Mubadalah.id – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) merupakan sebuah perhelatan yang spektakuler dan mengundang perhatian berbagai pihak baik secara nasional maupun internasional. Acara ini tidak saja menjadi media mengirimkan pesan pada dunia tentang keberadaan ulama perempuan dan kekuatan solidaritas yang terbangun.
Secara internal, KUPI juga memberikan kontribusi signifikan terhadap penguatan agensi perempuan. Pada level agensi individual, kongres menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri sebagai ulama perempuan.
Banyak peserta mengakui kebanggaan dan keberuntungannya dapat terpilih sebagai peserta, karena banyak peserta yang tidak diterima dengan alasan keterbatasan tempat.
Kongres secara sosial psikologis menguatkan atau setidaknya menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri sebagai ulama perempuan. Meskipun dalam kenyataannya masih banyak peserta yang merasa belum layak disebut sebagai ulama perempuan. Namun keterlibatan dalam kongres membangun rasa koneksitas dengan komunitas ulama perempuan.
Selain itu, kongres juga menumbuhkan rasa mendapatkan pengakuan publik dan politik atas keulamaan peserta. Hal yang tidak kalah penting adalah bahwa event tersebut menumbuhkan rasa solidaritas dan kekuatan perempuan karena mereka mengetahui bahwa mereka “tidak sendirian.”
Dengan modali sosial tersebut, KUPI akan mendorong perempuan untuk meningkatkan modal kulturalnya, yaitu kapasitas keilmuan, wacana dan keahlian untuk memperkuat keulamaannya.
Mengukur Kekuatan dan Kelemahan Ulama Perempuan
Di balik kehadirannya yang fenomenal, kongres ulama perempuan mengungkap adanya kenyataan bahwa masih banyak kelemahan yang harus diperhatikan oleh kaum perempuan. Di antara kelemahan yang dapat diobservasi selama pelaksanaan adalah ketidaksamaan titik berangkat dalam level pengetahuan dan aksi nyata.
Masih banyak perempuan yang belum memiliki pengetahuan memadai tentang isu kontemporer dan analisis terhadapnya. Sebagai ilustrasi masih ada peserta yang mempersoalkan masalah jilbab dan tidak berjilbab, pekerjaan domestik sebagai kewajiban perempuan saja, dan bahkan poligami.
Persoalan lain yang muncul dengan demikian adalah peran ganda ulama perempuan yang lebih berat daripada ulama laki-laki. Di samping tuntutan yang juga lebih besar. Rasa percaya diri yang kurang dan terbatasnya kreatifitas produktif perempuan serta rendahnya kesadaran lingkungan juga menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai.
Dalam kapasitas pengetahuan, kongres juga menunjukkan masih rendahnya jumlah perempuan dengan pendidikan tinggi (S2 dan S3).
Namun demikian, berbagai kelemahan akan dapat kita atasi secara bertahap, terutama dengan dukungan adanya berbagai kekuatan yang signifikan. Sebagaimana kita uraikan di bagian sebelumnya, kongres ini memiliki kekuatan yang cukup konprehensif, di antaranya:
Pertama, merupakan gerakan perempuan lintas aliran dan organisasi massa, tradisi, etnis dan dsb. Kedua, menunjukkan adanya keseimbangan aktifisme dan intelektualisme.
Ketiga, keseimbangan Ilmu dan Seni. Keempat, kemampuan menciptakan suasana damai, kekeluargaan, kebersamaan dan kesetaraan (anti kekerasan dan diskriminasi) sebagaimana tercermin dalam congress. Kelima, adanya dukungan dan keterlibatan Laki-laki. Keenam, menunjukkan wajah Islam Rahmatan Lil Alamin.