Mubadalah.id – Republik Indonesia bukan menganut system monarkhi absolut yang secara otomatis menurunkan kekuasaan pada keturunannya. Maka, ini kali pertama, setelah ayah sebagai presiden lengser, tergantikan anaknya, walau bukan sebagai presiden tetapi wakil presiden.
Kisah Presiden Joko Widodo dan anaknya Gibran Rakabuming Raka (Wakil Presiden) mengingatkan saya pada babad tanah Jawa, Babad Banyumas Mertadiredjan, yang di antaranya mengisahkan seorang raja menurunkan kekuasaan kerajaan pada putranya. Babad Banyumas Mertadiredjan, tertulis sekitar tahun 1816-1830, kala pemerintahan Adipati Mertadiredja I.
Selain itu, ada pula Babad Cirebon yang menceritakan Syeh Syarif Hidayatullah atau yang lebih kita kenal Sunan Gunung Djati dan Kerajaan Islam Cirebon. Sebelumnya, sekitar tahun 1310 (abad 14), kita temukan syair Islam dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi di Minya’ Tujoh, Aceh.
Para ahli menyimpulkan, karya ulama yang tertulis dengan huruf Jawi sudah berkembang sejak Abad 14 tepatnya saat Kekhalifahan Samudra Pasai dan Kekhalifahan Islam lainnya di Semenanjung Malaka.
Menilik Kisah-kisah Para Raja
Kisah-kisah para raja yang tertulis dalam babad atau naskah kuno dan lahirnya kerajaan Islam di Indonesia memiliki hubungan yang sangat erat dengan kelahiran ulama-ulama Nusantara. Sebagian besar kisah mereka tertulis dalam naskah kuno (Mahrus El-Mawa, 2016).
Naskah kuno atau manuskrip (manuscript (Bahasa Inggris) atau handscript (Bahasa Belanda)) adalah tulisan tangan asli, usianya minimal 50 tahun. Memiliki arti penting bagi peradaban, sejarah, kebudayaan, ilmu pengetahuan, pengobatan tradisional, tabir gempa atau gejala alam, fisikologi manusia, dan dokumentasi budaya. Tujuan utamanya mendapatkan nilai-nilai kebaikan di masa lalu dan merelevansikan dengan budaya saat ini (Ufi Saraswati, 2011).
Naskah kuno membahas banyak hal. Selain itu, naskah kuno yang membahas seputar politik kepemimpinan, pembagian kekuasaan termuat dalam naskah-naskah kuno seperti Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Fragmen Carita Parahiyangan, Amanat Galunggung, Sanghyang Raga Dewata, Sanghyang Hayu, maupun Sewaka Darma.
Upaya mencegah gizi buruk (stunting) telah ada dalam naskah kuno Sanghyang Titisjati Pralina. Adapun Kawih Katanian, menarasikan ragam model padi di daerah Sunad pada masa lalu, atau yang terkenal dengan tatanén ‘pertanian’ (Elis Suryani NS, 2021).
Naskah Kuno di Indonesia
Kaya akan ragam naskah kuno, paling tidak Indonesia memiliki tiga jenis naskah kuno. Yakni Manuskrip Islam (berbahasa dan bertuliskan Arab), Manuskrip Jawi (bertuliskan huruf Arab tetapi berbahasa Melayu, diberi tambahan vonim menyesuaikan aksen Melayu), dan Manuskrip Pegon (bertuliskan huruf Arab tetapi menggunakan bahasa lokal Jawa, Sunda, Bugis, Buton, Banjar, Aceh dan lainnya).
Mempelajari naskah kuno, memang bukan perkara mudah, perlu kesabaran dan ketelitian. Salah satu naskah kuno yang penting kita teliti adalah naskah teks-teks al-Qur’an. Kegiatan meneliti atau proses taḥqīq kitab bertujuan memelihara keaslian teks.
Adapun orang yang melakukan kegiatan taḥqīq, atau mengkaji atau meneliti disebut muḥaqqiq. Kegiatan taḥqīq merupakan upaya menyelamatkan karya-karya ulama masa lalu.
Setidaknya ada 10 langkah-langkah seorang filologi yakni membaca manuskrip yang akan kita baca, menulis ulang naskah asli, membandingkan antara beberapa naskah, mengubah kesalahan fatal, membubuhi tanda baca, melakukan takhrij terhadap hadist dan teks tertentu, memberi komentar, membuat pendahuluan, membuat penutup, dan membuat daftar referensi.
