Mubadalah.id – Proses panjang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur selalu menuai kontroversi. Mulai dari ide dan rencana, polemik pengesahan RUU IKN hingga yang baru-baru ini terjadi, adalah kontroversi terhadap ritual yang disebut dengan kendi nusantara. Ritual tersebut dilaksanakan pada Senin, 14 Maret 2022 di titik nol yang bertempat di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Prosesi yang disebut-sebut sebagai ritual kendi Nusantara tersebut diawali dengan himbauan Presiden RI Joko Widodo kepada gubernur 34 Provinsi untuk membawa 2 kg tanah dan 1 liter air dari daerah masing-masing. Selanjutnya, tanah tersebut dikumpulkan dalam satu kendi besar. Disampaikan oleh beliau ketika sedang memberikan sambutan di otorita IKN, ritual kendi nusantara ini dilakukan sebagai bentuk dari kebhinekaan serta membangun persatuan yang kuat dalam rangka membangun IKN baru.
Tujuan memilih menggunakan tanah dan air sebagai media ritual kendi nusantara, adalah karena keduanya merupakan komponen yang membentuk bangsa kita: Indonesia. Selain itu, tanah dan air juga menjadi idiom dari tanah air, bangsa dan tanah tumpah darah kita yang merupakan kesatuan dari tanah dan air dari seluruh wilayah di Nusantara.
Sementara pilihan untuk menggunakan kendi, disampaikan oleh Presiden RI karena kendi merupakan bagian dari budaya Indonesia. Kendi sering digunakan oleh warga Nusantara untuk berbagai kepentingan. Mulai dari wadah air hingga media sejumlah prosesi sakral yang notabene menjadi bagian budaya banyak suku di Indonesia.
Namun sayangnya, keputusan Presiden untuk melakukan ritual kendi nusantara ini menuai kontroversi. Mulai dari cibiran di media sosial yang hanya bermodal celaan, atau dengan berbagai tulisan yang mengemukakan sejumlah argumentasi. Bahkan, tagar #RitualSyirik sempat viral beberapa saat yang lalu diplatform twitter.
Hal ini tentunya membuat banyak orang mulai meragukan niat baik Presiden dan ikut-ikutan menyalahkan. Padahal sudah disampaikan oleh beliau bahwa tujuan ritual yang dilakukan adalah dalam rangka melindungi, membersihkan serta permohonan agar dijauhkan dari marabahaya serta selalu mendapatkan rahmat dan lindungan dari Yang Maha Esa.
Hemat penulis, perdebatan kendi nusantara ini cenderung meresahkan dan rentan merusak kebhinnekaan. Pertama, menyalahkan pemimpin adalah kecenderungan sikap anarkisme. Karena lumrahnya, pemimpin tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan rakyatnya. Kedua, tagar dan tulisan di media sosial dengan ungkapan kasar dan anarkis dapat menjadi bibit intoleransi yang rentan memecah belah masyarakat.
Ketiga, dalih agama serta penggunaan istilah-istilah keagamaan, seperti musyrik, bidah dan lain-lain dapat merugikan tubuh Islam sendiri. Terlebih doktrin agama tersebut digunakan oleh pihak tertentu saja namun mengatasnamakan Islam atau pun ajaran Nabi saw. Hal ini tentunya dapat merusak citra Islam dan orang muslim secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita bertanya: pernahkah Rasulullah saw. melakukan ritual yang bersifat profan untuk merujuk kepada sesuatu yang sakral, seperti doa, harapan dan meminta kepada Tuhan? Karena jika jawabannya adalah tidak, belum tentu juga lantas tiba-tiba masuk kategori bidah yang tercela seperti yang ditudingkan.
Namun jika jawabannya adalah pernah, atau bahkan sering, bukankah tudingan tersebut lantas hanya menjadi komentar kosong belaka? Berikut penulis sajikan tiga kisah, di mana Nabi saw. melakukan hal-hal yang secara zahir profan namun bernilai sakral. Atau meminjam istilah kaswad Sartono, Ka. PCNU Kota Makassar, adalah materialisasi doa.
