Mubadalah.id – Dalam Islam, perempuan dipandang sebagai manusia seutuhnya—bukan pelengkap, apalagi sekadar objek. Ia adalah subyek yang setara dengan laki-laki, dengan kedudukan mulia sebagai khalifah di muka bumi. Karena itu, pendekatan keadilan hakiki seperti yang diresmikan di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2017 menekankan pentingnya mendengar dan mempertimbangkan pengalaman khas perempuan, baik secara biologis maupun sosial, dalam menetapkan hukum dan kebijakan yang adil.
Keadilan hakiki meletakkan pengalaman perempuan sebagai fondasi utama dalam menentukan apa yang kita sebut sebagai kebaikan atau kemaslahatan (al-ma’ruf).
Dalam pendekatan ini, kebaikan bagi perempuan tidak bisa kita seragamkan dengan kebaikan bagi laki-laki. Sebab, pengalaman hidup yang berbeda. Maka, sesuatu yang dianggap baik oleh laki-laki belum tentu baik bagi perempuan—terutama jika tidak mempertimbangkan konteks pengalaman biologis mereka.
Setidaknya, terdapat lima pengalaman biologis khas yang hanya perempuan miliki di antaranya menstruasi, kehamilan, melahirkan, masa nifas, dan menyusui.
Kelima pengalaman ini memiliki konsekuensi fisik, mental, dan sosial yang sangat kompleks. Karena itu, mendefinisikan kebaikan, kesehatan, atau bahkan hukum yang berkaitan dengan kelima hal tersebut, tanpa melibatkan perempuan secara langsung, adalah bentuk ketidakadilan struktural.
Oleh karena itu, KUPI secara konsisten mengingatkan bahwa suatu hukum atau kebijakan tidak layak kita sebut makruf jika hasilnya justru mendiskriminasi perempuan karena pengalaman biologisnya. Apalagi jika kebijakan tersebut membuat perempuan bertambah sakit, tertekan, atau menderita dalam menjalani fungsi biologis yang justru merupakan anugerah dari Tuhan.
Sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat [49]:13, keutamaan manusia ditentukan bukan oleh jenis kelamin, tetapi oleh ketakwaan.
Maka, setiap perumusan hukum dan kebijakan harus menghormati nilai dasar ini. Termasuk dengan memuliakan pengalaman perempuan dan menjadikannya sebagai salah satu sumber kebaikan yang sah dalam Islam.
Dengan menjadikan pengalaman perempuan sebagai pertimbangan utama dalam menentukan kebaikan dan kemaslahatan, kita tidak hanya menegakkan keadilan hakiki. Tetapi juga menghidupkan Islam yang welas asih, inklusif, dan berpihak pada yang lemah. []