Mubadalah.id – “Saya memilih bekerja di instansi pelayanan daripada menjadi dosen yang jam tugasnya hampir 24 jam”, begitu kalimat seorang teman beberapa tahun lalu seusai pengangkatannya menjadi seorang abdi negara. Baginya, kita hanya perlu menyisihkan beberapa jam ketika kita bekerja. Artinya bekerja di luar jam kerja, kita harus membatasi diri untuk tidak berkutat dengan pekerjaan.
Prinsip demikian ternyata juga saya temui pada beberapa teman yang berprofesi sebagai abdi negara. Alasannya masuk akal, ada hak-hak yang perlu kita penuhi, hak untuk diri, hak untuk keluarga atau lingkungan sosialnya.
Barangkali banyak yang sepakat dengan yang demikian. Siapa yang mau bekerja di luar jam kerja? bagi orang normal, tentu tidak akan ada yang bersedia kecuali mereka-mereka workaholic. Seorang teman pernah berkelakar, “Gawean kwi gur perkoro donyo, ojo digawe sepaneng” yang artinya pekerjaan hanyalah urusan dunia, jangan terlalu kita buat serius.
Benar bahwa tanggung jawab ini jangan sampai membuat kita terlalu fokus hingga tidak memperdulikan hal-hal lain yang juga perlu kita penuhi. Demi juga menjaga kewarasan, saya sepakat bahwa tugas ini harus kita bawa enjoy senyaman mungkin.
Namun pernyataan bahwa pekerjaan hanya urusan dunia, perlu kita luruskan. Pernyataan ini, meskipun kita bawakan dalam nada guyon, namun implikasinya cukup besar karena mengandung ajakan tersirat yang mengarahkan pendengarnya untuk bermalas-malasan.
Pekerjaan yang kita dedikasikan untuk Tuhan adalah urusan akhirat. Apalagi jika pekerjaan itu terkait dengan pelayanan masyarakat dan negara, ada amanah besar terselip dalam sumpah janji yang sudah kita baiatkan.
Mencintai Pekerjaan dengan tanpa Meninggalkan Hak
Mubadalah mengajarkan kesalingan yang bertujuan untuk keseimbangan sebuah relasi. Dunia kerja menjadi bagian dari hidup manusia yang cukup pelik. Karena mengandung relasi yang seringkali kita hadap-hadapkan dengan dua hal. Yakni antara pekerjaan dengan passion (hak diri) atau antara pekerjaan dengan keluarga (hak orang lain).
Sepertinya kurang bijak jika kita menghadap-hadapkan keduanya. Ketika memutuskan bekerja, seseorang hendaknya dengan sadar memikirkan konsekuensi yang akan ia hadapi. Waktu yang tersita menjadi resiko paling besar yang harus bisa kita hadapi.
Belum lagi bagi mereka yang memilih mengabdikan diri pada negara. Perlu meminta komitmen tidak hanya pada diri sendiri namun pada keluarganya. Segala hal terkait hak-hak yang harus kita penuhi, perlu kita bicarakan bagaimana teknis pemenuhannya.
Ibrah dari Khalifah Bani Umayah
Prinsip teguh negarawan sejati yang Umar bin Abdul Aziz teladankan. Di mana ia sebagai seorang khalifah Bani Umayah pengganti Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Umar bin Abdul Azis sangat terkenal dengan kisah-kisah kepemimpinannya yang bijak dan sarat dengan kebaikan.
Alkisah, Umar bin Abdul Aziz hendak tidur selepas pemakaman Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Seketika Abdul Malik anak Umar bin Abdul Aziz mengingatkan bahwa saat ini Umar bin Abdul Aziz adalah seorang Amirul mukmin yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Atas peringatan dari anaknya tersebut, Umar bin Abdul Aziz bangkit tak hendak berani meneruskan niatnya untuk beristirahat.
Kisah tentang dedikasi waktunya kepada negara menjadi ibrah yang membuat kita berpikir ulang melewatkan waktu untuk tidak mendahulukan urusan negara. Level kita tentu tidak akan sama dengan Salafus Saleh seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Namun setidaknya kita bisa mengambil hikmah bahwa manejemen waktu bukan membatasi kita. Saat dibutuhkan dan memungkinkan pekerjaan kita lakukan di luar waktu itu terpenuhi.
Prinsip ini tentu tidak hanya untuk mereka yang berkutat dengan pemenuhan kewajiban kepada negara. Kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz perlu kita tarik sebagai kisah hikmah tentang bagaimana sebuah tanggung jawab kita upayakan. Saat amanah itu terbebankan, di sana ada tanggung jawab. Para pekerja yang telah membuka komitmen dengan lembaga atau instansi berarti bersiap dengan amanah yang di dalamnya mengandung tanggung jawab serta konsekuensi yang harus kita pikul.
Pada prinsipnya, dunia ini adalah perihal “memerintah” dan “diperintah”. Pada saatnya memerintah, jangan pernah sekali-kali semena-mena. Demikian pada saatnya menerima perintah, jangan lantas memperlambat. Lakukan yang terbaik. Saling memahami porsi masing-masing. Maka demikan, bermubadalah adalah kunci. (Bebarengan)