Mubadalah.id – Keluarga Berencana (KB) adalah salah satu persoalan yang telah lama menjadi topik pembicaraan dalam Islam khususnya berkaitan dengan fiqh dan hak-hak perempuan. Seperti persoalan “baru” lainnya, KB juga menjadi kontroversial terkait apakah KB dibolehkan atau tidak dalam Islam. Kalangan Muslim konservatif cenderung meyakini bahwa KB tidak dianjurkan dalam Islam, sehingga mereka memilih berkeluarga dengan banyak anak.
Ada beberapa jenis metode KB di masa modern, di antaranya: penggunaan kondom, vaginal cap, cervical cap, spermicide dan pil KB. Namun, persoalan KB nampaknya tidak hanya menjadi urusan suami-istri, tapi juga negara. Beberapa negara termasuk Indonesia mengatur warganya untuk mengikuti program KB dan membatasi jumlah anak sebanyak dua orang saja. Tujuan diterapkannya aturan itu berbeda-beda di setiap negara, tapi umumnya untuk menekan populasi penduduk di negara-negara yang tingkat kelahiran anak maupun tingkat kematian ibu saat melahirkan cukup tinggi. Bagaimana Islam memandang hal ini?
Wakil Ketua Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama dan Direktur Inetrnational Center for Islam dan Pluralism (ICIP), Dr. Syafiq Hasyim, menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak berbicara secara langsung tentang Keluarga Berencana. Sedangkan berdasarkan hadits, tidak ada hadits yang spesifik menyebutkannya, namun terdapat metode perencanaan keluarga yang terekam oleh hadits, yakni ‘azl. ‘Azl secara harfiah adalah persenggamaan dengan mengeluarkan air mani di luar vagina sebelum terjadi orgasme. Seperti tercatat, Rasulullah sendiri tidak melarang praktik tersebut dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari istri. Imam Al-Ghazali juga menyatakan boleh melakukan ‘azl apabila tujuannya untuk menjaga kecantikan perempuan, guna menjaga keharmonisan kehidupan seksual, atau untuk menjaga kehidupan si istri. Dalam hal ini berarti Syari’ah membolehkan praktik tersebut selama bertujuan untuk kebaikan. Dan menurut pendapat lima madzhab secara umum membolehkan praktik ‘azl bila dilakukan demi kebaikan bersama.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keputusan Islam terhadap hukum Keluarga Berencana pada dasarnya tergantung pada apakah KB itu maslahah bagi manusia atau tidak. Kemaslahatan ini seharusnya menjadi alasan utama karena dampak dari pemakaian alat kontrasepsi adalah manusia sendiri yang menanggungnya. Untuk mencapai kemaslahatan bersama, maka kepentingan negara atau siapa saja yang sifatnya merugikan akseptor KB seharusnya ditiadakan. Jika layanan kontrasepsi selama ini lebih banyak menyasar perempuan, maka perspektif keadilan meniscayakan adanya dorongan moral maupun kebijakan negara yang menyasar laki-laki untuk menjadi akseptor aktif.
Sumber: Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan, LkiS Yogyakarta, 2002)