Mubadalah.id – Di seluruh pondok pesantren dan majelis-majelis taklim, perayaan Maulid biasanya, bahkan selalu diselenggarakan dengan acara membaca Sirah Nabawiyah (sejarah hidup Nabi sejak kelahiran sampai wafatnya), dalam bentuk narasi prosais kadang-kadang dengan irama yang khas.
Sebagian lagi sejarah Nabi tersebut dikemas dalam bentuk puisi-puisi yang berisi perjalanan hidup Nabi sejak lahir sampai wafat, dan madah-madah (pujian-pujian) atas Nabi.
Ada sejumlah kitab yang dibaca pada momen itu, antara lain Maulid al-Diba’i, karya Abd al-Rahman al-Diba’i, Qashidah Burdah, karya Muhammad bin Sa’id al-Bushairi.
Dan al-Kawakib al-Durriyyah fi Madh Khair al-Bariyyah, yang lebih kita kenal sebagai Al-Barzanji, karya Syekh Zain al-Abidin bin Hasan al-Syahrzuri al-Barzanji, dan Maulid Syaraf al-Anam, juga karya Syekh al-Barzanji.
Selain itu, tanggal 12 Rabiul Awal sebagai hari Libur Nasional dan memperingatinya dalam acara resmi negara ketika KH. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, menjabat sebagai Menteri Agama. Upacara peringatan pemerintah ini pada awalnya ia adakan di Istana negara.
Pada momen tradisi keagamaan ini, presiden, waki presiden, dan para pejabat tinggi negara. Bahkan para duta besar negara-negara sahabat hadir bersama ribuan umat Islam dan menyiarkannya langsung melalui televisi.
Pandangan Ibnu Taimiyah
Berbeda dengan pandangan mayoritas besar kaum muslimin di dunia, Ibnu Taimiyah. Tokoh “salafi” awal banyak orang menyebutnya sebagai orang yang memandang bahwa perayaan Maulid Nabi adalah bid’ah.
Suatu praktik ritual keagamaan yang tidak pernah Nabi dan para sahabatnya lakukan. Ibnu Taimiyah memang penganut tradisi tekstualis ketat.
Pandangan ini beberapa abad kemudian diteruskan dengan semangat Islam tekstualis yang radikal oleh Muhammad bin Abdul Wahab, ulama terkemuka kelahiran Nejd, Saudi Arabia, 1703-1791.
Para pengikutnya populer kita sebut Wahabis. Saudi Arabia mungkin satu-satunya Negara Islam yang anti peringatan Maulid Nabi dan menyerang dan mengecam kelompok muslim lain yang merayakannya.
Para pengikutnya terus menyebarkan ajaran bahwa “maulid Nabi sebagai praktik keagamaan yang sesat.” Pandangan ini dunia muslim yang berperadaban tolak dan hampir di seluruh dunia muslim lainnya.
Perayaan Maulid adalah cara manusia mengenang kembali Nabi dalam keseluruhan hidupnya, untuk dijadikan pelajaran dan teladan bagi seluruh umat manusia. []