Mubadalah.id – Surat At-Tahrim merupakan salah satu surat dalam Al-Qur’an yang banyak menyinggung figur-figur perempuan. Khususnya perempuan-perempuan yang ada di sekitar kisah nubuwah. Turunnya surat ini juga dilatarbelakangi perempuan-perempuan di sekitar Nabi Muhammad SAW. Mereka tidak lain adalah para ummul mu’minin istri Nabi Muhammad SAW. Ayat 1-5 dalam surat ini membahas permasalahan internal dalam keluarga
Mengutip dari Tafsir Kemenag, bahwasanya Nabi telah bersumpah mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan untuknya (madu dan mengauli budak perempuanya), hanya demi menyenagkan salah satu istrinya (Hafsah). Beliau berpesan agar kejadian ini tidak diberitahukan kepada siapa pun.
Namun Hafsah justru menceritakan peristiwa itu kepada Aisyah sehingga Aisyah mengetahui rahasia itu. Allah pun segera memberitahukan peristiwa pembocoran rahasia itu kepada nabi serta memerintahkan kepada nabi untuk membatalkan sumpahnya (dengan membayar kafarat) melalui turunnya ayat tersebut.
Kemudian Nabi memberitahukan kasus pembocoran rahasia itu kepada Hafsah. maka Hafsah sangat kaget dan bertanya. “Siapa yang telah memberitahukan kejadian ini kepada kamu, wahai Nabi Allah? Nabi menjawab, “Yang memberitahukan kepadaku tentang pembocoran rahasia itu adalah Allah Yang Maha Mengetahui segala yang tampak maupun yang tersembunyi, Maha Teliti terhadap segala keadaan.”
Kemudian dalam ayat berikutnya Allah memerintahkan kepada kedua Istri Nabi (Hafsah dan Aisyah) untuk bertaubat dan menghentikan kebiasaan yang membuat nabi tidak nyaman. Bahkan Allah memberikan peringatan keras kepada mereka, jika mereka masih saling bantu membatu dalam menyusahkan nabi, maka Allah lah pelindung Nabi.
Dua Contoh Figur Buruk Perempuan
Pada ayat ke-10 dari Surat At-Tahrim Allah membuat contoh figur buruk seorang perempuan dengan merujuk dua Istri Nabi terdahulu. Yaitu Istri Nabi Nuh yang bernama Waligah dan Istri Nabi Luth yang bernama Walihah. Mereka telah melakukan penghianatan terhadap dakwah suami mereka yang notabene adalah seorang nabi.
Istri Nabi Nuh telah mendustakan risalah kenabian yang dibawa suaminya sendiri. Bahkan ia menuduh suaminya itu gila. Sedangkan Nabi Luth terkenal dengan kaumnya yang memiliki penyimpangan seks. Saat datang para malaikat sebagai utusan yang menyerupakan diri dalam wujud laki-laki tampan. Istri Nabi Luth justru mendorong kaumnya untuk berbuat sodomi dengan membocorkan berita kedatangan para utusan tersebut.
Kemudian Allah menjelaskan bahwa penghianatan tersebut dilakukan oleh perempuan-perempuan yang bahkan berada dalam bimbingan hamba-hamba yang saleh. Yakni para nabi dan rasul.
Dalam hal ini nasehat maupun pelajaran dari suaminya tidak lagi bermanfaat akibat kerasnya hati dan perbuatan mereka yang menyimpang dari kebenaran. Hingga pada akhir ayat Allah memberitahukan nasib keduanya kelak di akhirat termasuk ke dalam golongan orang kafir dan penghuni neraka. Mereka akan memasukinya bersama dengan orang-orang yang berdosa.
Dari kisah ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa relasi kedua wanita tersebut sebagai Istri dari Nabi dan rasul, bahkan tidak dapat menyelamatkan mereka dari azab Allah. Hal tersebut karena mereka harus mempertanggungjawabkan sendiri perbuatan dan dosa yang teah mereka lakukan.
Dua Contoh Figur Baik Perempuan
Setelah memberikan contoh tentang figur buruk perempuan, maka dalam ayat selanjutnya Allah memberikan contoh sebaliknya. Yakni perempuan-perempuan baik yang teguh dengan keimanannya. Figur perempuan yang ditampilkan di sini ialah Asiyah binti Muzahim yang merupakan istri Fir’aun dan Maryam binti Imran yang merupakan Ibunda dari Nabi Isa As.
Asiyah binti Muzahim
Sudah Masyhur kiranya bahwa Fir’aun seringkali menjadi lambang tokoh kejahatan. Hal tersebut karena banyaknya kejahatan Fir’auan yang diberitakan dalam Al-Qur’an selaku rival Nabi Musa. Ia adalah sosok pemimpin otoriter yang kejam dan bengis bahkan mengaku sebagai Tuhan. Namun uniknya Fir’aun memiliki seorang Istri yang terkenal teguh dengan keimanannya. Ia adalah Asiyah binti Muzahim.
