Mubadalah.id – Satu minggu yang lalu, negara Indonesia merdeka memasuki usia delapan puluh tahun. Delapan puluh tahun bukanlah usia yang muda. Meskipun sudah lewat satu minggu, namun suasana kemerdekaan masih terasa. Bendera Merah Putih masih berkibar di setiap rumah ataupun pinggir jalan.
Tulisan ini hadir seminggu setelah 17 Agustus. Bukan lagi dalam hiruk pikuk upacara atau pesta rakyat, melainkan dalam suasana hening reflektif.
Momentum ini penting untuk menggeser perhatian kita dari sekadar euforia menuju pendalaman makna. Sebab, kemerdekaan sejatinya bukan hanya seremonial tahunan, tetapi sebuah panggilan untuk terus memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan bersama.
Dari Politik ke Kehidupan Nyata
Para pahlawan bangsa telah mengorbankan darah, tenaga, dan pikiran untuk Indonesia merdeka dari penjajahan. Maka, perjuangan para pahlawan tidak boleh berhenti hanya pada aspek politik saja. Lebih dari itu, perjuangan itu harus mencapai kemerdekaan sejati yaitu ketika rakyat terbebas dari segala bentuk penindasan. Penindasan akan kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, diskriminasi, dan kerusakan lingkungan.
Momentum HUT RI ke delapan puluh tahun ini mengajak kita untuk bertanya apakah rakyat Indonesia sudah benar-benar merdeka dari belenggu-belenggu itu? Faktanya, masih banyak rakyat yang hidup dalam kesulitan.
Harga kebutuhan pokok naik, lapangan pekerjaan terbatas, dan akses pendidikan serta kesehatan belum merata. Sementara itu, elite politik yang katanya mewakili suara rakyat masih terjebak dalam polemik yang lebih menguntungkan diri sendiri daripada kepentingan rakyat.
Kemerdekaan politik sudah kita raih. Tetapi secara sosial, ekonomi, dan kultural masih terus menjadi PR bangsa.
Kemerdekaan untuk Semua, Bukan Segelintir
Dalam perspektif mubadalah, kemerdekaan harus menjadi ruang hidup yang adil, setara, dan saling menguatkan. Mubadalah mengajarkan bahwa nilai-nilai tidak hanya berlaku bagi satu pihak, melainkan juga harus menguntungkan banyak pihak.
Artinya, jika bangsa Indonesia merdeka, maka hal itu harus dirasakan oleh semua kelompok. Baik kelompok laki-laki maupun perempuan, kaya dan miskin, mayoritas dan minoritas, masyarakat kota dan desa, orang sehat maupun difabel. Kemerdekaan tidak boleh hanya menjadi milik sekelompok orang yang haus akan kekuasaan. Rakyat juga harus bisa merasakan infrastruktur pemerintah dan bukan hanya mereka yang berkuasa saja.
Melalui kacamata mubadalah, kita bisa membaca ulang sila kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Kata seluruh hendak menegaskan bahwa tidak boleh ada satu pun kelompok yang tertinggal, semua harus menikmati keadilan. Jika masih ada ketimpangan, maka makna merdeka belumlah tuntas.
Dari Lomba ke Tanggung Jawab Sosial
Perayaan Indonesia merdeka dengan berbagai macam lomba, seperti panjat pinang, makan kerupuk, atau tarik tambang memang menghadirkan kegembiraan. Hal itu menjadi ciri khas dalam setiap mesnyambut kemerdekaan Indonesia.
Perayaan seperti itu memang penting, karena sebagai wujud syukur dan kebersamaan. Tetapi setelah itu selesai, kita perlu menggeser euforia menuju refleksi. Refleksi untuk menentukan sikap kita selanjutnya setelah 17 Agustus.
Contoh sederhana yang bisa kita lakukan untuk melanjutkan perayaan kemerdekaan dengan program nyata. Program-program nyata, seperti kerja bakti membersihkan lingkungan, mendukung pendidikan anak-anak miskin, dan menanam pohon untuk kelestarian alam. Kemerdekaan sejati bukan sekadar berpesta, melainkan menghadirkan perubahan nyata bagi sesama.
Kemerdekaan dalam Realitas Indonesia Kini
Jika kita melihat situasi Indonesia hari ini, ada beberapa realitas yang menuntut perhatian serius.
Misalnya masih banyak rakyat yang belum menikmati hasil pembangunan. Polemik kenaikan gaji pejabat yang sangat kontras dengan rakyat kecil yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok.
Contoh lain adalah adanya bencana alam akibat kerusakan hutan, pencemaran air, dan perubahan iklim memperlihatkan bahwa alam belum merdeka dari eksploitasi manusia. Perempuan yang masih mengalami diskriminasi, korban kekerasan belum mendapat perlindungan maksimal, dan kelompok difabel seringkali diabaikan dalam akses layanan publik.
Kemerdekaan beragama dan berkeyakinan juga belum sepenuhnya terjamin. Masih ada kelompok yang mengalami diskriminasi karena berbeda iman atau keyakinan. Semua ini memperlihatkan bahwa belum semua orang dapat merasakan makna merdeka.
Kemerdekaan yang Membebaskan dan Membahagiakan
Delapan puluh tahun mengajak kita semua untuk menghidupi nilai kemerdekaan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam perspektif mubadalah, kemerdekaan terjadi ketika memberi manfaat dan kebebasan bersama.
Saat akhir Agustus ini, setelah bendera kembali turun dari tiang-tiang, marilah kita berhenti sejenak untuk merenung. Apa arti kemerdekaan bagi saya, keluarga, dan masyarakat sekitar saya? Apakah saya sudah ikut memperjuangkan keadilan sosial? Atau saya hanya larut dalam euforia lomba lalu melupakannya begitu saja?
Menggeser euforia menuju makna adalah panggilan bagi kita semua. Indonesia merdeka tidak boleh berhenti pada perayaan, tetapi harus hidup dalam kesalingan. Kemerdekaan itu juga harus nampak dengan saling menghormati, memberdayakan, dan membahagiakan. []