Mubadalah.id – Jika merujuk pada beberapa teks hadis tentang khitan anak perempuan, mungkin bisa disimpulkan bahwa khitan anak perempuan bersumber dari tradisi masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang.
Beberapa catatan hadis itu menyebutkan, pada suatu hari Rasulullah Saw kedatangan sekelompok perempuan Anshar yang mempertanyakan kebiasaan masyarakat Madinah yang suka mengkhitan anak perempuannya.
Menurut mereka, orang Madinah terpengaruh oleh budaya kaum Yahudi dan Nasrani yang memiliki tradisi mengkhitan anak perempuan.
Ketika ditanya soal khitan perempuan, Nabi Saw menjawab, “Jangan berlebih-lebihan,” karena klitoris merupakan sumber kenikmatan seksual bagi perempuan.
Kisah ini, menurut Maria Ulfah Anshor seperti di dalam buku Paranting With Love, membuktikan bahwa praktik khitan perempuan memang sudah ada, bahkan jauh sebelum Islam datang.
Bahkan, jika merujuk salah satu feminis Mesir dan penulis Kitab Qira’ah Al-Zawij, Wafiyah Al-Siarjani, khitan perempuan itu merupakan tradisi kuno yang sudah dipraktikkan jauh sebelum Islam.
Husain Muhammad dalam bukunya Fikih Perempuan mengilustrasikan bahwa khitan perempuan justru sangat negatif dari sudut kebutuhan seksual karena akan mengurangi kenikmatan, bahkan bagi sebagian perempuan bisa menimbulkan trauma psikologis yang berat.
Sebab, ujung klitoris adalah organ seks perempuan yang sangat sensitif terhadap gesekan dan rangsangan yang membawa kenikmatan.
Kepuasan seksual, kata Buya Husein adalah hak suami istri yang menjadi kewajiban bersama untuk saling memenuhi.
“Artinya, kedua belah pihak harus berusaha mengantarkan pasangannya untuk sampai pada puncak kenikmatan (orgasme). Jika tujuan utama khitan laki-laki agar tercapai kenikmatan hubungan seksual, mengapa pada khitan perempuan justru bagian yang paling sensitif yang dipotong atau dilukai.” tulisnya. (Rul)