• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Laki-laki yang Berjihad Melayani Istri Lebih dari 20 Tahun

Suami tidak rela sang istri dilayani orang lain. Dia mencintainya dan mewujudkan cinta dengan melayaninya. Dia melayani sang istri bukan sehari dua hari, sepekan, atau sebulan. Melainkan lebih dari 20 tahun

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
01/08/2021
in Featured, Keluarga
0
Ulama Perempuan

Ulama Perempuan

1.6k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Aku terkesima membaca kisah nyata, tapi bak dongeng negeri antah brantah. “Ini kisah nyata, bukan fiksi atau imajinasi”, begitu tulisan di WAG Alimat itu dimulai. Tentang kesetiaan seorang suami, yang melayani istrinya sejak jam 02.00 dinihari. Membangunkan, menjerang air, memandikan, membuka dan memberi pakaian, menemani shalat tahajud dan subuh, menyuapi makan, dan kemudian membaringkan kembali ke tempat tidur.

Itu saja? Tidak. Tentu juga bersih-bersih rumah, mencuci pakaian, ngepel dan hal lain yang berkaitan dengan urusan rumah.

Itu saja? Tidak. Ia juga mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak-anak mereka sampai sukses menjadi sarjana semua.

Itu saja kah? Tidak. Dia juga tentu bekerja mencari nafkah, bersosialisasi dengan masyarakat, dan memiliki berbagai kegiatan sosial untuk kemajuan masyarakat, bahkan memimpin sebuah perguruan tinggi Islam.

Lo, kok melayani istri seperti itu? Ya, karena istrinya lumpuh. Ia tak berdaya melayani dirinya sendiri. Suami tidak rela sang istri dilayani orang lain. Dia mencintainya dan mewujudkan cinta dengan melayaninya. Dia melayani sang istri bukan sehari dua hari, sepekan, atau sebulan. Melainkan lebih dari 20 tahun.

Baca Juga:

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Siapa laki-laki yang mulia itu? Dia adalah Profesor Dr. Budi Utomo, Rektor Universitas Muhammadiyah Lamongan (Umla) Jawa Timur. Budi Utomo adalah rektor yang menerima pendirian universitasnya langsung dari Presiden Jokowi. Hal ini jarang terjadi. Saat itu Presiden datang sendiri ke kampus Umla, demi menghormati dedikasi tinggi sang rektor.

Mengapa laki-laki seperti dia tidak terpikir untuk menikah lagi? Inspirasi darimanakah perilaku mulianya itu? Bisakah dedikasinya itu dianggap juga sebagai jihad? Bukankah Nabi Saw pernah mengatakan bahwa kerja-kerja pelayanan dalam rumah tangga adalah juga jihad?

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam al-Bazzar (Musnad al-Bazzar, juz 11, hal. 377, no. hadits: 5209) Nabi Saw pernah menyatakan hal demikian kepada seorang perempuan. Karena itu, lalu populer di kalangan umat Islam bahwa jihad domestik, dengan kerja-kerja rumah tangga, yang dilakukan perempuan kepada suami dan keluarganya, adalah jihad.

Sayangnya, teks hadits ini dipahami masyarakat secara tidak mubadalah. Artinya, dalam pemahaman mainstream, ini hanyalah tentang kerja perempuan atau jihad perempuan. Padahal ini soal kerja rumah tangga yang juga dipandang Islam sebagai kerja-kerja ibadah dan jihad. Karena inti dari kerja-kerja ini adalah memberi kebaikan dan layanan kepada keluarga.

Kan teks haditsnya mengarah pada perempuan?

Begitu biasanya beberapa orang menyela. Dalam Qira’ah Mubadalah yang inti itu maknanya, bukan subjeknya. Intinya kan tentang kerja-kerja melayani pasangan, keluarga, dan rumah tangga. Itulah inti dari jihad itu. Perempuan, disebut dalam teks itu, hanya contoh saja. Tetapi jika dilakukan oleh laki-laki, misalnya suami kepada istri, adalah juga jihad, ibadah, dan berpahala.

