Mubadalah.id – Bulan Ramadan sebaiknya menjadi momen penuh kehangatan antar umat muslim di dunia. Tapi, belum lama ini sebuah postingan di media sosial instagram membuat saya geram. Apa penyebabnya? Saya geram karena ada orang ngamuk-ngamuk ke warung yang buka di siang hari saat Bulan Ramadan.
Dalam video itu, tampak sekelompok warga, salah satu di antaranya membawa megafon, mendatangi sebuah warung yang masih buka di kala matahari memancarkan sinar terangnya.
Jika saya amati, mereka datang seolah-olah mereka menjadi manusia yang merasa paling benar sendiri. Para gerombolan tersebut melakukan tindakan perusakan terhadap fasilitas warung. Yang lebih memprihatinkan, mereka melakukan perusakan warung sambil melantunkan selawat, ini mirip-mirip seperti orang mengucapkan kalimat takbir tapi digunakan untuk “membunuh orang” dengan dalih jihad, menyerang, demo dan juga untuk kepentingan golongan tertentu.
Di saat salah satu dari mereka memimpin selawat sembari melakukan perusakan warung, segerombolan orang yang lain mengikutinya dan membiarkan perbuatannya seolah mendukung tindakan tak terpuji tersebut. Aksi mereka viral di media sosial, dan banyak netizen, termasuk saya, yang menyayangkan perbuatan tersebut.
Aksi serupa sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Setiap tahunnya, pasti ada kaum-kaum, kelompok, komunitas atau ormas, yang melakukan sweeping warung-warung yang masih buka di siang hari Bulan Ramadan. Ketika warung yang buka siang hari tidak terang-terangan pun masih jadi bulan-bulanan warga, bagaimana dengan warung-warung yang buka secara terang-terangan?
Islam itu Toleransi Bukan Menghakimi
Ramadan seharusnya jadi momen untuk saling menghargai, bukan malah menghakimi, baik antar sesama muslim, maupun antar warga negara. Apa salahnya orang muslim membuka warung di siang bolong saat Bulan Ramadan? Toh mereka melakukannya tidak secara terang-terangan, alias ada kain penutup di depan warung. Hal ini untuk menghormati orang yang berpuasa.
Akan tetapi kita perlu ingat juga bahwa ada jutaan orang di Indonesia yang kemungkinan tidak berpuasa karena lain hal. Ada yang sakit, ibu hamil, lansia, atau alasan lain. Dan yang perlu kita ingat juga di negara ini ada yang namanya non muslim. Orang-orang yang masuk kategori tersebut tentu membutuhkan yang namanya makan. Jika tak sempat membuat masakan sendiri di rumah, mereka mau tak mau harus pergi ke warung makan.
Islam mengajarkan kita untuk tidak menyakiti, menzalimi, dan menghakimi satu sama lain. Selain itu, Islam adalah agama yang penuh dengan cinta kasih sayang. Agama yang ramah bukan marah. Islam tidak memaknai cinta dan kasih sayang hanya untuk pasangan saja, namun ke sesama manusia, baik keluarga, tetangga, teman, juga orang yang tidak kita kenal pun, termasuk ke kaum minoritas.
Nabi Muhammad SAW memerintahkan kita untuk mencintai dan menebarkan kasih sayang kepada mereka, bahkan ke semua ciptaan Allah termasuk binatang. Kemudian yang penting kita tekankan dan perlu jadi perhatian adalah, toleransi bukan berarti bebas meyakini dan membolehkan semua hal, atau sebaliknya. Bahwa menganggap semuanya tidak baik dan tidak diperbolehkan.
Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda melalui riwayat Abu Hurairah:
إِنَّ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
Artinya, “Sesungguhnya agama yang paling dicintai oleh Allah adalah agama yang lurus dan toleran.” (HR Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath, [Kairo: Darul Haramein, 1315], jilid VII, hal. 229).
Salah Kaprah Gunakan Dalih Agama
Tindakan melakukan perusakan warung makan seperti yang dicontohkan oleh para kelompok masyarakat tersebut tentu saja tidak kita benarkan. Karena Islam sangat menjunjung tinggi etika, akhlak dan toleransi. Orang yang beretika dan berakhlak tentu tak mungkin melakukan perbuatan sekeji itu.
