• Login
  • Register
Sabtu, 10 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Cahaya lilin dalam prosesi Waisak yang dinyalakan dalam suasana tenang dan khidmat menyimbolkan pentingnya kedamaian batin dan kesadaran hati.

Muhammad Khoiri Muhammad Khoiri
10/05/2025
in Publik
0
Hari Raya Waisak

Hari Raya Waisak

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Indonesia terkenal sebagai bangsa yang religius sekaligus majemuk, terdiri dari beragam agama, suku, dan budaya. Dalam situasi tersebut, agama bukan hanya sekedar sistem keimanan personal, namun juga memainkan peran sosial yang sangat signifikan dalam membentuk pola interaksi antarwarga negara.

Di tengah dinamika keberagaman ini, perayaan keagamaan seperti Hari Raya Waisak, yang merayakan umat Buddha untuk memperingati kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Siddharta Gautama. Hari raya ini menjadi simbol penting dari ekspresi keagamaan yang harus dihormati bersama.

Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memikul tanggung jawab sosial dan moral untuk merawat kerukunan tersebut. Prinsip rahmatan lil ‘alamin mengajarkan bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta, bukan hanya bagi pemeluknya.

Oleh karena itu, menanggapi perayaan Hari Raya Waisak dari sudut pandang Islam seharusnya kita lakukan dalam kerangka toleransi, penghargaan terhadap kemanusiaan, dan kesadaran akan pluralitas sebagai anugerah.

Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa moderasi beragama masih menjadi tantangan serius di Indonesia. Menurut data Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) dari Kementerian Agama RI tahun 2024, skor kerukunan nasional berada pada angka 74,48—cukup tinggi. Namun tetap menyisakan potensi konflik di sejumlah wilayah seperti Jawa Barat, Aceh, dan Sumatera Barat.

Baca Juga:

Pesan Toleransi dari Perjalanan Suci Para Biksu Thudong di Cirebon

Temu Keberagaman 2025: Harmoni dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Wajah Perempuan Bukan Aurat, Tapi Keadilan yang Tak Disuarakan

Bagaimana Gerakan Kesalingan Membebaskan Laki-laki Juga?

Beberapa kasus intoleransi terhadap agama minoritas, termasuk gangguan terhadap kegiatan ibadah dan diskriminasi sosial, masih terjadi. Fakta ini menjadi pengingat bahwa wacana moderasi beragama bukan sekedar ideal, melainkan kebutuhan praktis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Islam dan Prinsip Toleransi terhadap Umat Beragama Lain

Islam dalam hakikatnya memuat ajaran yang sangat menghormati pluralitas. Al-Qur’an tidak menjelaskan keberadaan agama-agama lain. Bahkan mengakui komunitas Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in sebagai bagian dari masyarakat beriman yang memiliki hak untuk menjalankan agamanya.

Surat Al-Baqarah ayat 256 berbunyi “La ikraha fi ad-din” —tidak ada paksaan dalam beragama, sebagai pernyataan ilahiah atas kebebasan spiritual. Demikian pula dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, Allah menegaskan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling mengenal ( lita’ārafūu ). Bukan untuk saling meniadakan.

Dalam konteks ini, perayaan Waisak sebagai ekspresi iman umat Buddha tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam selama ia kita jalankan dalam koridor damai dan tidak mengusik keyakinan orang lain. Bahkan, sikap simpatik terhadap perayaan tersebut misalnya memberikan ucapan, menjaga perdamaian lingkungan, atau mengikuti kegiatan sosial dapat menjadi bagian dari ihsan. Yaitu berbuat baik kepada sesama manusia.

Kisah nyata dapat memperkuat penjelasan ini. Di Magelang, Jawa Tengah, tempat di mana Candi Borobudur menjadi pusat perayaan Waisak nasional, komunitas Muslim sekitar candi sering terlibat aktif dalam menyambut para peziarah Buddha.

Beberapa pemuda dari pesantren setempat melaporkan menjadi rekan dalam kegiatan pengamanan dan kebersihan selama acara berlangsung. Mereka tidak memandang perayaan Waisak sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk menunjukkan wajah Islam yang damai dan ramah.

Perilaku semacam ini sebenarnya adalah dari meneladani Rasulullah SAW dalam memperlakukan umat agama lain. Di Madinah, Rasulullah menandatangani Piagam Madinah sebagai bentuk kontrak sosial multikultural yang menjamin hak hidup damai bagi semua komunitas, termasuk Yahudi dan Kristen. Tidak ada satu pun praktik pemaksaan keyakinan dalam sejarah kenabian, yang justru menjadi cermin Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.

Waisak sebagai Media Dialog dan Etika Koeksistensi Sosial

Lebih dari sekadar hari libur nasional, Waisak merupakan ruang simbolik yang berpotensi untuk memperkuat dialog antarumat beragam. Dalam konteks Indonesia yang plural, perayaan Waisak menghadirkan narasi kolektif tentang nilai-nilai pemberdayaan universal. Kedamaian batin, welas asih, dan introspeksi moral.

Nilai-nilai ini tidak asing dalam ajaran Islam. Bahkan, dalam banyak hal, prinsip-prinsip Budha tentang ketenangan hati dan pengendalian nafsu sejalan dengan etika sufistik dalam Islam.