Bukankah juga: dalam hadits yang jauh lebih sahih, riwayat Bukhari, Nabi Saw juga melakukan kerja-kerja rumah tangga? (Sahih Bukhari, no. 680, 5417, dan 6108) Setidaknya, jika laki-laki mau meneladani Nabi Saw, ia harusnya bersedia melakukan kerja-kerja layanan rumah tangga (Baca: 60 Hadits Sahih tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam, hal. 255).

Tambah lagi. Bukankah juga ada hadits lain, tentang seorang laki-laki yang akan pergi berjihad, lalu disarankan Nabi Saw untuk melayani ibunya di rumah, sebagai bentuk jihad juga? (Musnad Ahmad, no. 15778). Ini tentang jihad laki-laki di rumah tangga.

Kita tidak perlu bilang: ini kan teks hadits tentang laki-laki kepada ibunya, bukan kepada istrinya? Ya memang, tetapi seharusnya kita fokus pada inti maknanya, yaitu: kerja melayani keluarga yang membutuhkan. Kalau hadits pertama tentang perempuan sebagai subjek, hadits kedua dan ketiga sudah tentang laki-laki sebagai subjek yang melakukan jihad rumah tangga.

Harusnya cukup untuk menggugah laki yang mencintai Nabi Saw mau tandang kerja-kerja domestik, termasuk melayani istri. Mestinya sudah cukup.

Tetapi, seringkali banyak orang masih ingkar, dengan berbagai alasan: bahwa apa yang dilakukan Pak Budi itu memang mulia. Namun, bukan begitu seharusnya jihad laki-laki dalam Islam. Jihad rumah tangga dan melayani keluarga, dalam Islam, hanyalah ajaran yang khas bagi perempuan. Bukan bagi laki-laki.

Entah dari mana kesimpulan pemahaman keagamaan seperti ini. Nyatanya, banyak sekali orang yang berpandangan demikian. Tidak hanya awam, tetapi juga ustadz-ustadz. Terutama para penceramah di media sosial yang sekarang bermunculan bak cendawan di musim hujan.

Mari aku tunjukkan lagi satu hadits sahih, yang jauh lebih sahih dari hadits al-Bazzar tentang jihad rumah tangga bagi perempuan. Hadits sahih ini langsung menyasar laki-laki yang melayani istrinya.

Sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, ada kisah tentang Sahabat Utsman bin Affan ra yang tidak ikut pergi perang Badr karena harus merawat sang istri yang sedang sakit, bernama Ruqayyah putri baginda Nabi Muhammad Saw. Ketika banyak orang meragukan keimanan Utsman ra, karena tidak ikut berperang, Nabi Saw justru menjanjikan pahala kepada Utsman ra sama persis dengan pahala ikut perang Badr.

فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ لَكَ أَجْرَ رَجُلٍ مِمَّنْ شَهِدَ بَدْرًا وَسَهْمَهُ

“Kamu memperoleh pahala yang sama seperti orang yang ikut perang Badr, bahkan juga (berhak memperoleh) bagian (dari rampasan perang)”. (Hadits riwayat Imam Bukhari, no. 3745).

Pak Budi, anda tidak hanya memperoleh cinta karena melayani istri anda, tetapi anda juga berhak menjadi pahlawan Islam, pembawa panji-panji kemuliaan dan kebaikan Islam. Nilai-nilai rahmah, akhlaq karimah, dan mubadalah. Sebagaimana Utsman bin Affan ra, anda juga berhak pahala jihad. Insya Allah anda dan istri wafat dalam husnul khotimah, disambut-Nya di surga dengan penuh senyuman bahagia. Amin. []

Tags: Hadits NabiistriJihad DomestikKeluarga BahagiaKesalinganlaki-lakiMubadalahperempuansuamiSyariat IslamTeladan Nabi
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID