Mubadalah.id – Setelah sekian lama, akhirnya aku punya kesempatan untuk menemui Ibu kembali di salah satu Panti Jompo di pinggiran Ibu Kota. Ibuku sudah renta, kini usianya mungkin sudah 80 tahun lebih. Tak ada yang tahu pasti. Hidup dan tinggal di Panti Jompo adalah pilihannya sendiri. “Aku tak ingin menyusahkan kamu Nduk.” Begitu yang Ibu katakan jika aku mengajaknya untuk tinggal bersama di rumahku.
Setiap kali bertemu Ibu, aku selalu menemukan pijar asa yang tak pernah redup, meski tubuhnya kian renta dan tua. Ingatannya masih tajam untuk mengenang kisah Gerwani, dan sekeping peristiwa sejarah di era tahun 1965. Di mana saat itu Ibu juga menjadi salah satu korban yang tertuduh menjadi bagian dari antek-antek PKI.
“Raga Ibumu boleh mati Nduk, tapi jiwanya tidak”. Begitu berulangkali yang Ibu sampaikan setiap kali ia mengenang kisah pahit dalam hidupnya tersebut.
Dalam salah satu kunjunganku beberapa waktu lalu, Ibu pernah bercerita tentang sebuah organisasi perempuan yang ia ikuti sewaktu muda dulu. “Namanya Gerwis Nduk, lalu pada 1954 berganti nama menjadi Gerwani. Ibu dan teman-teman mencurahkan perhatian pada masalah pemberantasan buta huruf dan pendirian sekolah.”
Lagu Genjer-genjer
Kala lain dalam satu kesempatan, aku juga kerap kali mendengar Ibu mendendangkan sebuah lagu, yang kini aku tahu judul lagunya “Genjer-genjer”. “Ibu kangen konco-konco Nduk.” Gumam Ibu, setiap kali ia menyanyikan lagu itu, sambil matanya mengenang kisah Gerwani, menerawang, hingga mengembun dan Ibu terisak-isak menangis.
Gendjer-gendjer nong kedo’an pating keleler
Gendjer-gendjer nong kedo’an pating keleler
Ema’e thole teko-teko mbubuti gendjer
Ema’e thole teko-teko mbubuti gendjer
Oleh satenong mungkur sedot sing toleh-toleh
Gendjer-gendjer saiki wis digowo mulih
**
Gendjer-gendjer esuk-esuk didol neng pasar
Gendjer-gendjer esuk-esuk didol neng pasar
Didjejer-djejer diuntingi podo didasar
Didjejer-djejer diuntingi podo didasar
Ema’e djebeng podo tuku gowo welasar
Gendjer-gendjer saiki wis arep diolah
Aku berusaha mencari tahu, ada apa dengan lagu tersebut. Akhirnya aku menemukan jawab. Lagu “Genjer-genjer” ditulis seniman asal Banyuwangi, Muhammad Arif pada 1942. Di mana dalam lagu menggambarkan kondisi kehidupan masyarakat Banyuwangi kala penjajahan Jepang di Indonesia.
Namun citra lagu yang Arif ciptakan, sebagai orang yang aktif di organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu melekat menjadi lagu PKI. Alasannya karena lagu tersebut mereka bawakan di salah satu adegan film dokumenter peristiwa Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI).
Penghancuran Gerakan Perempuan Progresif
Memang aku dekat dan semakin mengenali Ibu belum lama, setelah sekian puluh tahun kami hidup terpisah. Aku diasuh oleh adik kandung Ibu, yang aku panggil Bu Lik Ras. Karena alasan keterlibatan Ibu dalam peristiwa kelam itu, yang membuat Ibu keluar masuk penjara. Tanpa proses sidang dan pengadilan.
Dulu setiap kali memasuki September, aku selalu merasa ketakutan. Apalagi ketika pihak sekolah mengajak kami, siswa sekolah dasar untuk menonton film dokumenter G30SPKI. Kami menonton bersama di gedung film kota kecamatan. Setiap kali film itu terputar, aku hanya terduduk memejamkan mata, membayangkan tentang Ibu, dan menganggap Ibu adalah bagian para penjahat negara ini. Kejam dan membahayakan.