Pertama, membaca manuskrip yang akan kita baca
Menurut Kamilin Jamilin (Ahli Majlis Fatwa Wilayah Persekutuan, Malaysia) yang terlibat dalam kegiatan tahqiq, tahapan untuk membaca manuskrip kita awali dengan menelaah judul kitab, memastikan kondisi naskah, nama pengarang dan latar belakang penulis, sandaran kitab dan kebenarannya, serta isi kitab (matan).
Jamilin mengingatkan manuskrip yang akan kita tahqiq harus juga melibatkan dan mengumpulkan manuskrip lainnya yang terkait. Bila semua naskah telah terkumpul maka perlu kita kelompokkan manuskrip asli dan manuskrip yang layak kita jadikan referensi utama.
Kedua, menulis ulang naskah asli
Proses menulis ulang ini terjadi bila naskah asli umumnya sudah demikian rusak atau sobek. Para ahli memberikan catatan penting, kala menulis ulang naskah asli potensi terjadi kesalahan sangat mungkin terjadi. Terutama dalam hal pemberian tanda baca seperti titik (.), koma (,), tanya (?), dan lainnya.
Hal ini karena pada naskah kuno, ada yang memiliki tanda baca, ada yang tidak. Sehingga perlu kehati-hatian. Hal lain yang perlu kita pastikan adalah jenis teks, memahami gaya, dan sistem penulisannya.
Ketiga, membandingkan antara beberapa naskah
Hidayatullah (2024) dalam makalahnya yang berjudul ‘Warisan Intelektual Islam: Studi atas Prosedur Taḥqīq dalam Menjaga Orisinalitas Sumber’ memberikan contoh naskah Andalusia dan Maghribi. Yakni tulisan bahasa Arab pada huruf sin yang memiliki tiga titik sedangkan pada naskah lain tidak memiliki tiga titik. Yakni kata تسميت dan تشميت.
Contoh lain yang juga menarik misalnya dalam kata ماء (air) dan سماء (langit). Dalam tulisan kuno, huruf hamzah sering kali terabaikan penulisannya, sehingga kata ماء bisa tertukar dengan kata ما, dan سماء dengan kata kerja سما (naik, tinggi). Itu sebabnya ketika melakukan tahqiq perlu dengan cermat membandingkan beberapa naskah, guna menghindari kesalahan pemahaman.
Lalu contoh lain membandingkan naskah, bisa kita baca dari paper Pramono (2021) tentang ‘Khazanah Naskah Alquran Koleksi Museum Adityawarman: Deskripsi dan Kekhasannya’. Pramono membandingkan 17 bundel naskah al-Quran yang memiliki keunikan dan kekhasan. Keunikan dan kekhasannya tertandai dengan adanya catatan pada pias yang menerangkan informasi perbaikan matan mushaf Alquran.
Catatan tersebut juga menginformasikan berkenaan dengan kata atau kalimat yang tertinggal dalam satu ayat. Fenomena ini menandakan bahwa tradisi tahqiq dalam manuskrip mushaf al-Quran telah menjadi tradisi di surau-surau Minangkabau masa lampau.
Keempat, mengubah kesalahan fatal
Para ahli sejarah melarang keras mengubah naskah tulisan asli yang tertulis ulang, guna menghindari kesalahan makna atau huruf yang fatal. Para ahli sejarah berpesan, jika hendak menulis ulang dari makna yang kita anggap salah, maka tulislah dalam catatan kakinya saja dalam buku naskah ulang yang akan kita tuliskan.
Walau begitu, Kosasih dan Supriatna (2014) menawarkan ada upaya menghindari kesalahan fatal yakni ‘metode intuitif’ yakni kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa kita pikirkan atau dipelajari (bisikan hati atau gerak hati). Metode lainnya yakni ‘metode objektif’, yakni meneliti silsilah naskah dengan cara stema.
Tahapannya (Baried dkk, 1985) recendcia tectur yaitu merekonstruksi penurunan naskah-naskah yang ada, eliminasi naskah dan mengadakan penelusuran pertalian antarnaskah. Lalu, exminatio, yaitu menguji naskah untuk memilih naskah yang paling mendekati aslinya. Serta metode emandation atau perbaikan, yaitu menyajikan atau mengedisi teks dengan membetulkan bagian-bagian yang korup.
Lebih lanjut, Kosasih dan Supriatna (2014) juga menarasikan ‘metode gabungan’. Yakni menggabungkan naskah-naskah dan memilah naskah. Ada juga ‘metode landasan’ dengan memastikan kualitas naskah.
