Mubadalah.id – Jika merujuk fakta-fakta sosial yang pernah para sahabat perempuan masa Nabi Muhammad Saw, maka “perempuan benar-benar merugi” adalah kalimat Asma’ binti Umais Ra yang amat tepat menggambarkan fakta sosial tersebut.
Lalu para sahabat perempuan pun datang menghadap Nabi Muhammad Saw dan memohon ada ayat yang secara lebih tegas mengapresiasi kerja-kerja perempuan. Terutama kerja-kerja yang bersifat publik, seperti hijrah dan jihad.
Untuk menjawabnya, selain QS. al-Baqarah (2): 218, Allah Swt juga menurunkan QS. Ali Imran (3): 195.
Ayat tersebut merupakan penegasan eksplisit mengenai laki-laki dan perempuan untuk hal-hal yang biasanya bersifat maskulin. Seperti jihad, hijrah, dan berperang mempertahankan agama Allah Swt.
Penegasan kalimat eksplisit ini turun untuk menjawab kegelisahan perempuan yang merasa tidak terwakili dalam redaksi umum ayat-ayat yang sudah turun.
Selain itu, ia juga perlu untuk menangkal kesombongan laki-laki yang berlindung di balik redaksi umum (shighat al-tadzkir) tersebut untuk menyisihkan perempuan.
Kesombongan ini berlindung pada bentuk kalimat yang secara literal bahasa memang untuk laki-laki.
Ayat Inspirasi
Kedua ayat tersebut menginspirasi kita bahwa teks-teks Islam yang menggunakan redaksi laki-laki harus kita baca dengan kesadaran penuh bahwa perempuan juga menjadi subjek.
Sehingga, perempuan harus masuk dalam pusaran tafsir keagamaan mengenai surga, ibadah, fitnah, dan keluarga. Serta isu-isu sosial yang bersifat publik sebagai subjek yang memperoleh manfaat yang sama sebagaimana laki-laki.
Karena keduanya menjadi subjek, maka tidak benar bahwa perempuan hanya sebagai pelengkap bagi laki-laki, mengambil peran pinggiran, tidak penting, dan tidak terperhitungkan.
Tetapi, yang benar adalah bahwa laki-laki melengkapi eksistensi perempuan dan, sebaliknya, perempuan melengkapi eksistensi laki-laki.
Sehingga, kemanusiaan yang utuh adalah jika keduanya kita pandang sebagai manusia yang setara dan saling melengkapi. Inilah Substansi dari perspektif mubadalah, yang kemudian bisa kita operasionalkan dalam Qira’ah Mubadalah dalam membaca seluruh teks sumber Islam.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.