Mubadalah.id – Dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan diciptakan dari asal yang sama—dari ruh dan tanah yang sama, dengan martabat kemanusiaan yang setara di hadapan Allah Swt. Tidak ada kelebihan antara satu jenis kelamin atas yang lain. Yang membedakan hanyalah tingkat keimanan dan ketakwaan.
Perspektif mubadalah yang diperkenalkan oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Qiraah Mubadalah juga menegaskan bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan sejalan dengan ajaran Islam.
Menurut Kiai Faqih, prinsip mubadalah meniscayakan bahwa semua perintah, larangan, pahala, dan hukuman dalam al-Qur’an berlaku secara timbal balik bagi laki-laki dan perempuan, kecuali jika konteksnya secara tegas menyebut sebaliknya.
Dengan demikian, baik laki-laki maupun perempuan adalah mitra setara dalam kemanusiaan. Keduanya sama-sama hamba Allah sekaligus khalifah di bumi yang Tuhan beri mandat untuk memakmurkan kehidupan dan menghadirkan kebaikan bersama.
Dalam konteks ini, Islam menolak keras setiap bentuk pandangan yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Baik dalam tafsir keagamaan maupun dalam praktik sosial.
Karena selama ini banyak narasi keagamaan yang sangat patriarkis—misalnya pandangan bahwa perempuan adalah penyebab turunnya manusia ke bumi, atau bahwa mayoritas penghuni neraka adalah perempuan.
Pandangan semacam ini, menurut Dr. Faqihuddin, bukanlah ajaran Islam. Melainkan hasil konstruksi sosial dan tafsir yang tidak berpijak pada prinsip keadilan.
Beliau menulis bahwa seseorang masuk surga atau neraka bukan karena jenis kelaminnya. Melainkan karena keimanan dan amal perbuatannya.
Jika ada teks hadis yang menyebut perempuan sebagai penghuni neraka karena tidak bersyukur kepada suaminya. Maka secara mubadalah, laki-laki yang tidak bersyukur kepada istrinya juga patut mendapatkan konsekuensi serupa.
Dengan cara pandang ini, mubadalah mengembalikan makna teks ke dalam konteks moral universal bahwa iman dan akhlak adalah dasar penilaian Tuhan. Bukan jenis kelamin atau status sosial. []