Idealnya, sebuah rumah tangga dibangun atas dasar kesepakatan untuk mewujudkan kehidupan yang penuh cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) serta untuk merengkuh kebahagiaan bersama (sakinah). Akan tetapi untuk memadukan dua orang dengan latar belakang budaya, pola asuh, dan kebiasaan serta adat istiadat yang berbeda tentulah bukan perkara mudah.
Dengan perbedaan ini, dalam mengurus rumah tangga, pasti muncul perbedaan selera dan keinginan. Belum lagi ketika anak-anak lahir dan berbagai persoalan keseharian akan muncul lebih banyak lagi. Tak mustahil ini akan melahirkan perbedaan-perbedaan yang jika tidak dikelola dengan baik akan melahirkan ketegangan, perdebatan, bahkan konflik. Bagi sebagian orang yang tidak mampu mengelolanya, konflik ini bisa berujung kekerasan.
Betapapun besarnya rasa cinta yang melandasi kehidupan sebuah perkawinan, kehidupan berumah tangga tidak selamanya berjalan tenang dan mulus tanpa konflik. Sebenarnya, konflik atau perbedaan dalam berumah tangga bisa dianggap sebagai bunga kehidupan.
Dalam situasi itu, perbedaan dan perdebatan semestinya tidak memunculkan duri yang melukai salah satu pihak. Sebaliknya, perbedaan pendapat dalam rumah tangga seharusnya dapat dikelola untuk menemukan landasan saling pengertian dan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Perbedaan itu semestinya dapat menumbuhkan semangat untuk saling memahami yang meniscayakan tidak adanya kekuasaan yang dominan di antara mereka.
Dalam rumah tangga Nabi Muhammad Saw sebagaimana dikisahkan baik dalam banyak hadits maupun dalam sirah Nabi (sejarah Nabi) Saw, perbedaan dan perdebatan itu biasa juga terjadi. Namun perbedaan pendapat ini ternyata tak melahirkan kekerasan. Dalam konflik rumah tangga yang seberat apapun, Nabi Muhammad Saw tidak pernah menggunakan cara kekerasan.
Dalam beberapa ayat al-Qur’an seperti dalam surat al-Ahzab dan surat at-Tahrim Allah Swt menggambarkan kehidupan rumah tangga Rasulullah yang tidak luput dari perdebatan dan perselisihan. Lebih khusus antara Aisyah ra dan Hafsah ra sebagai isteri di satu sisi, dengan Nabi Saw sebagai suami di pihak lain. Alih-laih melakukan tindakan yang menyakiti istri-istrinya itu, Nabi Saw, atas saran wahyu Allah Swt (QS. Al-Ahzab, 33: 28-29), malah memberi kebebasan kepada mereka untuk memilih hidup dengan Nabi Saw, atau hidup bebas tanpa ikatan dengan Nabi Saw.
Kisah konflik dalam keluarga Nabi Saw tersebut juga terekam dalam beberapa hadits, terutama dengan Aisyah ra dan Hafsah, sampai orang tua mereka turun tangan (Shahih Bukhari, no. hadits: 4962). Nabi Saw tak sedikit menghadapi berbagai perilaku para isteri yang tidak sesuai dengan keinginan beliau. Akan tetapi beliau selalu mengatasinya dengan bijaksana. Salah satunya, misalnya, dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpikir, merenung dan menentukan sikap didasarkan atas pilihan mereka sendiri (QS. Al-Ahzab, 33: 28-29).
Nabi Saw mungkin marah, tetapi tidak mengeluarkan kata-kata kasar, apalagi melakukan pemukulan dan kekerasan. Nabi Saw terlalu mulia untuk melakukan itu semua. Paling jauh, Nabi Saw memilih keluar dari rumah meninggalkan mereka dan tinggal di mesjid hingga satu bulan lamanya. Ini adalah model pendidikan yang diterapkan Nabi Saw kepada para isterinya; sebuah cara pergaulan yang memanusiakan perempuan.
حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ أَصْبَحْنَا يَوْمًا وَنِسَاءُ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم يَبْكِينَ عِنْدَ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْهُنَّ أَهْلُهَا فَخَرَجْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا هُوَ مَلآنُ مِنَ النَّاسِ فَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَصَعِدَ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم وَهْوَ فِى غُرْفَةٍ لَهُ فَسَلَّمَ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ ثُمَّ سَلَّمَ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ ثُمَّ سَلَّمَ فَلَمْ يُجِبْهُ أَحَدٌ فَنَادَاهُ فَدَخَلَ عَلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ أَطَلَّقْتَ نِسَاءَكَ فَقَالَ لاَ وَلَكِنْ آلَيْتُ مِنْهُنَّ شَهْرًا فَمَكَثَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ ثُمَّ دَخَلَ عَلَى نِسَائِهِ (صحيح البخاري، رقم الحديث: 5258).
