Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan para ulama madzhab empat, mereka sepakat bahwa suami tidak berkewajiban memberikan nafkah untuk sarana kesehatan istrinya, baik berupa biaya berobat ke dokter, atau uang untuk membeli obat-obatan dan sebagainya.
Menurut mereka, ongkos atau biaya untuk keperluan tersebut menjadi tanggungannya sendiri, baik dari uangnya sendiri maupun dari orang tuanya (keluarganya). Karena, kata mereka, pengobatan-pengobatan tersebut mereka perlukan untuk menjaga asal tubuhnya.
Oleh karena itu, maka biaya tersebut tidak boleh kita bebankan kepada pengguna manfaat atas tubuh itu. Persoalan ini dapat kita analogkan dengan membangun atau memperbaiki sebuah rumah kontrakan (sewa).
Perbaikan-perbaikan atas rumah kontrakan tersebut menjadi tanggungan pemilik rumah dan bukan kewajiban yang mengontrak (penyewa). Sedangkan untuk obat-obatan, mereka menganalogkannya dengan makanan cuci mulut. Makan jenis ini tidak harus ada atau ia sediakan.
Tampak jelas sudah bahwa dalam pandangan ulama fiqh madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, bahwa obat-obatan tidaklah dianggap sebagai kebutuhan pokok.
Hal ini, karena kondisi masyarakat pada waktu itu secara umum tidak memerlukan pengobatan seperti keadaaan sekarang ini. Mereka pada umumnya hidup dalam keadaan sehat. Akan tetapi, dewasa ini, kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan telah menjadi bagian dari kebutuhan pokok.
Pandangan Wahbah Zuhaili
Wahbah Zuhaili, ahli fiqh kontemporer dari Siria, menolak pandangan para ulama madzhab empat di atas. Menurutnya, nafkah untuk kesehatan adalah termasuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami. Ia sama dengan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
Menurutnya pemberian nafkah kesehatan merupakan bentuk dari mu’asyarah bi al-maruf. Katanya: “Bukanlah mu’asyarah bi al-ma’ruf namanya, kalau suami dalam keadaan isterinya sehat dapat bersenang-senang (istimta), tetapi manakala dia sakit, lalu mengembalikannya kepada keluarganya”.
Menurut Wahbah, Undang-undang Perkawinan Mesir tahun 1985 telah menetapkan bahwa nafkah untuk istri meliputi makan, sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), biaya-biaya pengobatan dan hal-hal lain yang diwajibkan oleh agama.”
Inilah saya kira pendapat fiqh yang lebih maslahat dan lebih sesuai dengan tuntutan perkembangan sosial.
Agama tentu saja menyetujui pandangan ini, karena agama memang hadir untuk memberikan kemaslahatan dan keadilan bagi manusia. []