Asiyah termasuk dalam orang-orang yang beriman dengan seruan dakwah Nabi Musa As. Saat mengetahui keimanan Sang Istri Fir’aun murka dan menyiksanya dengan siksaan yang berat. Fir’aun minta agar ia mau meninggalkan ajaran Nabi Musa As serta mengakuinya sebagi Tuhan. Namun Asiyah tetap teguh dengan keimanannya.
Dalam Kitab Uqudulujaian Syekh Nawawi al- Bantani mengisahkan keteguhan perempuan tersebut.
Dikisahkan bahwa Fir’aun mengikat kedua tangan dan kaki Asiyah pada empat buah tiang. Tubuhnya dipaksa menatap sengatan matahari. Fir’aun dan pengikutnya lantas meninggalkan Asiyah begitu saja Penderitaan perempuan malang ini belum berakhir. Karena beberapa saat kemudian, Fir’aun memerintahkan anak buahnya melemparinya dengan batu besar. Dalam perih, Asiyah berdo’a
…رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَنَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهٖ وَنَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَۙ
…“Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,” (QS. Tahrim: 11)
Seketika itu ia melihat sebuah rumah yang terbuat dari marmer putih. Allah pun mencabut nyawanya sebelum batu besar itu menimpa tubuhnya, sehingga ia tidak merasakan sakit. Tidak hanya itu, Allah juga mengabadikan do’a Asiyah dalam Surat At-Tahrim dan menjadikanya salah satu contoh figur perempuan baik, meskipun memiliki suami yang sangat buruk.
Maryam binti Imran
Selain Asiyah Allah juga menjadikan Maryam binti Imran sebagai figur perempuan baik yang disebut dalam surat At-Tahrim. Maryam adalah seorang perempuan yang senantiasa menjaga kehormatannya, taat beribadah juga selalu membenarkan kalimat-kalimat yang datang dari Tuhannya. Hingga akhirnya Maryam menjadi perempuan terpilih yang memiliki keutamaan dibanding wanita seluruh alam.
Maryam juga merupakan gambaran perempuan yang sangat teguh dalam menerima ketetapan Tuhannya. Perjuangannya saat hamil dan melahirkan sendirian, belum lagi keadaan pasca melahirkan saat harus menghadapi cercaan kaumnya. Betapa kuat ketahanan mental, fisik juga spiritual seorang Maryam.
Melihat begitu hebatnya keimanan Asiyah dan Maryam, pantaslah jika keduanya termasuk dalam empat wanita yang akan mejadi penghulu surga. Imam Ahmad meriwayatkan dalam musnandnya bahwa penghulu wanita penghuni surga ialah Maryam lalu Fatimah menyusul Khadijah dan Asiyah.
Kemandirian Spiritualitas Perempuan
Dari kisah para perempuan dalam surat At-Tahrim di atas kiranya apa yang bisa kita simpulkan?
Sejauh ini, yang saya pahami adalah bahwa perempuan memiliki kemandirian spiritualitas. Di mana tingkat keimanan perempuan tidak dilihat melalui keimanan suami mereka. Namun, sebagian orang masih menganggap bahwa seorang istri akan selalu mengikuti suaminya dalam hal apapun.
Termasuk dalam konteks spiritualitasnya. Seperti halnya pepatah jawa yang berbunyi “Swarga nunut, neraka katut.” Dalam artian posisi istri di akhirat kelak tergantung pada posisi suaminya.
Namun faktanya, Al-Qur’an membantah adanya anggapan tersebut. Kisah para Ummul mu’minin di awal surat dapat menjadi pelajaran. Bahwa sekelas Istri Nabi Muhammad saja, masih mendapatkan peringatan dari Allah, seandainya mereka berperangai buruk. Bahkan setelah kisah tersebut Allah secara tegas mengingatkan manusia agar menjaga diri serta anggota keluarganya dari api neraka.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا …
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim:6)
Hal ini karena setiap orang berpotensi untuk melakukan dosa dan menjadi ahli neraka, tanpa memandang status mereka. Baik suami ataupun istri keduanya memiliki kemandirian spiritualitas. Yang mana setiap orang akan bertanggungjawab dengan perbuatannya masing-masing, tanpa digantungkan satu sama lain karena relasinya.
Kita bisa melihat bagaimana istri nabi Nuh As dan Nabi Luth menjadi ahli neraka karena perbutan buruk mereka. Padahal suaminya adalah seorang Nabi dan Rasul pilihan. Atau sebaliknya, Asiyah Istri Fir’aun justru menjadi perempuan penghulu surga karena keteguhannya, meskipun suaminya adalah orang yang sangat buruk. Begitu juga Maryam yang notabene tidak bersuami.
Kesimpulan tersebut semakin memperkuat keyakinan saya bahwa, perempuan adalah manusia utuh sekaligus subyek penuh. Posisinya tidak bergantung dengan suaminya, namun ia akan bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri dan memetik buahnya kelak. Sehingga tidak bijak kiranya kita masih menilai karakter seorang dengan berkaca pada karakter pasangannya. Apalagi, mengandalkan posisi pasangan sebagai tameng atas perbuatan buruk yang kita lakukan. []