Ibn Abbas ra bercerita: Suatu pagi, kami mendapati istri-istri Nabi Saw menangis. Setiap istri, didampingi keluarganya masing-masing. Aku kemudian pergi ke Masjid. Aku lihat banyak orang berkumpul di situ. Lalu, Umar ra datang menemui Nabi Saw di kamar beliau. Umar ra memberi salam, tetapi tidak ada jawaban. Kemudian memberi salam lagi, tidak juga ada jawaban. Memberi salam lagi, juga tidak ada jawaban. Kemudian ia dipanggil masuk menemui Nabi Saw, dan bertanya: “Apakah Anda menceraikan istri-istri Anda?”. Nabi Saw menjawab: “Tidak, tetapi berpisah dari mereka selama satu bulan”. Lalu, Nabi Saw benar-benar berpisah selama 29 hari, kemudian kembali berkumpul bersama istri-istrinya”. (Sahih Bukhari, no. hadits: 5258).
Tentu saja, pisah ranjang ini terjadi karena konflik, sebagaimana diceritakan berbagai riwayat hadits lain. Tetapi dalam konflik ini, Nabi Saw tidak pernah melakukan kekerasan. Bahkan, kata ‘Aisyah, dalam hal apapun, Nabi Saw tidak pernah memukul perempuan atau pelayan (Sahih Muslim, no. hadits: 6195).
Jadi, perbedaan dan ketegangan sangat mungkin terjadi dalam setiap pasangan suami istri. Termasuk dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw. Tetapi komitmen anti kekerasan adalah teladan Nabi Muhammad Saw, yang harus diikuti siapapun yang mengaku cinta kepada beliau. Baik laki-laki maupun perempuan. Tanpa mengikuti tauladan Nabi pun, seharusnya manusia dapat menilai bahwa tidak ada seorangpun yang berhak melakukan kekerasan, terutama dalam relasi rumah tangga.
Kekerasan hanya akan membuat ketakutan, trauma, dan sakit. Hubungan pasutri tidak mungkin menjadi kuat, jika dibarengi dengan kekerasan. Segala bentuk kekerasan, terutama suami kepada istri, adalah bukan bagian dari pergaulan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf) seperti diperintahkan al-Qur’an (QS. An-Nisa, 4: 19).
Konflik Nabi Saw dengan istri-istrinya, bahkan terjadi disaksikan para sahabat-sahabatnya, adalah pelajaran bagi mereka, para suami, bagaimana memperlakukan perempuan secara bermartabat. Mungkin beberapa orang dari umat Islam kecewa terhadap perilaku Aisyah ra atau Hafsah ra yang berkonflik dengan Nabi Saw. Tetapi kita bisa menafsirkan, bahwa keberanian Aisyah ra terhadap Nabi Saw adalah cermin dari keberhasilan Nabi Saw mengangkat harkat dan mendidik kemandirian perempuan.
Perempuan, seperti dikatakan Umar ra, pada masa itu tidak memiliki tempat sama sekali. Mereka tidak pernah diperhitungkan, tidak pernah diajak bicara, dan kalaupun berbicara tidak akan diterima. Umar ra sendiri, seperti dikatakannya masih tidak suka melihat isterinya membantah apa yang dikatakannya.
Jadi, patutlah direnungkan, bagaimana Nabi menanamkan kesadaran revolusioner untuk membuat perempuan menjadi manusia mandiri yang dihargai dan dihormati kemanusiaannya. Dan cara yang dipilih Nabi Saw adalah dengan menggunakan praktek kehidupan rumah tangganya sendiri sebagai cermin. Di antara sebegitu banyak pilihan serta otoritas yang dimiliki untuk mendidik istri -bisa jalan keras dan memaksa atau bernegosiasi, Nabi Saw memilih jalan yang kedua.
Dengan tujuan memberi teladan kepada para sahabat dan umatnya di masa datang, Nabi Saw menunjukkan teknik-teknik negosiasi dan bukan memaksa. Nabi SAW mengutamakan kesepakatan dengan isteri-isterinya sambil memberikan hak sepenuhnya kepada mereka untuk memilih apa yang mereka inginkan.
Nabi Saw telah memberi teladan kepada umatnya yang laki-laki, bagaimana rumah tangga bisa dibina tanpa melalui jalan kekerasan, memberi kesempatan kepada perempuan untuk memilih apa yang terbaik bagi kehidupan mereka dan mendidik kaum lelaki untuk berprilaku arif terhadap perempuan. Wallahu a’lam. []