• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Perjalanan Intelektual Al Ghazali dalam Menyusun Kitab

Dalam Al-Mustashfa, Al-Ghazali mengaku bahwa setelah ia mengalami puncak krisis spiritual yang dahsyat, ia mendalami ilmu-ilmu thariqah menuju akhirat dan ilmu rahasia-rahasia keagamaan yaitu tasawuf.

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
26/06/2021
in Hikmah
1
Kitab Manba'ussa'adah

Kitab Manba'ussa'adah

171
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada pertemuan sebelumnya, Al-Ghazali mengungkapkan persepsinya waktu muda terhadap ilmu yang mempengaruhi perjalanan intelektualnya. Menurutnya, Ilmu yang sempurna adalah ilmu seperti fikih, usul fikih dan semacamnya yang dapat mengkomparasikan antara peran akal dan “wahyu” (periwayatan).

Ilmu yang tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual dan mengabaikan wahyu sehingga cenderung disambut “kurang baik” oleh Tuhan. Pun, juga bukan ilmu yang bertendensi pada periwayatan dan ikut-ikutan semata sekiranya tidak ada testemoni dari akal untuk menjustifikasi serta mengabsahkannya.

Dalam bagian ini, Al-Ghazali mengulas pengalaman pribadinya di masa lampau. meskipun Beliau sebagai sufi agung waktu itu, namun dengan kekuasaan Allah ia ditakdirkan untuk tetap mengampu pelajaran yang dulu pernah digeluti, yaitu mengajar pelajaran fikih usul fikih. Di tengah kesibukan aktivitasnya untuk mengajar sekaligus menjalani kehidupan sufi, sebagian murid Beliau (dalam bidang usul fikih) menyarankan untuk mengarang karya usul fikih sebagai penyempurna dari dua kitab sebelumnya.

Mendengar usulan itu, Al-Ghazali merespon positif dan memutuskan untuk menggarap apa yang diminta para muridnya. supaya lebih memudahkan para santri dan pelajar generasi selanjutnya, Beliau bertekad untuk mengarang kitab pertama (dalam bidang usul fikih) yang sistematis serta detail dan mendalam kajiannya. Kitab tersebut kelak dikenal dengan nama kitab Al-Mustashfa, salah satu kitab induk usul fikih Mutakallimin. Kitab pamungkas yang menyempurnakan dua kitab sebelumnya yaitu Tahzdib Al-Wusul dan  Al-Mankhul.

Tahzdib Al-Wusul kitab yang dinilai terlalu besar serta terlalu luas penjabarannya sehingga mengesankan melebar kemana-mana dan potensi membingungkan kepada pelajar.  Sebaliknya, kitab Al-Mankhul ternyata terlalu ringkas, banyak poin-poin usul fikih yang penting tidak terakomodir di dalamnya.

Baca Juga:

Kisah Rumi, Aktivis, dan Suara Keledai

Hari Kemenangan dan 11 Bulan Kemudian

Ketupat dalam Tradisi Jawa: Antara Simbol Rukun Islam dan Upaya Penyucian Diri

Euforia Idulfitri dalam Bayang-bayang Kapitalisasi Tradisi dan Budaya Konsumerisme

Di tengah kekurangan dua kitab sebelumnya maka lahirlah kitab  Al-Mustashfa yang menyempurnakan dari kekurangan-kekurangan dua kitab sebelumnya itu, kitab yang tidak terlalu ringkas, pun tidak terlalu luas. Kitab yang dapat menjelaskan poin-poin penting dalam ilmu usul fikih serta tidak membosankan bagi pembaca karena ketebalannya.

Imam Al-Ghazali, menyebutnya  sebagai kitab “Tawassut baina Al-Ikhlal wa Al-Imlal”. Terjemah bebasnya, “Tengah-tengah antara kurang (karena terlalu ringkas) dan membosankan (karena terlalu luas)”. Al-Mustasfa kitab yang merepresentasikan poin-poin ilmu usul fikih dengan penjelasan secara sistematis, bahkan Al-Ghazali mengklaim bahwa siapapun yang memandang (mempelajari) sekilas kitab al-Mustasfa niscaya dia akan mengetahui terhadap tujuan-tujuan dari ilmu usul fikih.

