Mubadalah.id – Pada saat Nabi Muhammad Saw memperoleh wahyu dan diutus menjadi rasul, putri beliau Zainab Ra telah beriman dan masuk Islam, sedangkan suaminya atau menantu nabi, Abul Ash bin ar-Rabi’ Ra memilih tetap beragama nenek moyangnya.
Nabi tidak meminta mereka untuk bercerai, sekalipun berbeda agama. Namun, nabi meminta dua putri beliau yang lain, Ruqayah Ra dan Ummu Kultsum Ra untuk bercerai dari suami mereka, Utbah dan Utaibah, anak Abu Lahab, karena selalu memusuhi, menghina, bahkan melakukan kekerasan kepada beliau dan umat Islam.
Abul Ash bin ar-Rabi’ Ra sekalipun masih musyrik, tetap baik kepada Nabi Muhammad Saw sang mertua, dan seluruh umat Islam.
Nabi Muhammad Saw membiarkannya dengan istrinya, Zainab Ra yang sudah masuk Islam. Keduanya tetap dibiarkan sebagai suami-istri dalam satu rumah tangga.
Abu Lahab, paman Nabi Muhammad Saw sendiri, pernah memprovokasi Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ Ra untuk menceraikan Zainab Ra.
“Ceraikan putri Muhammad itu, dan aku bisa carikan penggantinya, perempuan yang lebih mulia dan lebih cantik darinya,” kata Abu Lahab.
“Tidak, demi Allah, tidak akan pernah aku ceraikan istriku. Tidak ada seorang perempuan yang paling aku cintai di kabilah Quraisy ini selain dirinya,” jawab Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ Ra.
Kata Al-Miswar bin Makhramah Ra, Nabi Muhammad Saw memuji sikap menantu beliau ini.
Hijrah Ke Madinah
Ketika Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah, Zainab Ra tidak ikut. Ia masih satu rumah dengan sang suami yang belum masuk Islam itu.
Ketika suaminya ikut berperang di barisan orang-orang Quraisy melawan nabi pada Perang Badar, ia tertawan dan dibawa ke Madinah.
Zainab Ra dari Makkah, mengirimkan kalungnya untuk menebus suaminya agar dipulangkan oleh nabi ke Makkah.
Saat kalung tebusan itu sampai ke Madinah, nabi menangis haru. Melihat kalung itu, nabi teringat akan Khadijah Ra. Memang, kalung yang menjadi tebusan itu milik Khadijah Ra yang diberikan kepada sang putri.
Nabi Muhammad Saw kemudian membebaskan Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ Ra tanpa tebusan kalung itu, tetapi dengan syarat: ia harus mengantar sang putri, Zainab Ra, berangkat hijrah dari Makkah ke Madinah. Sang menantu menerima syarat ini.
Begitu sampai di Makkah, ia bergegas mempersiapkan pengawalan untuk mengantar istrinya, Zainab Ra, menyusul sang ayah ke Madinah.
Nabi Saw Memuji Sikap Menantu
Ketika Zainab Ra sampai di Madinah, nabi kembali terharu dan memuji sikap menantu beliau. Sekalipun saat itu masih belum beriman, sang menantu kembali ke Makkah, tidak menceraikan Zainab Ra dan tidak menikahi perempuan lain.
Nabi bersabda mengenai menantu beliau itu:
“Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ Ra adalah laki-laki yang jika berbicara denganku selalu jujur, dan jika berjanji ia akan memenuhi.” (HR. Bukhari, hadits nomor 3147).
Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ Ra adalah pedagang yang berjualan antara Makkah dan Syam (Syria).
Beberapa bulan sebelum Fathu Makkah (Pembebasan Kota Makkah, tahun ke-8 Hijriah), terjadi kontak senjata antara rombongannya dengan tentara umat Islam. Ia lari dan bersembunyi. Hartanya terampas dan mereka bawa ke Madinah.
Dengan mengendap-endap, pada malam hari, Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ Ra sampai ke rumah Zainab Ra dan masuk ke dalam.
Mengetahui hal tersebut, Zainab Ra langsung membuat pernyataan, “Aku memberi suaka perlindungan kepada Abul ‘Ash. Kalian harus melindunginya.”
Mendengar suara Zainab Ra memberi perlindungan pada sang suami, Nabi Muhammad Saw menyetujui dan menyatakan:
“Setiap orang dari umat Islam, yang paling rendah sekalipun, boleh dan sah memberikan suaka perlindungan, dan harus kita hormati.”
Artinya, pernyataan Zainab Ra sah dan harus kita hormati. Karena itu, Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ Ra juga menjadi aman terlindungi dan tidak boleh kita sakiti.
Harta yang terampas akhirnya kembali kepadanya. Setelah semua hak dan kewajiban tentang harta ia tunaikan, Abul ‘Ash bin ar-Rabi’ Ra kemudian masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. []