Mendoakan Orang Lain dengan Pelepah Kurma
Poin ini sebenarnya penulis baca dari tulisan ketua PCNU di atas. Dikisahkan oleh riwayat hadis Ibnu Abbas bahwa suatu ketika Rasulullah saw. berjalan di salah satu kebun di kota Madinah atau Makkah. Lalu beliau mendengar suara dua orang manusia yang tengah disiksa di dalam kubur. Beliau bersabda: “dua orang ini tidaklah disiksa karena dosa besar. Salah satu dari mereka kencing tidak sampai bersih dan yang lain suka fitnah dan adu domba”.
Setelah itu, beliau mengambil sebatang pelepah kurma dan membaginya menjadi dua bagian dan meletakkan masing-masing di atas tiap kubur. Ibnu Abbas pun bertanya: “wahai Rasulullah, kenapa engkau melakukan hal ini?” Nabi saw. pun menjawab: “semoga pelepah kurma itu bisa meringankan siksa keduanya selama belum kering”. (baca: Sahih Bukhari, Juz 1: 53. Hadis nomor 216).
Dari kisah ini, Nabi saw. menjadikan pelepah kurma sebagai media yang mewakili doa beliau untuk mayat dalam kubur. Perilaku ini tidak sedang menunjukkan bahwa Nabi saw. ‘percaya’ dan menyandarkan doa dan keyakinannya terhadap pelepah kurma. Namun justru menjadikan pelepah kurma secara material mewakili doa beliau. Nabi tidak sedang menyekutukan ke-Maha Kuasaan Allah swt. dalam meringankan dosa dengan pelepah kurma yang sedikitpun tidak memiliki kemampuan untuk meringankan dosa.
Mengusap Tubuh dengan Tangan Sebelum Tidur
Contoh kedua, adalah hadis riwayat Sayyidah Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. setiap kali hendak istirahat pada malam hari, beliau merapatkan kedua telapak tangan lalu meniupnya dan membacakan Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas. Setelah itu, beliau mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh tubuh sejauh yang bisa dijangkau dengan diawali kepala, wajah dan anggota tubuhnya yang lain. Beliau mengulang hal ini sebanyak tiga kali. (baca: Sahih Bukhari, Juz 6: 190. Hadis nomor 5017).
Kita tahu secara logis maupun menurut medis tidak ada manfaat yang signifikan dari perbuatan mengusapkan telapak tangan ke anggota tubuh. Namun Nabi saw. melakukan hal tersebut dan melalui perantara Sayyidah Aisyah perilaku tersebut dapat ditiru oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Tak lain hal tersebut sebagai simbol doa dan permohonan perlindungan yang dipanjatkan Nabi saw. setelah sebelumnya membaca surat Al-Ikhlas dan Muawwidzatain.
Mendoakan Orang Sakit dengan Air Minum
Dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi saw. menjenguk Tsabit bin Qais yang sedang sakit. Ketika itu, Nabi saw. berdoa: “اكْشِفِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ عَنْ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ” yang artinya: “hilangkanlah penyakit Wahai Tuhan manusia dari Tsabit bin Qais bin Syammas” lalu beliau mengambil debu dari lembah Bathaan dan diletakkan dalam wadah, diisi air lalu ditiup oleh beliau. Setelah itu, beliau memercikkan air tersebut kepada Tsabit. (baca: Sunan Abi Daud, Juz 4: 10. Hadis nomor 3885).
Tiga contoh di atas menunjukkan bahwa Nabi saw. tidak alpa dari perbuatan-perbuatan yang meski profan, sama sekali tidak ada hubungannya secara langsung dengan agama, tapi dijadikan sebagai perantara atau media bagi sesuatu yang sakral. Dalam hal ini adalah doa.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan ritual kendi nusantara, tidak bijak kiranya jika menyematkan label musyrik atau bidah terhadap perbuatan tersebut. Terlebih, Presiden sudah secara eksplisit menyatakan bahwa ritual kendi nusantara tersebut dilakukan murni untuk mengharap rahmat Tuhan YME. Allahu A’lam. []