• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Khutbah Jumat Dialogis Sayyidina Umar dan Utsman

Andaikan dialog saat khutbah antara dua punggawa sahabat Nabi itu jadi materi khutbah, maka sangat mengena dan relevan

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
26/07/2024
in Hikmah, Rekomendasi
0
Khutbah Jumat

Khutbah Jumat

804
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id — Khutbah dialogis sempat menjadi perbincangan di beberapa forum mahasantri. Pasalnya, lebih manfaat untuk menyampaikan pesan keagamaan kepada masyarakat. Karena lahir dari dua arah dengan penuh interaktif. Meskipun, akan terasa sulit mengimplementasikan mempertimbangkan audien atau jamaah Jumat.

Dulu selain di zaman Nabi, sejarah memotret khutbah Jumat dialogis di era kepemimpinan Sayyidina Umar, yang mana beliau sendiri sebagai khatibnya. Adapun penanggapnya yaitu Sayyidina Utsman – sebagaimana Imam Syafi’i mencatat dalam kitab al-Risalahnya (hal: 303).

Aktivitas Ekonomi di Hari Jumat Tidak Masalah

Bermula hari Jumat pagi, seperti biasa Sayyidina Utsman menjalani aktivitasnya ke pasar guna berdagang. Menjelang siang, beliau bergegas pulang guna pergi ke masjid untuk melaksanakan Jumat.

Setelah nida terdengar dari masjid Madinah, Sayyidina Utsman tambah mempercepat bahkan tak sempat bebersih mandi dan hanya mengambil wudu. Karena tak ingin terlambat dari pembacaab khutbah yang merupakan kewajiban bagi jamaah kalau kurang dari 40 orang — dalam mazhab Syafi’iyah.

Kehidupan Sayyidina Utsman ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi di hari jumat tidaklah masalah. Senyampang tidak menganggu terhadap pelaksanaan jumat.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

***

Sementara di masjid, khutbah hendak dimulai sang khatib yang tidak lain adalah Sayyidina Umar. Sayyidina Umar pun naik ke mimbar dan membuka bacaan khutbah Jumat.

Bersamaan dengan itu, Sayyidina Utsman akhirnya sampai dan langsung masuk ke masjid yang sedikit tergopoh-gopoh . Dalam momentum itulah lahir khutbah dialogis.

Dalam kitab Shahihnya, Imam Muslim mencatat dari jalur Abu Hurairah.

قَالَ: « بَيْنَمَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ يَخْطُبُ النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ  إِذْ دَخَلَ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ

“Abu Hurairah melaporkan bahwa tatkala Sayyidina Umar bin Khattab sedang berkhutbah di tengah jamaah di hari Jumat. Tetiba Sayyidina Utsman masuk masjid”.

Berdialog saat Khutbah antara Khatib dan Jama’ah

Rupanya sang Khatib sadar bahwa sahabat Nabi yang juga menantunya itu baru datang. Maka, sebagai pemimpin Umat Islam, Sayyidina Umar merasa perlu menasehati rakyatnya di publik melalui khutbah walau pemuka agama seperti Sayyidina Utsman. Supaya pelajarannya bisa diambil oleh orang-orang lain yang hadir.

. فَعَرَّضَ بِهِ عُمَرُ . فَقَالَ: مَا بَالُ رِجَالٍ يَتَأَخَّرُونَ بَعْدَ النِّدَاءِ!

“Lalu Sayyidina Umar menyentilnya, “Apa yang terlintas dalam pikiran seseorang kok bisa terlambat dari nida?”.

Meski tidak menyebut person, Sayyidina Utsman merasa tertuduh dan merasa berhak untuk membela diri. Sehingga terjadilah dialog antara khatib dan jamaah, yakni Sayyidina Umar dan Utsman bertalian dengan edukasi masyarakat perihal jumat.

Sayyidina Utsman mengajukan alasan.

فَقَالَ عُثْمَانُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ! مَا زِدْتُ حِينَ سَمِعْتُ النِّدَاءَ أَنْ تَوَضَّأْتُ. ثُمَّ أَقْبَلْتُ

“Utsman mengatakan, “Wahai Amirul mukminin, sungguh aku tak berleha-leha setelah mendengar nida. Saya langsung bergegas sampai-sampai saya hanya sempat wudhu tanpa mandi”.

