Mubadalah.id – Dalam artikel sebelumnya, Anggota Steering Comitee (SC) Kepanitiaan KUPI II Alissa Wahid menjelaskan tentang pentingnya KUPI II nanti untuk mendorong kepemimpinan perempuan. Pada saat yang bersamaan, Anggota Majelis Musyawarah KUPI Dr. Faqihuddin Abdul Kodir juga memaparkan tentang kepemimpinan perempuan dalam perspektif KUPI.
Hal itu beliau sampaikan dalam forum yang sama, di konferensi press Halaqah Nasional Pra KUPI II di Jakarta pada Rabu, 19 Oktober 2022. Founder Mubadalah.id itu mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan bersifat komprehensif dengan isu politik, bagaimana peran perempuan terutama dalam arti ideologis. Di mana KUPI mendorong banyak perempuan untuk menjadi pemimpin.
Pada saat yang sama secara ideologi, bagaimana sebuah kepemimpinan dimanapun itu betul-betul memberikan ruang, akses, dan fasilitas serta hak-hak perempuan. “Jadi tidak penting dalam tanda kutip siapa pemimpinnya, asalkan leadershipnya betul-betul memberikan hak-hak kepada perempuan. Tapi tentu kita akan mendorong lebih dulu, misalnya kalau kita bertemu pemimpin perempuan di semua level. Dan kita akan mendukung terutama yang punya program-program untuk perempuan.” Paparnya.
Politik Identitas tidak Menghalangi Kepemimpinan Perempuan
Maka dengan demikian, menurut Kiai Faqih tentu kepemimpinan perempuan sangat beririsan dengan isu identitas. Bagaimana agar isu identitas tidak menghalangi kepemimpinan perempuan. Baik perempuan sebagai tokoh/seseorang, atau perempuan sebagai perspektif.
Terlebih dalam agenda KUPI II nanti juga di sana ada halaqah yang terkait dengan kepemimpinan perempuan, termasuk dalam isu politik, tentang kepemimpinan perempuan di pondok pesantren, organisasi keagamaan yang nanti juga akan dibicarakan.
Sementara itu jika terkait soal fatwa keadilan hakiki atau khas unik KUPI, Kiai Faqih menambahkan bahwa KUPI tidak berpikir untuk berhadap-hadapan dengan lembaga manapun, tetapi justru KUPI akan berkolaborasi. Tentu saja menurutnya KUPI akan mencari titik temu, dengan tetap pada perspektif khasnya.
“Kita terus berusaha berteman, berkolaborasi. Karena anggota-anggota KUPI, yang termasuk dalam tim fatwanya itu juga adalah anggota NU, Muhammadiyah, dan MUI. Kita tidak berhadap-hadapan tetapi kita mencari titik temu. Misalnya 5 isu yang disebutkan Ibu Nur Rofiah tadi dalam forum.” Ujarnya.
KUPI Mengajak untuk Membangun Kesadaran Bersama
Dalam penjelasan berikutnya, Kiai Faqih mencontohkan seperti apa hukum aborsi, itu mungkin menurutnya berpotensi untuk berhadap-hadapan dengan yang lain. Lalu KUPI ubah dengan pertanyaan bagaimana hukum menyelamatkan jiwa perempuan, dalam konteks kehamilan tidak diinginkan akibat pemerkosaan. Sehingga ini menjadi titik temu. “Wajib kan untuk melindungi. Ayo dong, masak kita harus bertengkar terus.” Seloroh Kiai Faqih.
Selain itu, KUPI juga mencoba mencari titik temu lain, misal dalam konteks P2GP. Yakni pelukaan dan pemotongan genetalia perempuan. “Ini bahaya lho, ini melukai lho. Melukai kan tidak boleh? Maka itu yang kita diskusikan dengan berbagai komponen atau elemen-elemen lain.” Terangnya
Lebih lanjut Kiai Faqih menegaskan bahwa KUPI tidak memproduksi pengetahuan yang berhadap-hadapan atau melawan, tetapi KUPI mengajak untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya melihat, memandang dan memperlakukan perempuan sebagai manusia utuh, punya akal budi, intelektual, dan fisik yang terlindungi secara prinsip oleh seluruh konstitusi. “Insya Allah kalau kita sentuh kesadarannya itu, tidak akan dipermasalahkan lagi. Mudah-mudahan.” Pungkasnya. (Zahra)