Semakin bertambah umur cara pandangku terhadap sejarah negeri ini 180 derajat berubah. Terlebih ketika aku akhirnya bisa ikut mencicipi bangku kuliah meski tak selesai. Ya, karena aku lebih memilih bekerja sebagai jurnalis dan penulis lepas. Aku semakin memahami Ibu ketika suatu kali aku membaca buku “Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia” karya Saskia Wieringa.
“Banyak perempuan yang tidak bisa baca, tidak bisa tulis apa-apa dan orang Gerwani membantu. Anggota Gerwani juga selalu aktif di dalam perjuangan di dalam rumah tangga,” ungkap Saskia Wieringa, antropolog Universitas Amsterdam di Belanda, yang bertahun-tahun meneliti tentang Peristiwa 65.
Korban Politik
Organisasi itu juga menuntut perlunya hak-hak perempuan, termasuk tentang poligami. Tak hanya berfokus pada isu perempuan. Gerwani juga menjadi organisasi paling aktif dalam politik nasional juga isu internasional. Pada 1964, pemerintah Indonesia menginstruksikan organisasi massa agar mengikatkan diri pada partai politik.
Gerwani yang berideologi feminis dan sosialis menyatakan diri berada dalam kubu komunis. Di mana peresmiannya akan tergelar dalam Kongres Desember 1965. Namun, kongres itu urung terlaksana, Peristiwa 65 meletus dan sejak saat itu kisah Gerwani “dihancurkan”.
Propaganda yang berpusat pada “penyimpangan seksual anggota Gerwani”, serta penggambaran PKI sebagai ateis dan anti-nasionalis tak hanya memicu pada pembunuhan massal orang-orang berhaluan kiri, tapi juga penghancuran gerakan perempuan progresif di Indonesia.
Akhirnya aku mafhum. Kondisi sosial dan politik saat itu membuat posisi Gerwani sebagai organisasi masuk dalam pusaran konflik kepentingan, dan tentu saja korban sejarah kelam negeri ini. Bisa jadi, jika organisasi ini tetap ada, nasib para perempuan Indonesia mungkin akan berbeda.
Ibu, Aku Rindu
Langkahku semakin bergegas melintasi lorong-lorong kamar di Panti Jompo ini, ketika tahu Ibu tak sedang duduk menungguku di selasar depan Panti. Begitu tiba di kamar yang Ibu huni, aku dapati Ibu tengah berbaring dengan tenang di atas ranjang. Matanya terpejam, dan tangannya tak henti memutar bulir-bulir tasbih. Sementara dari bibirnya mendaras nama Tuhan dan permohonan ampunan.
Aku mendekatinya, menyentuh tangan Ibu yang keriput dan lembut. Tangan inilah yang dulu pernah menggendongku sambil berlari-lari kecil, membawaku bersembunyi dari satu kota ke kota lain, hingga akhirnya Ibu tertangkap dan menyerahkanku ke Bu Lik Ras.
“Nduk, Ibu pamit. Ayahmu sudah menjemput Ibu. Maafkan Ibu yang tak pernah ada untukmu. Maafkan Ibu Nduk..” Dan mata Ibu kian meredup, lalu senyap dan keheningan menguasai. Aku terisak menangis di samping jenazah Ibu, terus memegangi tangannya. Aku masih ingin mendengarkan cerita-ceritamu Ibu, seakan membayar waktu kebersamaan kita yang telah terampas oleh sejarah terkutuk negeri ini.
“Ibu, maafkan aku juga yang pernah membencimu, menganggapmu sebagai penjahat negara, perusak moral bangsa, maafkan aku Bu, dan kini aku sudah rindu. Ibu, aku rindu.” Lirih terisak, aku melepas kepergian Ibu. Tanpa karangan bunga, dan rentetan ucapan duka cita. Tapi bagiku, Ibu adalah sang pahlawan perempuan. []