Dalam pendekatan maqāṣid al-syarī’ah, menjaga stabilitas sosial dan kerukunan antarumat beragama merupakan tujuan utama hukum Islam. Oleh karena itu, keterlibatan umat Islam dalam ruang sosial Waisak tidak melanggar prinsip syar’i, selama tidak terlibat dalam ritual ibadah agama lain. Islam justru mendorong umatnya untuk aktif menjadi agen perdamaian, menjaga lingkungan dari kebencian, dan membangun hubungan kemanusiaan yang konstruktif.

Misalnya saja pada perayaan Waisak tahun 2022 di Jakarta, beberapa ormas Islam seperti GP Ansor dan Pemuda Muhammadiyah ikut menghadiri undangan Waisak yang diselenggarakan oleh Walubi. Kehadiran mereka membawa pesan penting bahwa umat Islam tidak hanya mampu menoleransi, tetapi juga siap bersinergi dalam kerja sosial lintas iman. Ini adalah contoh nyata dari ukhuwah insāniyah sesama manusia yang tidak terbatasi oleh doktrin, tetapi diperkuat oleh cinta kasih dan tanggung jawab sosial.

Sikap eksklusif dan intoleransi terhadap perayaan agama lain justru menjadi penghambat bagi moderasi beragama. Paham keagamaan yang kaku dan tekstualis sering memaknai toleransi sebagai bentuk kompromi aqidah. Padahal, Islam membedakan antara menjaga keyakinan dan berinteraksi sosial.

Menjaga aqidah tidak berarti memutus hubungan sosial dengan pemeluk agama lain. Oleh karena itu, Waisak dapat menjadi arena pendidikan publik bagi umat Islam untuk mengamalkan Islam sebagai rahmat, bukan sebagai dominasi.

Moderasi Beragama sebagai Pilar Kehidupan Bangsa

Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang sangat beragam, baik dari segi budaya, etnis, maupun agama. Dalam kondisi sosial yang plural dan dinamis seperti ini, penting bagi umat Islam untuk melakukan kontekstualisasi terhadap ajaran agamanya. Khususnya dalam menyikapi perayaan agama lain, seperti Waisak.

Kontekstualisasi ini bukanlah upaya mencampuradukkan keyakinan atau bentuk kompromi terhadap akidah, melainkan justru merupakan implementasi nyata dari nilai-nilai luhur Islam itu sendiri. Islam sejatinya mengajarkan sikap moderat, inklusif, dan berwawasan kemanusiaan. Wajah Islam yang seperti inilah yang paling sesuai untuk menjawab tantangan zaman dan menjaga harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara di masa kini maupun masa depan.

Sikap moderasi dalam beragama memberikan perlindungan, tidak hanya bagi kelompok minoritas agar tetap aman dan dihormati, tetapi juga menjadi pengingat bagi kelompok mayoritas agar tidak terjebak dalam sikap egoistik yang merasa berhak mengatur atau mendominasi kehidupan sosial secara sepihak.

Dalam konteks perayaan Waisak yang merupakan hari suci umat Buddha, umat Islam diajak untuk melihat keberagaman ini sebagai bagian dari kehendak ilahi, sebagai bentuk kekayaan sosial yang patut kita syukuri dan bukan sesuatu yang harus kita curigai atau kita lawan. Perayaan seperti ini dapat kita jadikan sebagai sarana untuk mempererat tali silaturahmi, membangun relasi sosial yang harmonis, serta meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

Cahaya lilin dalam prosesi Waisak yang kita nyalakan dalam suasana tenang dan khidmat menyimbolkan pentingnya kedamaian batin dan kesadaran hati. Begitu pula semangat toleransi sejati tidak lahir dari formalitas atau simbol-simbol seremonial. Melainkan tumbuh dari ketulusan hati dan kedalaman nilai-nilai spiritual.

Dalam keheningan dan refleksi tersebut, ajaran Islam menemukan kembali esensinya yang paling mendasar. Yaitu kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap sesama manusia. Islam tidak hadir untuk mendominasi ruang publik secara sepihak, tetapi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Termasuk dalam menciptakan suasana damai dan saling menghormati antarumat beragama. []

Tags: Hari Raya WaisakkeadilankeberagamanModerasi BeragamaPrinsip Islamtoleransi
Muhammad Khoiri

Muhammad Khoiri

Penulis adalah pemuda dari Kota Tulungagung yang haus ilmu dan berkomitmen untuk terus mengembangkan wawasan melalui belajar literasi, serta berupaya berkontribusi dalam pengembangan keilmuan dan pemberdayaan intelektual.  

Terkait Posts

Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Barak Militer

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

7 Mei 2025
Jukir Difabel

Jukir Difabel Di-bully, Edukasi Inklusi Sekadar Ilusi?

6 Mei 2025
Budaya Seksisme

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

6 Mei 2025
Energi Terbarukan

Manusia Bukan Tuan Atas Bumi: Refleksi Penggunaan Energi Terbarukan dalam Perspektif Iman Katolik

6 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bekerja adalah

    Bekerja adalah Ibadah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak
  • Bekerja adalah Ibadah
  • Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis
  • Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?
  • Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version