Materi Khutbah yang Mengena dan Tidak Melebar

Pengajuan alasan itu sesungguhnya diterima oleh Sayyidina Umar. Hanya saja, selain beliau ingin mengingatkan agar segera ke masjid, juga mengingatkan akan pentingnya mandi ketika hendak jumat sebagaimana ajaran Rasulullah.

Oleh sebab itu, dengan sedikit keras beliau menyinggung Utsman.

فَقَالَ عُمَرُ: وَالْوُضُوءَ أَيْضًا! أَلَمْ تَسْمَعُوا رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ

 “Apa? Bahkan cuma wudhu? Apa kau lupa atau tak dengar bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Apa bila salah seorang dari kalian hendak melaksanakan Jum’at maka mandilah terlebih dulu.”

Setelah Sayyidina Umar selesai dari perkataannya, yang andaikan diterjemah bebas maka bermakna, “Apa? Nida lambat, masih juga tak mandi jumat”.

Mendengar begitu, Sayyidina Utsman tak lagi menanggapi dan memilih duduk. Barangkali dalam pikirannya, sudah cukup untuk mengedukasi masyarakat perihal serba-serbi jumat.

Selain itu, memang benar apa yang disampaikan Amirul Mukminin meskipun beliau sendiri tak setuju karena berpandangan bahwa mendengar khutbah tetap diutamakan ketimbang mandi jumat tatkala keduanya kontradiksi.

Interpretasi Hadis dalam Rumusan Fikih tentang Khutbah Jumat

Andaikan dialog saat khutbah antara dua punggawa sahabat Nabi itu jadi materi khutbah, maka sangat mengena dan relevan. Jelas yang disampaikan seputar ilmu, singkat, dan padat.

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathu al-Bari melaporkan bahwa tak ada informasi tambahan yang ia dapat mengenai tanggapan balik dari Sayyidina Utsman, (Al-Asqalani, Fathu al-Bari: Juz 2 hal 360).

Riwayat tersebut oleh ulama fikih kemudian diolah yang kemudian melahirkan penyimpulan hukum fikih. Antara lain, sebagaimana tema dialog antara kedua sahabat tersebut. Yaitu, sunah berpagi-pagi ke masjid di hari jumat.

Selain itu, sunah hukumnya mandi saat hendak jum’at sebagaimana pilihan jumhur. Adapun hukum lain yang lahir dari dialog tersebut, yakni hukum kebolehan berbicara dan berdialog dalam khutbah selama tidak dianggap memutus kesinambungannya.

Dalam Syarah Muslim juz 6 halaman 32, Imam Nawawi menandaskan.

وَفِيهِ جَوَازُ الْكَلَامِ فِي الْخُطْبَةِ

“Dalam kejadian itu juga menujukan boleh berbicara saat khutbah jumat”.

Kebolehan bicara saat khutbah, meski tidak menjadi topik utama dalam riwayat tersebut, tetap bagus untuk dikembangkan. Yaitu dengan mengagas khutbah dialogis dengan berbagai isu yang mengemuka dan dirasakan langsung oleh masyarakat akar rumput.

Agar nasehat-nasehat yang disampaikan oleh khatib dalam kesempatan khutbah tidak sebagaimana api jauh dari panggang. Dalam arti mengena dan relevan dengan kehidupan masyarakat. Misal, persoalan judi online yang merambah ke segenap lapisan masyarakat akhir-akhir ini perlu disinggung termasuk di mimbar-mimbar khutbah.

Namun demikian, khutbah dialogis bukan ajang untuk berpidato apalagi kampanye perefrensi politik. Khutbah dialogis juga bukan tanpa memperhatikan waktunya. Tetap sesuai aturan khutbah yaitu tidak boleh (baca: tak sunah) lebih lama ketimbang sholat jumat itu sendiri. []

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: islamKhutbah Jumatsahabat nabiSayyidina Umar Bin KhattabSayyidina Utsman bin Affansejarah
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Bersyukur

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

19 Mei 2025
Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version