Mubadalah.id – Kemanusiaan (humanism) kiranya merupakan karakter khas seorang manusia. Namun, pada praktiknya, ternyata tidak semua manusia punya rasa kemanusiaan. Di tengah ketatnya iklim kompetisi pada hal-hal materialistik, manusia kian egoistis dan individualis. Rasa-rasanya, tinggal segelintir orang yang masih memupuk semangat kemanusiaannya. Penelitian Henry C. Santos dan koleganya pada warsa 2017 memvalidasi hipotesis ini.
Satu dari setipis tumpukan kemanusiaan yang kian langka itu saya temukan di atas bus Trans Jogja. Di tengah perjalanan menuju Terminal Giwangan, di sela-sela jajaran kursi penumpang, seorang kondektur berseragam rapi mengejawantahkan praktik nyata humanisme. Kemacetan Yogyakarta di sore hari menjadi saksi bising atas laku bajiknya.
Kala itu, dua penumpang penyandang difabel netra naik dari sebuah halte. Saya menduga keduanya adalah sepasang suami-istri. Setibanya bus di halte dan lalu penumpang turun, keduanya kemudian mendekat dan hendak masuk.
Seorang petugas di halte tempat mereka berdiri mencoba membantu. Ia menuntun dengan hati-hati agar keduanya tak jatuh. Dengan sigap, kondektur yang saya maksud dalam cerita ini segara cangcut taliwanda menerima dua difabel tersebut.
Sang kondektur lantas membimbing pasutri itu menuju kursi kosong, mendudukkan keduanya secara bersebelahan, serta memilihkan kursi yang paling dekat dengan dirinya. Ketika menyaksikan hal tersebut, saya yang berdiri menghadap sang kondektur merasa tersentuh.
Kebaikan sederhananya mengajarkan betapa kemanusiaan mesti berbicara lebih lantang sebelum tuntutan akan aksesibilitas menggema. Saya merasa malu baru bisa berwacana, belum mampu mengeksekusi.
Responsibilitas universal
Pewacanaan ulang atas kemanusiaan di tengah hiruk-pikuk individualisme ini sejatinya bertujuan untuk mencari sebuah responsibilitas universal. Manusia selaku makhluk penuh anugerah senantiasa memiliki potensi untuk berani mengambil tanggung jawab. Idealnya, tanggung jawab itu mestilah tampak dalam semangat kolektivitas dan kesemestaan (universality).
Di dalam isu mengenai difabilitas, misalnya, responsibilitas muncul di antaranya berkat sokongan paradigma atau cara pandang. Bahrul Fuad (Cak Fu) dalam Webinar Inklusi Disabilitas dalam Dunia Kerja pada Senin (5/5) menyebutkan lima model paradigma tentang difabilitas.
Kelimanya yakni paradigma berbasis hak, kehidupan sosial, kesehatan, aksi karitatif, serta moral atau religiusitas. Keberagaman paradigma ini menunjukkan kesistemikan sebuah responsibilitas—tanggung jawab kemanusiaan.
Tentu, upaya untuk membangun sebuah responsibilitas universal tidak bisa berjalan semudah membalik selembar kertas di atas meja. Kita perlu membangun sebuah ekosistem bersama. Emily Burn dan Chaterine Needham (2023) menjelaskan bahwa ekosistem di dalam konteks sosial berarti sebuah langkah holistik alias menyeluruh. Tujuannya jelas. Yakni, untuk menggerakkan berbagai organisasi dan masyarakat pada upaya-upaya kepedulian sosial (social care).
Pandangan Burn dan Needham (2023) tersebut menekankan pada pentingnya keterlibatan setiap individu maupun kelompok secara aktif sekaligus resiprokal (kesalingan). Secara teknis, Burn dan Needham mengajukan tiga peta jalan untuk membentuk sebuah ekosistem sosial.
Pertama, menyuarakan desain ekosistem yang dimaksud secara utuh. Kedua, pengakuan akan perbedaan level ekosistem yang ada; serta ketiga penguatan rasa saling percaya dan kerja sama. Ringkasnya, kemanusiaan masing-masing orang akan peran serta yang melekat pada diri mereka merupakan modal klinis yang mesti bertumbuh.
Bermula dari yang Sederhana
Sebagaimana individualisme yang tumbuh berangsur dari perkara sederhana, membumikan ulang gagasan tentang kemanusiaan juga mesti bermula dari hal-hal sederhana. Kondektur bus Trans Jogja tersebut merupakan salah satu contohnya.
Sebagai manusia, membantu tak melulu mesti dengan tindakan sophistocated atau kompleks. Sesederhana menuntun difabel netra yang membutuhkan sungguhlah berharga. Meski sayang, kita sering abai pada yang sederhana.
Menjabarkan roadmap susunan Burn dan Needham (2023) di atas, kita bisa menyusun beberapa langkah mungil. Kita memang perlu memandu diri sendiri agar mau untuk memanusiakan kembali kemanusiaan kita. Apalagi, kemanusiaan itu mungkin sempat mati suri. Ia padam oleh dinginnya ambisi dan mencekatnya salju individualitas. Tak perlu buru-buru berdampak, cukup berpihak.
Sebagai generasi digital native, langkah mungil pertama yang bisa kita lakukan yakni dengan bersuara di media. Ketimbang memenuhi beranda media sosial (medsos) dengan unggahan-unggahan tak jelas, mem-posting hal-hal seputar hak kawan difabel kiranya lebih bermanfaat.
Algoritma medsos yang menuntut kuantitas publisitas menyorok kita untuk lebih aktif menyuarakan keberpihakan. Sebuah konten sederhana tetaplah sebuah suara yang akan terekam oleh sistem operasi medsos. Apalagi, jejak digital hampir-hampir abadi.
Selanjutnya, kita perlu membimbing diri untuk senantiasa belajar. Kompleksitas, diversitas, serta heterogenitas varian hasil dinamika zaman menuntut penyikapan yang lebih manusiawi. Kebutuhan kawan difabel saat ini dan sepuluh tahun mendatang tentu akan berbeda. Kita tak boleh terlambat dalam membaca dan bersikap. Tanpa pengetahuan yang bertambah, sangat besar probabilitas kita dalam bertindak salah dalam merespon kehadiran kawan difabel.
Terakhir, kita bisa memulai dengan menggunakan bahasa yang sesuai kepada masing-masing difabel. Tiap difabel tentu punya kekhasannya sendiri-sendiri, sehingga perlu memperoleh bahasa yang pas dengan kebutuhannya.
Sekadar mengubah kata “disabilitas” menjadi “difabilitas” merupakan langkah sederhana yang berarti banyak. Melalui pengubahan terma ini, kita telah mengikatkan diri untuk memandang kawan difabel sebagai individu istimewa, bukan cacat apalagi korban azab.
Bila tidak kita mulai dari sekarang, kapan lagi rasa kemanusiaan kita akan hidup kembali? []