi mengalami reviktimisasi seperti yang dialami Baiq Nuril?.
Baru-baru ini ada pemberitaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang psikiater yang mengaku sebagai Doktor Psikolog berinisial DS. DS melakukan pelecehan seksual kepada para pasiennya dengan modus melakukan terapi.
Banyak korban yang akhirnya mengungkap pelecehan seksual yang dilakukan DS dengan modus terapinya. Tetapi ketika kasusnya tersorot publik, para korban diancam dilaporkan dengan pasal karet UU ITE karena dianggap telah mencemarkan nama baik DS.
Komnas Perempuan telah mencatat banyak kasus kekerasan seksual, namun perlindungan untuk korban masih sangat minim. Terlebih sejak adanya UU ITE dengan pasal karet seperti pasal 27 ayat 1 dan ayat 3, korban kekerasan seksual rentan dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Tuduhan palsu atau false accusation ini banyak menimpa korban kekerasan seksual karena dianggap tidak memiliki bukti yang kuat.
Ancaman pelaku kekerasan sesksual kepada korban dengan tuduhan pencemaran nama baik dengan menggunakan pasal karet UU ITE membuat korban tidak mendapatkan akses keadilan yang dibutuhkan.
Belum adanya payung hukum yang secara spesifik mengatur kekerasan seksual. Selama ini rujukan yang sering digunakan KUHP pasal 285 untuk memproses kekerasan seksual hanya bisa mengenali kekerasan seksual bila ada kontak fisik. Bahkan untuk kasus kekerasan seksual yang paling parah seperti perkosaan dan pencabulan, definisinya hanya terbatas antara kelamin laki-laki dan kelamin perempuan.
Syarat bukti kekerasan seksual juga cukup sulit dikumpulkan seperti saksi kejadian, surat keterangan ahli dokter, psikologis, dan ahli hukum di mana tidak semua wilayah memiliki layanan hukum, medis, dan psikologis yang memadai. Serta layanan visum baik visum medis maupun visum psikologis yang belum tersedia di setiap wilayah.
Lalu jika kasusnya baru diungkap dan dilaporkan sekarang, biasanya, muncul pertanyaan, kenapa baru melaporkan sekarang dan kenapa saat kejadiannya korban tidak melawan atau menghindar agar tidak mengalami kekerasan?.
Begini, ya, korban mengalami kekerasan bukan berarti korban tidak melawan dan atau tidak menghindar saat kejadian. Menurut berbagai sumber, korban kekerasan seksual mengalami tonic immobility pada saat kejadian, yakni reaksi yang secara reflektif tak disengaja yang dipicu persepsi bahaya yang tak terhindarkan. Korban akan mengalami hambatan gerakan motorik yang dalam dan tidak responsif terhadap rangsangan eksternal.
Selain itu, korban kekerasan seksual seringkali dianggap menyebarkan aib orang lain dan membuat masa depan kehidupan pelaku menjadi hancur. Bagaimana dengan masa depan kehidupan korban?
Padahal, menceritakan kejadian yang dialami akan membantu mengurangi traumanya. Tapi tentu saja harus dengan kerelaan korban untuk menceritakannya sendiri dengan tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun.
Menceritakan kasus kekerasan seksual juga membantu menandai pelaku sehingga pelakunya dikenali banyak orang dan sekaligus mencegah agar tidak ada korban lagi.
Kita bisa membantu korban dengan mendengarkan ceritanya tanpa menghakimi, membantu mempertimbangkan risiko dengan tanpa memaksakan keputusan bagi korban, mendukung apapun pilihan yang akan diambilnya. Jika tidak bisa memberikan solusi, setidaknya kita tidak menambah beban dan masalah bagi korban dengan mengomentari, menghakimi, bahkan menyudutkan. []