Mubadalah.id – Belum selesai dengan kurikulum merdeka, Menteri Agama Nasaruddin Umar menggagas kurikulum cinta ke dalam struktur pendidikan agama.
Kemunculan kurikulum cinta bagaikan oase di tengah riuhnya krisis kemanusiaan, intoleransi, dan konflik kekerasan yang terjadi di Indonesia. Dengan catatan, semua unsur pendidikan berkomitmen untuk merealisasikannya.
Tentang kurikulum cinta
Kurikulum cinta bukan mata pelajaran baru melainkan terintegrasi ke dalam proses pembelajaran secara holistik. Yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kasih sayang dan harmoni sebagai basis pendidikan karakter peserta didik. Mulai dari jenjang dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.
Kurikulum cinta memiliki lima pilar utama atau “panca cinta”, yaitu cinta kepada Tuhan, sesama, ilmu, lingkungan, bangsa dan negeri.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Prof. Amien Suyitno menegaskan “Kita tidak ingin agama hanya menjadi sesuatu yang normatif, tetapi harus bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari RA hingga perguruan tinggi, kita ingin membentuk individu yang ramah, humanis, nasionalis, dan peduli lingkungan”.
Selama ini, sebagain besar orang memaknai agama hanya sebagai ritual ibadah yang bersifat privat antara hamba dengan Tuhannya. Lebih luas dari itu, setiap agama khususnya Islam menghendaki menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Urgensi kurikulum cinta
Negara kita tidak kekurangan orang pintar. Lulusan sarjana di mana-mana, baik yang dalam maupun luar negeri. Anehnya, banyaknya orang pintar justru beriringan dengan tren kekerasan di Indonesia yang semakin meningkat.
Melansir data dari Setara Institute, sepanjang tahun 2023-2024, angka pelanggaran terhadap KBB (Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) atau kasus intoleransi mengalami tren peningkatan menjadi 477 peristiwa dan 731 tindakan.
Selain itu, laporan Komnas Perempuan di tahun 2024 menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga 339.782 dengan dominasi kasus kekerasan seksual serta KDRT.
Ada lagi, lingkungan menjadi salah satu komoditas yang sangat dirugikan dalam proses pengelolaannya. Menyisir dari berbagai sumber, deforestasi masif mencapai jutaan hektar per tahun di Indonesia, dengan tingkat deforestasi mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang menyebabkan hilangnya 21% hutan Indonesia, serta kerusakan 30% dari terumbu karang yang ada.
Itu semua adalah bukti, bahwa sumber daya manusia kita masih jauh dari nilai-nilai kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup.
Harapannya, kurikulum cinta mampu menjadi angin segar untuk menepis segala sifat tamak, rakus, arogan, acuh, dan merasa paling benar dalam sendi-sendi nurani manusia.
Kurikulum cinta sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw
Ternyata kurikulum berbasis cinta sudah Rasulullah Saw ajarkan sejak dulu di setiap halaqoh intelektual dan kehidupan sehari-hari. Sebagian besar orang Arab saat itu tidak bisa membaca dan menulis. Mereka memanfaatkan kekuatan hafalan dan kejernihan hati dalam mempelajari Islam.
Begitu juga Rasulullah Saw, Ia adalah seseorang yang ummi. Namun bukan berarti tidak bisa membaca dan menulis, melainkan tidak membutuhkan media membaca dan menulis untuk memahami ilmu duniawi maupun ukhrowi.
Tanpa cinta, orang Arab akan sulit menerima ajaran dari Rasulullah Saw dengan kondisi ummi tersebut.
Imam Bushiri menegaskan “Di zaman jahiliyah, sifat ummi Nabi Muhammad itu sudah cukup menjadi mukjizat – dan sebagai bukti gudang ilmu, demikian pula dengan keadaan beliau yang terdidik sebagai anak yatim”.
Sebelum mengajarkan Alqur’an, Rasulullah Saw lebih dulu mengajarkan nilai-nilai kasih sayang yang terbingkai dalam akhlak. Sahabat Nabi memiliki cinta atau mahabbah yang begitu besar sehingga lebih mudah dalam mempelajari Alqur’an.
Bayangkan saja jika sahabat Nabi lebih pandai menghafal Alqur’an namun tidak memiliki nilai-nilai kasih sayang. Pastilah mereka akan mudah menyalahkan orang lain yang tidak sepaham dengannya.
“Ajarilah anak-anak kalian dengan tiga perkara, yaitu cinta kepada Nabi kalian, cinta kepada keluarga Nabi, dan membaca Alqur’an” (HR. Bukhori).
Hadits tersebut adalah bukti bahwa Rasulullah Saw telah merealisasikan kurikulum cinta kepada para sahabat dengan mendahulukan cinta (mahabbah) sebelum mempelajari Alqur’an.
Dengan kurikulum cinta, sahabat Nabi diakui sebagai generasi terbaik dari generasi sebelum dan sesudahnya. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki menyebut madrasah yang diasuh oleh Rasulullah Saw sebagai madrasatu al-mahabbah (madrasah cinta). Sebagai lulusan terbaik dari madrasah terbaik, sahabat Nabi memiliki derajat yang lebih tinggi dari seseorang yang berilmu. Karena mereka hidup bersama dan belajar langsung dengan Rasulullah Saw.
Seperti dawuhnya Maulana al-Habib Muhammad Luthfi bin Yahya “Sebodoh-bodohnya seorang sahabat masih lebih tinggi derajatnya dari pimpinan para wali (sesudah zaman sahabat) ataupun yang memiliki pangkat sulthonu al-auliya”.
Dari sini kita belajar bahwa ilmu bukan satu-satunya perantara dalam menaikkan derajat manusia, melainkan akhlak yang menyatu dengan nilai-nilai cinta dan kasih sayang, yang jauh lebih utama.
Oleh karena itu, kurikulum cinta perlu kita dukung agar terealisasi dalam lingkup pendidikan formal, keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian, niscaya kebencian akan terkikis dengan sendirinya. []