Mubadalah.id – Kasus korupsi di negeri ini sejak dahulu hingga detik ini masih terus terjadi. Ibarat slogan Mie Burung Dara dalam iklan komersilnya, kasus korupsi di Indonesia ini selalu ‘nyambung teruus’, hehehe. Seakan tak ada habisnya.
Sehabis satu kasus terungkap ke muka publik pasti muncul lagi satu kasus berikutnya. Kemudian mengikuti satu per satu kasus lainnya hingga entah berapa jumlah kasusnya. Demikian seterusnya. Ya begitulah kira-kira realita kasus korupsi di negeri yang kita harapkan lekas menjadi negara maju ini.
Berbicara mengenai kasus korupsi, kita semua pasti sudah tahu bahwa tindakan ini jelas tergolong perilaku tercela dan zalim. Sejak zaman dahulu hingga akhir zaman nanti, tindakan korupsi tetaplah terkenal dan kita kenang demikian. Tak akan berubah statusnya menjadi perilaku terpuji.
Namun, pada kesempatan kali ini, saya ingin mengajak para pembaca yang budiman untuk menelisik lebih dalam mengenai efek buruk yang para koruptor timbulkan melalui kasus korupsi mereka itu. Bahwa kasus korupsi ini selain merugikan keuangan negara dan merampas hak rakyat, ternyata juga memberikan efek negatif yang begitu mengerikan bagi kondisi psikologis anak-anak bangsa ini.
Lho, mana mungkin kasus korupsi bisa memberikan efek negatif bagi kondisi psikologis anak-anak? Seperti apa dampak negatif yang koruptor timbulkan? Mari simak pembahasannya berikut ini.
Era Digital
Kita tahu bahwa dewasa ini kita hidup dalam lingkaran kehidupan era digitalisasi zaman. Sebuah kondisi kehidupan yang membuat kita sangat mudah mendapatkan akses informasi dan komunikasi karena kemajuan teknologi. Nah, dalam kondisi yang demikian ini, manakala ada kasus korupsi terungkap ke muka publik, pasti ramai sekali beritanya berseliweran di beranda media sosial kita.
Misalnya saja kasus korupsi Rp.300T yang dilakukan oleh oknum yang namanya tak perlu saya sebutkan (karena kita semua sudah tahu) itu. Kasus korupsi ini jelas merugikan negara kita secara tak main-main. Namun, hukuman yang hakim putuskan untuk pelakunya justru tak serius dan seakan mengajak ‘bercanda’. Bagaimana tidak, lha wong jelas mengakibatkan kerugian negara sebesar itu tapi kok pelakunya dijatuhi hukuman pidana penjara selama 6,5 tahun saja. Hmm…
Hal ini jelas membuat masyarakat kita merasa sangat geram. Wujud kegeraman itu pun bermacam-macam. Mulai dari ada yang menindaklanjuti putusan hukum, ada juga yang mengecam secara tegas, bahkan keras. Hingga ada juga yang membuat konten-konten satire bertemakan kasus korupsi tersebut dan menyebarkannya di media sosial secara luas untuk bahan konsumsi publik.
Nah, khusus untuk konten-konten satire tersebut mungkin sengaja mereka buat untuk melampiaskan rasa geram yang timbul atas putusan hukum yang dinilai tak adil dan menimbulkan gejolak yang meledak-ledak di masyarakat itu.
Selain itu, mungkin juga konten-konten satire tersebut sengaja mereka buat dengan tujuan untuk lebih ‘mempermalukan’ oknum koruptor dan pihak-pihak yang bersangkutan dengannya di media sosial. Sehingga, semua masyarakat negeri ini bisa mengetahuinya, termasuk anak-anak.
Efek buruk konten satire bagi anak
Bagi orang dewasa yang mendapati konten-konten satire tersebut tentu bisa bersikap biasa saja dan mungkin jadi tersenyum tipis karena kedewasaan berpikirnya. Kira-kira ya sekadar menganggapnya sebagai sindiran yang bernuansa lelucon.
Namun, lain halnya bila yang mendapati konten-konten satire tersebut adalah anak-anak di bawah umur yang belum berusia dewasa. Nah, di sinilah titik kekhawatiran akan efek negatif bagi kondisi psikologis anak-anak itu berada.
Anak-anak yang masih polos dan cenderung labil dalam berpikir bisa saja salah mengartikan dan salah paham ketika mendapati konten-konten satire tersebut. Bisa saja ketika mereka mendapati konten satire berbunyi “Lebih baik terpenjara selama 6 tahun tapi mendapatkan harta ratusan triliun lewat korupsi. Gak usah capek-capek kerja yaa, kan?”, lantas mereka menganggap bahwa tindakan korupsi ini normal dan boleh kita lakukan.
Peran orang tua menanamkan pendidikan anti-korupsi kepada anak
Kekhawatiran akan hal ini harus menjadi perhatian kita bersama, khususnya para orang tua. Orang tua harus betul-betul menaruh perhatian khusus kepada anak tentang pendidikan anti-korupsi, terlebih di era digitalisasi zaman ini.
Para orang tua harus memberikan pemahaman yang benar soal korupsi kepada anak mereka. Sebagai contoh dalam hal ini, para orang bisa mennyampaikan nilai-nilai pennting tentang pendidikan anti-korupsi yang tersampaikan oleh Kak Awam Prakoso, Pendongeng Hebat Indonesia, melalui akun instagram beliau.
Bahwa harta yang kita dapat tanpa keringat tak ubahnya merupakan api yang perlahan membakar martabat. Korupsi itu bukan sekadar salah langkah, melainkan luka yang mengoyak tanah. Para orang tua seyogyanya juga konsisten ‘membisikkan’ kepada anak mereka bahwa kejujuran adalah mahkota jiwa yang tidak ternilai oleh tumpukan dunia. Ya, lebih baik tangan kosong penuh harga diri daripada menggenggam harta korupsi dengan noda di hati.
Kemudian, di samping memberikan pemahaman seperti di atas, orang tua juga mesti berperan dalam mengawasi penggunaan gadget bagi anak. Mengingat bahwa kebijakan pembatasan usia anak dalam menggunakan gadget di negeri kita belum ada regulasi yang komprehensif dan aplikatif. Hal ini perlu dilakukan agar anak-anak tak menjadi salah paham ketika mendapati konten-konten sensitif seperti konten satire kasus korupsi.
Edukasi tentang Korupsi pada Anak
Dan bila terlanjur mendapati konten-konten tersebut, orang tua mestinya memberikan penjelasan yang benar soal korupsi kepada anak, baik si anak berinisiatif tanya terlebih dahulu maupun tidak. Orang tua harus ‘jemput bola’ menaruh perhatian lebih bagi si anak, semata-mata demi kebaikan bersama.
Terakhir, saya berharap sekaligus mengajak kepada kita semua agar kita sebagai orang tua atau calon orang tua nantinya, berkenan untuk mengimplementasikan pendidikan anti-korupsi kepada anak-anak kita (baik dengan cara sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas maupun cara lain yang kita nilai lebih efektif dan inovatif) yang menjadi generasi penerus bangsa ini kelak.
Minimal ya jangan sampai adegan konyol (tentang anak-anak [dengan literasi pendidikan anti-korupsi rendah] yang ketika dinasehati bahwa maling yang berpendidikan tidak disebut copet, melainkan koruptor. Justru mereka [yang sehari-hari menjadi pencopet di jalanan] malah bersorak sorai: “kami ingin jadi koruptor, hidup koruptor!!!”) dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” terjadi di dunia nyata kita, hehehe…
Demikian ulasan singkat ini. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. []