Warung-warung yang memilih tetap buka di siang hari selama Ramadan saya yakin juga tidak berniat buruk menghasut orang puasa menjadi tidak berpuasa, misalnya. Mereka hanya ingin mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membeli kebutuhan sehari-hari, atau penghasilan yang mereka peroleh akan mereka sisihkan untuk ditabung supaya anak-anaknya memiliki masa depan cerah.
Melakukan pengrusakan fasilitas warung dengan dalih agama tentu salah kaprah. Karena agama tidak pernah menyuruh kita untuk berbuat merusak, mengeksploitasi, menghina, dan menghakimi, terlebih kepada masyarakat kelas bawah atau kaum tertindas. Begitu pun, merasa menjadi manusia paling suci dan paling benar pun juga tidak lebih baik dari seorang koruptor.
Al-Quran menegaskan: “Jangan kamu merasa paling suci. Karena Dia-lah yang lebih mengetahui orang yang paling bertakwa,” [An-Najm: 32].
Praktik Intoleransi
Bentuk praktik intoleransi ini jamak kita lihat pada kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Tidak hanya di Bulan Ramadan saja. Misalnya, pelarangan pendirian tempat ibadah yang terjadi di sejumlah tempat; kasus penolakan terhadap identitas tertentu; melakukan diskriminasi terhadap warga miskin; dan lain-lain.
Setidaknya ada dua faktor besar yang melatari maraknya aksi intoleransi, menurut (Nurochman, 2020). Pertama, ketimpangan relasi kuasa antara kelompok (agama atau aliran) mayoritas dan minoritas. Kedua, maraknya praktik intoleransi juga disumbang oleh sikap permisif negara yang acapkali tidak bertaji menghadapi gerombolan intoleran.
Bicara toleransi, saya juga teringat Gus Dur. Tokoh NU tersebut terkenal sebagai bapak toleransi yang terakui oleh banyak pihak. Gus Dur, lebih hebatnya lagi, tak hanya mewariskan nilai pluralisme dan toleransi, tetapi juga nilai-nilai kebaikan yang lain.
Gus Dur kerapkali menjadi garda terdepan dalam membela hak-hak warga negara, termasuk pernah membela Inul Daratista, penyanyi yang di awal karirnya mendapat kritik habis-habisan dari publik karena goyang ngebornya.
Sayangnya, kita di era kekinian tak mendapati lagi sosok hebat nan demokratis seperti Gus Dur, yang sangat toleran terhadap siapa pun, kapanpun dan dimanapun.
Pejabat Harus Bersikap Toleransi dan Mengayomi
Kita malah lebih sering dipertontonkan oleh pejabat publik sikap-sikap yang tak pantas, bahkan cenderung mengarah ke intoleransi. Belum lama ini, kepala daerah di kampung halaman saya sempat viral karena berkata-kata kasar kepada warga dan nada mengancam di media sosial.
Awalnya, melalui kolom komentar, warga tersebut mempertanyakan dan (juga kritik) atas berbagai masalah, termasuk jalan yang rusak, dengan bahasa yang sopan. Namun, pertanyaan dan kritikan tersebut justru tertanggapi dengan kasar oleh akun media sosial kepala daerah tersebut.
Meskipun kemudian si admin akun medsos bupati tersebut memberikan klarifikasi, tapi tetap saja tindakan membalas komentar dengan pedas, kasar dan mengancam, tidak semestinya dilakukan oleh akun medsos sang kepala daerah. Bukannya, pejabat publik seharusnya bersikap ramah dan mengayomi setiap warganya?
Menjadi pejabat publik, terlebih menjadi kepala daerah, mau tak mau, suka tak suka, harus siap dengan kritik dan masukan dari masyarakat. Bukan malah menuliskan kata-kata kasar dan mengancam. Sebagai pejabat publik, bersikap mengayomi dan tidak menyikapi secara berlebihan terhadap masukan/saran yang ada dari masyarakat. Menurut saya, juga termasuk sikap toleransi, khususnya toleransi di media sosial.
Kini, Ramadan 1446 H akan memasuki minggu ketiga, dan kita sudah melewati separuhnya. Di antara kita, ada yang rajin ibadah, ada pula yang hobi maksiat. Pesan untuk kita semua, jika toh Anda tidak berpuasa, atau Anda tidak salat, Anda jangan lah juga jadi perusak fasilitas milik masyarakat, apalagi mengambil duit rakyat. []