Selain itu ‘metode naskah tunggal’, dengan cara menerbitkan satu naskah seteliti-telitinya tanpa mengadakan perubahan (edisi diplomatic), fotografis atau naskah asli direproduksi atau facsimile (edisi diplomatic), serta menerbitkan naskah kuno dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan, sedang ejaannya yang kita pastikan tidak menyalahi ketentuan dalam penulisan ulang naskah kuno (edisi standar).
Beberapa contoh hasil penelitian melalui silsilah, yakni tarekat, karya Mahrus El-Mawa (2010) tentang ‘Naskah Syattariyah Cirebon: Riset Awal dalam Konteks Jejaring Islam Nusantara,’ dan ‘Melting Pot Islam Nusantara Melalui Tarekat: Studi Kasus Silsilah Tarekat Syattariyah di Cirebon’. Serta tesis karya Ahmad Opan Sopari (2010) tentang ‘Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis’.
Kelima, membubuhi tanda baca
Tanda baca yang kini kita gunakan seperti koma (,), titik koma (;), tanda tanya (?), sebelumnya belum demikian. Adapun untuk mengutip pendapat orang secara langsung dahulu bukan dengan cara ketikan yang menjorok ke dalam dalam artikel atau diberikan tanda petik atas (‘………’).
Pada naskah kuno menggunakan kata hāźā kalām fulān (ini ucapan si fulan)/hāźā alfāẓ fulān (ini adalah kalimat si fulan )/hāźā qaul fulān (inilah pendapat si fulan)/hāźā mā qālahū fulān (ini yang dikatan si fulan)/ilā hunā qaul fulān (sampai disini perkataan si fulan)/ilā hunā ‘ibārah fulān (sampai disini ungkapan si fulan), intahā mā źakarahū fulān (telah selesai yang disebutkan oleh fulan), ākhir kalām fulān (ucapan terakhir dari fulan).
Demikian Hidayatullah contohkan mengutip pendapat dari Ramadhan Abdul Al-Thawwab, yang bukunya diterjemahkan menjadi ‘Metode Kajian Teks Menurut Ulama Klasik dan Kontemporer’.
Keenam, melakukan takhrij terhadap hadist dan teks tertentu
Takhrīj teks-teks yang muhtaqiq nukil harus jelas siapa penulis awalnya dan penulis setelahnya. Terutama kalimat yang mengarah pada qīla-qola (dikatakan) atau ra’ā ba’ḍuhum (sebagian dari mereka berpendapat). Sehingga informasi-informasi menjadi jelas.
Ketujuh, memberi komentar
Mengutip Hidayatullah, kegiatan taḥqīq, komentar kita sebut ta’līq. Dalam al-Mu’jam al-Wasīṭ, ta’līq adalah ‘memberi komentar terhadap perkataan orang lain dengan menyertakan kritik, penjelasan, penyempurnaan, koreksi, atau penarikan kesimpulan’. Dan hal ini sangat penting kita lakukan.
Kedelapan, membuat pendahuluan
Pada bagian pendahuluan, seorang muhaqiq penting menarasikan secara singkat hasil kajiannya, asal usul kitab yang kita baca, silsilah, matan, kitab yang dibandingkan, dan takhrij disinggung dalam pendahuluan. Tidak lupa juga penting memberikan gambaran umum menginterpretasi teks serta alur pertimbangan penyunting (muḥaqqiq) bahwa teks yang kita kaji tersebut patut mendapat perhatian.
Selanjutnya penutup sebagai rangkuman, dan terakhir kesepuluh membuat referensi. Kesepuluh tahapan ini perlu seorang peneliti lalui guna mendapatkan hasil terbaik ketika melakukan kajian naskah.
Sebagaimana telah saya uraikan di awal, naskah kuno menyimpan banyak khazanah pengetahuan dan informasi penting. Akan tetapi keberadaan naskah kuno kini ter(di)lupakan. Salah satunya karena naskah kuno tidak kita anggap penting.
Membaca naskah kuno itu seperti kita sedang melihat cermin, terutama pada saat perpolitikan kita saat ini. Sangat mirip dengan perpolitikan pada masa lalu yang tertulis dalam naskah kuno atau babad Nusantara dan semacamnya.
Untuk itu, penting bagi kita menjaga naskah-naskah tersebut agar kelak sampai pada anak dan cucu. Menjaga kelestarian naskah kuno juga bagian dari menjaga keluhuran budaya bangsa dan agama. Semoga. []