Diantara ciri khusus yang dimiliki Al-Ghazali terletak pada karakter dalam menyusun kitab-kitab karangan Beliau. Pertama, karangan dalam usul fikih. Beliau menyusun tiga kitab tersebut saling berkelindan serta saling melengkapi satu sama lain. Sebagaimana telah diulas di atas. Selanjutnya, dalam bidang fikih, Al-Ghazali juga memiliki tiga kitab yang unik. karakteristik lahirnya tiga kitab dalam fikih ini tidak jauh beda dengan faktor yang terjadi pada karangan dalam bidang ilmu usul fikih.

Al-Basit adalah kitab tebal yang dikarang oleh Imam Al-Ghazali dalam bidang fikih. Kitab yang disarikan dari kitab gurunya Imam Haramain Al-Juawaini Nihatu al-Mathlab fi diraya al-Mazhab. Sebagaimana nasib kitab Tahzdib Al-Wusul dalam bidang usul fikih, Al-Basit juga terlalu tebal maka di resume kembali oleh beliau menjadi kitab Al-Washit.

Akan tetapi, kitab Al-Washit masih dianggap terlalu tebal hingga kurang diminati para pelajar waktu itu, karena pada masa ini bisa dibilang kajian dalam keilmuan muali menurun sebab kondisi politik yang kurang stabil. Akhirnya, diolah kembali menjadi kitab Al-Wajiz yang dianggap cocok untuk dipelajari.

Terakhir, di bidang tasawuf. Dalam Al-Mustashfa, Al-Ghazali mengaku bahwa setelah ia mengalami puncak krisis spiritual yang dahsyat, ia mendalami ilmu-ilmu thariqah menuju akhirat dan ilmu rahasia-rahasia keagamaan yaitu tasawuf. Tidak berhenti disitu, ia masih saja produktif sebagaimana sebelumnya, sehingga berhasil mengarang banyak kitab dalam bidang ini. Diantaranya, tiga kitab yang hampir mirip dengan tiga kitab dibidang fikih dan usul-fikih, tiga kitab yang saling melengkapi.

Dalam pendahuluan kitab Al-Mustashfa, Imam al-Ghazali mengaku;

…فصنفت فيه كتبا بسيطة ككتاب إحياء علوم الدين  ووجيزة ككتاب جواهر القرآن ووسيطة ككتاب كيمياء السعادة

“…lalu aku mengarang beberapa kitab dalam bidang tasawuf ini, ada yang tebal seperti ‘Ihya’ Ulumiddin’ dan ada yang tipis seperti kitab ‘Jawahir al-Qur’an’ dan ada pula yang sedang semisal kitab ‘Kaimiyaau al-Sa’adah’.”

Tidak terlalu jauh geonologi kitab-kitab Imam Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dengan kitab dalam bidang usul fikih yang sudah dijelaskan di atas. Hanya saja, dalam bidang tasawuf ini ada riwayat lain yang mengatakan bahwa kitab bandingan dari Ihya’ Ulumiddin adalah kitab Bidayah Al-Hidayah yang sering dikaji di pesantren-pesantren untuk tingkatan dasar. Sementara untuk tingkatan menengah adalah kitab Minhaju Al-‘Abidin dan setelah itu kitab Ihya’ sebagai tingkatan tertinggi atau pamungkas. []

 

Tags: Cendekiawan MuslimfilsafatHikmahimam al-ghazaliintelektual muslimKebijaksaanSejarah Islamspiritualitastasawuf
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

KDRT

3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

7 Juni 2025
Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

6 Juni 2025
Wuquf Arafah

Makna Wuquf di Arafah

5 Juni 2025
Kritik Asma Barlas

Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

5 Juni 2025
Aurat

Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

5 Juni 2025
Batas Aurat Perempuan

Dalil Batas Aurat Perempuan

5 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID