Mubadalah.id – Salah satu Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (MM KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa yang menarik untuk dinyatakan adalah bahwa kesaksian dalam hal-hal spiritual, keimanan, dan yang menyangkut hubungan vertikal hamba dengan Khaliknya sama sekali tidak membedakan laki-laki dan perempuan.
Hanya dalam soal-soal hubungan antar manusia saja masalah gender mengemuka. Itu pun hanya ada secara eksplisit dalam QS. al-Baqarah ayat 282 tentang kesaksian dalam transaksi utang piutang.
Sementara ayat lain yang menyebut angka saksi, yakni empat orang untuk kasus perzinaan (QS. an-Nisa’ 4:15 dan an-Nur 24:4).
Dan dua orang untuk saksi wasiat (QS. al-Maidah 5:106) dan ruju’ (QS. ath-Thalaq 65:2), semuanya tidak menyebutkan bahwa ayat itu hanya berlaku untuk laki-laki.
Nyai Badriyah menyebutkan bahwa dalam pemahaman fiqh, kemudian ada yang melakukan pembatasan, itu soal lain. Yang jelas al-Qur’an sendiri tidak eksplisit menyatakan demikian.
Bahkan dalam hal menolak tuduhan zina, kesaksian istri yang merasa tidak berzina namun tidak bisa menghadirkan empat orang saksi diterima kesaksiannya seorang diri setelah empat kali bersaksi dengan menyebut nama Allah bahwa dirinya benar dan suaminya salah.
Empat kali sumpah istri yang menolak tuduhan zina ini sama jumlahnya dengan empat kali sumpah suami yang melontarkan tuduhan kepada istrinya tanpa ada saksi mata selain si istri tersebut.
Bahkan dalam kasus yang demikian kesaksian istri langsung diterima dalam arti tuduhan zina atasnya menjadi gugur.
Demikianlah al-Qur’an menjelaskan hal ini secara gamblang dalam QS. an-Nur 24: 6-8. Soal siapa yang benar di antara keduanya, adalah Allah Yang Maha Tahu.
Kesaksian Perempuan
Nyai Badriyah menegaskan, melihat variasi ayat kesaksian dapatlah kita katakan bahwa kesaksian perempuan dalam al-Qur’an tidaklah dalam satu pola, yakni bahwa kesaksian perempuan bernilai setengah kesaksian laki-laki.
Sebagian besar ayat kesaksian malah tidak mempersoalkan gender. Pun dalam soal hubungan suami-istri, kesaksian mereka adalah sama.
Dengan demikian, kesimpulan yang menyatakan bahwa harga perempuan setengah dari harga laki-laki semata-mata hanya berdasarkan satu dari 140 lebih ayat tentang kesaksian adalah tidak tepat.
Satu ayat itu pun sesungguhnya jika memahami secara kontekstual dengan melihat latar belakang dan tujuannya, seperti dalam edisi yang lalu, maka tidak bisa boleh menyimpulkannya sebagai bentuk diskriminasi gender. (Rul)