Mubadalah.id – Pernyataan seorang selebriti “Suara suami adalah dari Tuhan” menyita perhatian sejumlah perempuan yang konsen dengan isu pernikahan/keluarga. Mereka berpikir pernyataan tersebut bisa menjadi dakwah yang akan dipercaya oleh jutaan pengikut akun media sosialnya itu. Terlebih ketika ia bicara tentang kuasa suami dan bagaimana membangun kemesraan pernikahan.
Memercayai tuturan semata-mata karena yang mengucapkan adalah seorang selebriti tentu sebuah kesalahan berpikir. Sedangkan menyandingkan suara suami dengan suara Tuhan adalah sebuah analogi yang rapuh atau equivalensi yang keliru. Pun, maqam ketenaran seseorang tentu tak bisa kita selaraskan dengan tingkat pengetahuan, nalar, apalagi kebijaksanannya.
Pernyataan lengkap yang sempat menghebohkan tersebut yaitu, “Kalau udah berkeluarga, aku udah kepala keluarga, bukan pas waktu tunangan. Izin suami, suara suami adalah dari Tuhan. Kalau aku nggak izin ini, kamu harus nurut; nggak bisa kayak sebelumnya. Istilahnya, hidup kamu sudah diserahkan ke laki-laki yang sudah bertanggung jawab atas kamu. Jadi, nggak ada perdebatan yang soal-soal kayak gini-kayak gitu, nggak kayak kita pas tunangan.” Dari sini kita bisa menangkap bahwa menikah tampak seperti jebakan.
Imajinasi Kolektif Masyarakat Patriarkis
Tentu saja ucapan selebriti tersebut bukan sebuah gagasan baru. Dia sebetulnya hanya meneruskan imajinasi kolektif masyarakat patriarkis yang mengandaikan kekuasaan penuh laki-laki atas jiwa dan tubuh perempuan—sesuatu yang selanjutnya mudah kita cari pembenarannya. Terutama lewat pembacaan literal ayat qawwamah (Surat Annisa ayat 4). Dia sedang mempertontonkan bahwa ia sebetulnya tidak punya bekal pengetahuan dan kesadaran tentang pernikahan kecuali sistem kepercayaan yang dia terima dari lingkungan terdekatnya.
Kunci keluarga adalah pernikahan, dan intinya adalah kemesraan pernikahan itu hubungan dua individu yang berkomitmen untuk membina rumah tanggga. Lebih jelasnya, jika pernikahan bubar, sejatinya semua anggota (secara psikologis) tidak punya lagi keluarga.
Selanjutnya, apabila kemesraan terganggu, secara emosional terjadi perceraian (meskipun secara legal-formal mereka tetap dalam pernikahan dan hidup bersama, tetapi hubungan terasa hampa). Saya yakin, perceraian emosional pada pasangan menikah tentu lebih banyak daripada yang Anda bisa bayangkan.
Syarat Membangun Kemesraan Pernikahan
Kemesraan pernikahan mensyaratkan relasi yang setara; sebaliknya, kuasa dan kontrol hanya memberikan indikasi terjadinya konflik dalam tujuan pernikahan oleh masing-masing pasangan. Jadi, membanggakan kuasa atas pasangan sama saja mengiklankan kepada dunia bahwa ada kontraksi pada tali asih suami-istri.
Variabel dari kuasa dalam pernikahan setidaknya ada tiga: kendali, otorisasi, dan penguasaan sumber daya. Jika dicermati dari ungkapan selebriti tersebut, setidaknya ada dua yang tampak jelas, yaitu kendali (Kamu harus nurut; nggak bisa kayak sebelumnya) dan otorisasi (Hidup kamu sudah diserahkan ke laki-laki yang sudah bertanggung jawab atas kamu).
Sementara itu, penguasaan sumber daya itu contohnya seorang suami membelenggu istrinya dari mendapatkan akses ekonomi, karir dan sejenisnya—kita tidak temukan ini dari kutipan di atas, akan tetapi dua variabel tersebut sudah cukup kita pakai untuk membaca sistem kepercayaan tentang pernikahan yang diimani sepenuh hati oleh selebriti tersebut.
Relasi Kuasa dan Kebebasan dalam Pernikahan
Relasi kuasa dalam pernikahan, selain mengganggu keintiman, secara personal akan menyebabkan hilangnya kebebasan (hurriyah). Banyak orang takut dengan kata “kebebasan” ini, padahal kebebasan akan memberikan kesempatan kita untuk mencintai dan menghormati pasangan dengan tulus.
Kedua, perlindungan diri menjadi terkikis. Dalam hubungan pernikahan, kita tetap membutuhkan perlindungan diri dengan cara mengomunikasikan kepada pasangan tentang apa yang kita bisa terima/tolelir atau tidak. Relasi kuasa tidak akan memberikan kesempatan satu pihak untuk menegaskan hal ini—dari sini kita juga sekaligus bisa membaca etiologi kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Selanjutnya, yang hilang adalah tanggung jawab. Karena ada pihak yang merasa superior, dalam bentuk mengambil tanggung jawab yang tak seharusnya ia pikul, sehingga pihak lain menjadi tidak jelas harus mengurus apa. Akhirnya, situasi ini menciptakan ketergantungan. Mungkin ini yang justru dia harapkan supaya kontrol makin mencengkeram. Sayangnya, tujuan pernikahan yang sakinah bertabur cinta tentu saja tak akan pernah diraih lewat jalan ini.
Dalam Alkitab, pernikahan disebut sebagai misteri. Mungkin karena terlalu banyak orang yang menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi, atau orang memang butuh waktu untuk memahami seluk-beluknya yang rumit. Sementara itu, di Alquran, pernikahan disebut sebagai kesepakatan yang solid (mitsaqan ghalidza)—maksudnya, antara lain, kontrak yang kokoh itu jangan sampai terputus hanya gara-gara salah mengambil pelajaran tentang di mana menempatkan kuasa. []