Mubadalah.id – Metode mubadalah memfokuskan pada makna yang terkandung dalam hukum khitan. Dalam berbagai tulisan, termasuk dalam fikih, khitan laki-laki itu dengan memotong kulit yang menutupi ujung penis.
Kulit ini menutupi kepala penis, sehingga mengumpulkan sisa-sisa air kencing atau kotoran yang lain. Kulit ini, karena menutupi ujung penis, juga membuat laki-laki terhambat menikmati rangsangan seksual.
Karena itu, khitan akan membuat lakilaki menjadi lebih bersih, dan lebih bisa menikmati rangsangan saat berhubungan seks.
Pertanyaannya, apakah perempuan memiliki anggota tubuh yang menutupi, mengumpulkan kotoran, dan membuatnya lebih sulit terangsang, sehingga perlu dikhitan?.
Atau apakah dengan dikhitan, perempuan akan menjadi lebih bersih dan lebih mudah menikmati rangsangan seksual. Kajian medis menyatakan bahwa anatomi tubuh perempun berbeda dari laki-laki.
Di dalam tubuh perempuan tidak ada sesuatu yang bisa kita katakan mirip dengan kulup di ujung penis, yang mengumpulkan kotoran. Sehingga perlu membuangnya, atau menghambat rangsangan sehingga perlu membukanya.
Malah sebaliknya, bagian tubuh perempuan yang biasanya dikhitan di berbagai budaya, justru tempat saraf-saraf, yang salah satunya berfungsi merasakan rangsangan seksual.
Bahkan, banyak sekali praktik khitan perempuan justru berdampak besar pada kerusakan saraf alat kelamin, sehingga menimbulkan kesakitan, dan tidak sedikit yang berakibat kematian.
Dengan melihat makna yang tersimpan dalam khitan ini, maka yang di -mubadalahkan bukan hukum khitan. Tetapi bagaimana memberikan kesehatan dan kenyamanan tubuh pada perempuan, dengan tidak mengkhitannya, sebagaimana memberikan kenyamanan kepada laki-laki melalui khitan.
Metode mubadalah harus memastikan bahwa perempuan tetap memiliki saraf yang memungkinkan mereka dapat menikmati rangsangan seksual, sebagaimana laki-laki dapat menikmatinya.
Demikianlah kerja metode mubadalah dalam isu khitan. Tentu saja, dalam Islam, menikmati hubungan seks hanya dalam lembaga pernikahan. []