Mubadalah.id – Dalam perspektif Mubadalah, teks-teks Hadis tentang kehadiran perempuan di masjid dalam berbagai kesempatan itu banyak sekali, dan semuanya tercatat dalam kitab yang valid dan otoritatif, seperti dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Dengan begitu, seharusnya logika umum ayat dan Hadis terkait akivitas perempuan di masjid dengan banyak fakta dan valid dari Hadis-hadis otoritatif, sudah cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Namun, sayangnya, masih banyak orang yang terkecoh dengan satu dua Hadis, yang justru hanya satu kasus dan tidak lebih sahih dari yang teks-teks di atas.
Orang lebih menoleh pada Hadis ini, lalu menganggap: memang dalam Islam, sebaiknya perempuan tidak hadir dalam kegiatan-kegiatan masjid.
Teks Hadis yang Merumahkan Shalat Perempuan
Berikut adalah teks Hadis yang dijadikan dasar untuk merumahkan shalat perempuan:
Dari Abdullah bin Suwaid al-Anshari, dari bibinya, Umm Humaid al-Sa’idi r.a., bahwa dia datang menemui Nabi Saw. dan berkata: “Ya Rasulullah, aku mencintai dan ingin sekali selalu shalat bersamamu.”
Lalu Nabi Saw. menjawabnya: “Aku tahu kamu mencintai shalat bersamaku. Tetapi shalat kamu di rumah (yang khusus untuk)mu sendiri lebih baik dari shalatmu di ruang (tengah yang lebih besar). Shalatmu di ruang tengah lebih baik dari shalatmu di rumah (keluarga yang lebih besar).”
“Shalatmu di rumah keluarga lebih baik dari shalatmu di masjid kampungmu. Dan shalat di masjid kampungmu lebih baik dari shalat di masjidku ini.”
Lalu Umm Hamid memerintahkan agar dibangun sebuah masjid (tempat shalat khusus untuknya), di bagian paling terpencil dari rumahnya dan paling gelap. Dia selalu shalat di situ sampai wafat menuju Allah Swt. (Musnad Ahmad, no. 27732).
Teks Hadis ini memang dinilai hasan oleh ulama Hadis. Namun, teks Hadis tersebut tidak masuk dalam periwayatan kitab-kitab Hadis utama, terutama Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Teks Hadisnya juga bertentangan dengan teks Hadis yang jauh lebih sahih dan lebih banyak.
Karena itu, Imam Ibn Hazm al-Zahiri (w. 1064) dalam kitab al-Muhalla bi al-Atsar menolak teks Hadis Umm Hamid al-Sa’idi r.a. ini. Bahkan ia menganggapnya lemah, dan tidak bisa menjadi dasar hukum sama sekali. []