Mubadalah.id — Keterbukaan antara suami dan istri di dalam rumah tangga adalah jembatan yang menumbuhkan fondasi mawaddah dan rahmah, dua fondasi cinta dan kasih sayang sebagaimana digambarkan dalam QS. Ar-Rum ayat 21.
Ketika pasangan saling terbuka, mereka tidak hanya berbagi kebutuhan. Tetapi juga menumbuhkan kepekaan terhadap kebahagiaan satu sama lain.
Keterbukaan juga melatih kedua pihak untuk berempati dan menghargai batas diri masing-masing bahwa tidak semua hal harus sempurna, dan tidak semua kebutuhan harus segera terpenuhi.
Sementara itu, jika kita belajar kehidupan rumah tangga dari Rasulullah Saw. Maka Nabi telah memberikan teladan terbaik dalam kehidupan keluarganya.
Beliau terbuka terhadap keluarganya, mendengarkan pendapat istri-istrinya, bahkan tidak sungkan menunjukkan kasih sayang di hadapan para sahabat.
Bahkan, dalam kehidupan rumah tangga Nabi, dialog dan rasa saling menghormati menjadi bagian dari ibadah. Karena itu, keterbukaan terhadap kebutuhan diri dan pasangan bukanlah kelemahan, melainkan bentuk keimanan dan kematangan jiwa.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Perempuan Bukan Makhluk Domestik menjelaskan bahwa keterbukaan adalah jalan untuk mengeksplorasi modal mawadah yang telah Allah Swt berikan ke dalam diri setiap manusia.
Ketika suami dan istri mau mendengarkan dan saling memahami. Maka rumah tangga akan menjadi ruang tumbuh bukan arena saling menuntut.
Keterbukaan dalam rumah tangga menjadi salah satu keberanian untuk mengakui bahwa kita manusia yang memiliki kebutuhan, rasa lelah, dan harapan.
Islam tidak menuntut pasangan untuk menjadi sempurna, melainkan untuk saling menolong dalam kebaikan dan kasih sayang. Sebab cinta tidak hanya kita ukur dari lamanya kebersamaan. Melainkan dari seberapa dalam pasangan mampu memahami dan menghargai kebutuhan satu sama lain.
Seperti pesan Nabi, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.” Dan kebaikan itu, sering kali, dimulai dari keberanian untuk berbicara dan mendengarkan dengan hati terbuka. []