Mubadalah.id – Kisah Sopyah, gadis perempuan asli Indramayu ini menjadi gambaran bagaimana pentingnya pendidikan bagi masa depan anak perempuan. Dua kali saya bertemu dengannya. Pertama saat saya dan teman-teman Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu mengajaknya buka bersama di bulan puasa silam, dan kedua ketika bertemu dengan Bupati Indramayu Lucky Hakim di Pendopo Indramayu pekan kemarin.
Sopyah Supriatin (23), gadis muda di Indramayu, Jawa Barat, menjadi tulang punggung demi menghidupi adiknya. Untuk menyambung hidup, ia bekerja sebagai kuli bangunan.
Melansir dari Detik.com Sopyah dan adiknya, Samsul Ramadhan (16) tinggal di sebuah rumah yang berdiri di atas tanah kuburan milik pemerintah di Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu Jawa Barat. Di rumah itu, hanya tinggal mereka berdua setelah sang ibu meninggal beberapa tahun lalu, sementara ayahnya merantau ke luar kota.
Kondisi ekonomi keluarga yang berada di garis kemiskinan membuat Sopyah dan Samsul harus membuang mimpi mereka. Sopyah putus sekolah sejak SMP. Bahkan setahun lalu, Samsul juga meninggalkan bangku SMP.
Sopyah mengungkapkan, sepeninggal ibunya memang mereka mendapatkan kebaikan dari tetangga sekitar. Tidak jarang ada yang memberi mereka makanan. Namun, Sopyah tak ingin terpuruk. Ia mencoba bangkit demi bertahan hidup bersama sang adik. Ia memutuskan mengubah penampilannya menjadi laki-laki supaya bisa bekerja maksimal.
Sopyah memilih merombak penampilan dan menjadi kuli bangunan. Ia melakoninya agar tidak membebani siapa pun. Sopyah mengaku tidak masalah melakukan berbagai pekerjaan kasar. Dia membuktikan perempuan pun bisa menjadi kuli bangunan. Selama bekerja, ia melaksanakan perintah yang diberikan, mulai dari mengangkut semen, mengaduknya, maupun mengangkut material lainnya.
Konstruksi Gender dan Budaya Patriarki
Menilik dari kisah Sopyah dan upayanya untuk bisa bertahan hidup semakin menegaskan bahwa ia sebagai perempuan harus berani mengubah penampilannya menjadi laki-laki agar bisa bekerja. Konstruksi gender dan budaya patriarki di negeri ini masih belum memberikan banyak kesempatan dan pilihan bagi perempuan untuk bekerja.
Maka satu-satunya jalan yang Sopyah lakukan adalah mengubah penampilan menjadi laki-laki, agar seketika orang yang melihatnya percaya bahwa ia juga punya tenaga kuat seperti laki-laki. Anggapan bahwa pekerjaan kasar hanya domain laki-laki menjadi konstruksi masyarakat dunia selama berabad-abad.
Menempatkan perempuan hanya di ruang domestik, sumur, dapur dan kasur juga bagian dari konstruksi masyarakat itu, sehingga ketika Sopyah memilih jalan berbeda seketika banyak orang yang membicarakannya lantas menjadi viral di mana-mana.
Kisah Sopyah, sebagaimana cerita perempuan-perempuan lain di Indramayu, yang berupaya bertahan hidup di tengah rantai kemiskinan dan ketiadaan pendidikan yang saling berkelindan erat. Saya tak mau menyebutnya kebodohan, karena tidak ada satu orang pun di dunia yang ingin disebut bodoh. Hanya kesempatan yang belum ada, dan sistem sosial yang tak pernah berpihak pada orang miskin, papa serta tak berdaya.
Pendidikan adalah Kunci
“Kamu punya ijazah apa?” Demikian Bupati Lucky Hakim bertanya ketika saya dan teman-teman Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu menemani Sopyah menghadap beliau di Pendopo Indramayu pekan kemarin. Sopyah menjawab hanya punya ijazah SD dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata dan bahasa Indramayu yang sangat kental. Ya karena faktor pendidikan jugalah, Sopyah mengaku masih kesulitan untuk berbahasa Indonesia yang baik.
Karena alasan ijazah pula, tak banyak pilihan pekerjaan yang bisa Sopyah ambil. Hampir semua pekerjaan yang tersedia dan mungkin bisa dia lakukan mensyaratkan minimal ijazah setara SMA. Meski Sopyah berkomitmen akan menempuh kejar paket B dan C, namun itu membutuhkan waktu yang lama, dan prosesnya tidak bisa instan.
Maka sekali lagi, pendidikan adalah kunci bagaimana perempuan, siapapun dia dan apapun latar belakangnya, untuk bisa membuka pintu-pintu kesempatan dalam kehidupannya. Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka akan semakin banyak kesempatan yang bisa kita ambil, meski harus juga kita barengi dengan keterampilan lainnya, seperti soft skill dan hard skill.
Data dari BPS menunjukkan bahwa nyatanya lebih banyak perempuan di atas usia 15 tahun yang tidak memiliki ijazah dibandingkan laki-laki. Sebanyak 19,84% perempuan di pedesaan dan 10,02% perempuan di perkotaan tidak memiliki ijazah, yang mana proporsinya lebih tinggi dibanding laki-laki. Hal ini sedikit menunjukkan realita pendidikan di tanah air, bahwa laki-laki masih lebih banyak memperoleh kesempatan pendidikan daripada perempuan.
Jangan Ada Lagi Sopyah yang Lain
Kita semua bisa belajar dari kisah Sopyah, dan menjadi refleksi bersama di Hari Pendidikan Nasional. Setidaknya memberikan dukungan belajar bagi anak perempuan hingga setinggi mungkin, dengan melakukan apa yang bisa kita lakukan. Memutus mata rantai kemiskinan dan kebodohan itu. Bukan lantas menjadikannya konten lalu viral di mana-mana.
Jangan ada lagi Sopyah yang lain di negeri ini, karena kita pasti malu pada Ibu Kartini yang telah menjadi pembuka jalan kesempatan pendidikan bagi anak perempuan. Saat bertemu Ibu Kartini nanti, kita tak punya nyali untuk sekadar mengakui, bahwa ternyata masih banyak anak-anak perempuan di Indonesia yang tak bisa sekolah karena terlahir miskin.
Cukup berhenti pada kisah Sopyah. Atas alasan apapun, jangan biarkan anak-anak perempuan kita berhenti sekolah. Minimal tuntaskan sampai wajib belajar 12 tahun, agar dia punya lebih banyak kesempatan untuk menjadi perempuan mandiri, berdaya dan tak menggantungkan hidupnya pada orang lain.
Sebagaimana pesan kuat yang seringkali Buya KH Husein Muhammad sampaikan, “Perempuan harus sehat secara reproduksi, pintar secara intelektual, dan mandiri secara finansial. Jangan bergantung nasibnya pada laki-laki/suami. Orang yang tergantung itu, bagai orang yang tidak merdeka. Saat orang tempatnya bergantung tidak ada, dia akan kehilangan segalanya. Ketergantungan bisa mengakibatkan keterbelakangan.” []