Mubadalah.id – Dalam banyak tafsir klasik, termasuk Shifat al-Jannah karya Ibnu Abi ad-Dunya, deskripsi tentang surga begitu kental dengan maskulin.
Surga digambarkan sebagai tempat di mana laki-laki mukmin memperoleh kenikmatan berlimpah—dikelilingi bidadari muda, perawan, dan suci—yang siap melayani segala kebahagiaan mereka. Sementara itu, nyaris tidak ada deskripsi yang sepadan tentang kenikmatan surga bagi perempuan mukmin.
Dalam kitab-kitab tersebut, istilah “azwaj muthahharah” (pasangan-pasangan yang suci) diartikan sebagai istri-istri yang masih perawan dan belum pernah disentuh siapa pun.
Lebih jauh lagi, deskripsi ini bahkan menyebut bahwa mereka tidak pernah menstruasi, tidak buang air besar, dan selalu harum. Semua citra ini jelas hanya bisa relevan bagi laki-laki, karena menggambarkan perempuan sebagai objek yang ia nikmati. Bukan sebagai subjek yang juga berhak menikmati.
Padahal, dalam pandangan Islam, perempuan adalah bagian dari manusia mukmin yang telah Tuhan janjikan kenikmatan surga atas dasar keimanan dan amal salehnya. Allah berfirman:
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa bagi mereka, Tuhan sediakan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Di sana mereka memperoleh pasangan-pasangan yang suci, dan mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 25)
Dalam teks aslinya, kata azwaj (أَزْوَاجٌ) berarti pasangan-pasangan. Secara struktur bahasa Arab, bentuk laki-laki (mudzakkar) memang digunakan untuk mewakili laki-laki dan perempuan sekaligus.
Namun, dalam banyak penafsiran klasik, penggunaan bentuk mudzakkar ini mereka artikan secara sempit. Yaitu hanya laki-laki yang menjadi subjek penerima janji surga.
Membaca Ulang dengan Qiraah Mubadalah
Maka dari itu, dalam Buku Qiraah Mubadalah, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menawarkan cara pandang yang berbeda. Ia menegaskan bahwa ayat-ayat seperti QS. al-Baqarah [2]: 25, QS. Ali Imran [3]: 15, dan QS. an-Nisaa’ [4]: 57 semestinya kita baca dengan prinsip mubadalah yaitu prinsip kesalingan, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi subjek teks.
Menurut Kiai Faqih, jika menggunakan metode mubadalah, maka ayat-ayat tentang “pasangan-pasangan yang suci” bukan hanya berbicara tentang kenikmatan laki-laki yang memperoleh bidadari. Tetapi juga tentang perempuan mukmin yang akan memperoleh pasangan suci—bidadara—di surga.
Dengan demikian, surga bukan ruang kenikmatan yang khusus bagi satu jenis kelamin. Melainkan surga adalah tempat bagi semua jiwa beriman, laki-laki maupun perempuan, untuk memperoleh kebahagiaan yang paripurna sesuai fitrahnya masing-masing. []