Fiqh menyebutnya dengan istilah kafa’ah (kesepadanan) yang memiliki makna seperti kesepadanan antara calon pasangan suami istri dalam aspek tertentu sebagai usaha untuk menjaga kehormatan keduanya
Mubadalah.id – Dalam kehidupan sehari-hari kita temukan ada sekelompok orang yang memiliki penghasilan besar, ada yang berpengasilan sedang, berstatus sosial terhormat dan yang berstatus sosial kurang terhormat dan seterusnya.
Dalam QS. az-Zukhruf ayat 32 disebutkan sebagai berikut:
اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. Dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. (QS. az-Zukhruf ayat 32)
Karena itu, topik kesepadanan dalam perkawinan antara satu individu dengan yang lain. Yaitu antara satu keluarga dengan yang lain tetap menjadi relevan dari waktu ke waktu.
Hukum Islam juga mengakui dan memberikan perhatian khusus terhadap kondisi tersebut dengan menjadikannya sebagai salah satu kajian dalam hukum perkawinan.
Fiqh menyebutnya dengan istilah kafa’ah (kesepadanan) yang memiliki makna seperti kesepadanan antara calon pasangan suami istri. Terutama alam aspek tertentu sebagai usaha untuk menjaga kehormatan keduanya.
Pendapat Ahli Fiqh
Kata “aspek tertentu” dalam definisi ini yang kemudian membuat para ulama klasik terbelah dalam dua pendapat besar.
Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan aspek tertentu dalam konsep kafa’ah hanya kondisi fisik dan agama saja. Pendapat ini dikeluakan oleh Imam Malik.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dengan aspek tertentu tersebut mencakup, keturunan, kemerdekaan, dan pekerjaan.
Pendapat kedua ini dikeluarkan oleh Imam Syafi’i, Imam Hanbali, dan Imam Hanafi yang kemudian juga menambahkan aspek kekayaan atau kekuatan finansial dalam aspek tersebut.
Para ulama klasik juga menekankan bahwa konsep ini bukan hanya untuk menjaga kemaslahatan pihak perempuan. Tapi juga menjaga kehormatan keluarga mereka.
Karena itu bukan hal yang mengejutkan jika di masa lalu pihak keluarga lebih ketat dalam isu ini daripada dengan calon pengantin.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman konsep kesepadanan tersebut cenderung mendiskusikan dalam kerangka memfasilitasi kelangsungan ikatan pernikahan kedua mempelai ketimbang terlalu menitik beratkan pada penjagaan status sosial keluarga.
Orientasi konsep tersebut perlahan bergerak kepada kesepadanan berbagai aspek yang memungkinkan kedua mempelai bangun. Serta mempertahankan keluarga yang mereka impikan seperti kesepadanan dalam hal cara berpikir, usia, pendidikan, keindahan fisik. Dan tentu saja status sosial serta ekonomi. []