Mubadalah.id – Zaman beralih, musim bertukar. Seiring berjalannya waktu, perempuan turut menunjukkan eksistensi diri dalam berbagai bidang. Bahkan bukti kemampuannya banyak yang telah tercatat dalam sejarah. Demikian pula posisi perempuan yang begitu mulia dalam Islam. Meski demikian, menghilangkan berbagai stereotipe tentang perempuan yang lama tumbuh subur di masyarakat tidaklah mudah. Hingga saat ini kita hidup di zaman modern dengan peradaban yang begitu maju.
Perempuan kerapkali dianggap kurang berdaya dalam beberapa hal. Salah satunya di bidang militer dan kepemimpinan. Selama ini nama-nama pahlawan wanita kurang begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari kita hanya mengenal sosok RA. Kartini. RA.Kartini terkenal sebagai pahlawan emansipasi wanita. Namun selain sosoknya ada banyak pahlawan perempuan lainnya yang turut memberi contoh emansipasi yang nyata dalam berbagai bidang kehidupan. Termasuk di antaranya seorang muslimah pemberani, Laksamana Malahayati.
Laksamana Malahayati, memiliki nama asli Keumalahayati, merupakan cicit dari Sultan Salahuddin Syah. Namanya memang tak seakrab RA.Kartini, bahkan sosoknya baru menjadi Pahlawan nasional pada tahun 2017 lalu. Oleh sebab itu, wajar jika banyak dari kita yang belum mengenal kehebatan seorang Malahayati. Kita sebagai perempuan Indonesia mestilah bangga memiliki sosok pahlawan wanita seperti Malahayati yang di abad ke 16 ia menjadi laksamana perempuan pertama di dunia.
Bahkan ketika di berbagai negara masih banyak perempuan yang mendapat perlakuan diskriminasi. Gelar militer seperti laksamana lumrahnya disandang oleh para pria. Namun Malahayati membuktikan bahwa perempuan juga pantas mendapat gelar tersebut karena kemampuannya. Bahkan dia ditunjuk secara langsung oleh Sultan Alauddin Mansur Syah, untuk menjadi laksamana.
Laksamana Perempuan Pertama di Dunia
Beberapa pustakawan menyebutkan bahwa Laksamana Malahayati merupakan laksama perempuan pertama di dunia modern yang juga menjabat sebagai Pemimpin 2.000 sampai dengan 3.000 lebih armada. Di mana bahkan negara-negara besar baik di Eropa maupun Amerika Serikat tidak memiliki sosok seperti dia. Lalu, bagaimana perempuan seperti Malahayati dapat menjadi seorang laksamana?
Kehebatan Malahayati ternyata tak terlepas dari dukungan orang tua dan keluarganya. Keluarga Malahayati adalah keluarga yang tidak membatasi cita-cita anak perempuannya. Meskipun di masa itu budaya subordinasi terhadap perempuan masih tumbuh subur. Ketika masyarakat luas bahkan masyarakat dunia menganggap perempuan sebagai makhluk nomer dua. Karena dianggap lemah dan tidak cakap kemampuan dalam berbagai hal, Malahayati tumbuh dengan cita-cita ingin menjadi seorang pelaut hebat, layaknya ayah dan kakeknya yang memang seorang laksamana.
Keluarga Malahayati menerbas batas-batas subordinasi tersebut dan mendukung penuh cita-cita Malahayati dengan memasukkannya ke Mahad Baitul Maqdis. Yakni akademi angkatan bersenjata milik kasultanan yang dibangun dengan dukungan Sultan Selim IIdari Turki Utsmaniyah.
Berawal dari dukungan keluarganya, Malahayati dapat meraih cita-citanya menjadi seorang pelaut. Bahkan diangkat menjadi laksamana yang disegani oleh banyak negara. Tercatat dalam sejarah bahwa Jenderal Cornelis de Houtman yang terkenal kejam tewas ditangan Malahayati pada pertempuran satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September 1599.
Panglima Inong Balee
Tak lama setelah suaminya gugur di pertempuran Selat Malaka saat melawan Portugis, Malahayati bersama para janda yang sama-sama kehilangan suaminya di medan pertempuran membentuk armada sendiri dengan dia sebagai panglima Inong Balee. Meskipun prajuritnya para janda, armada pimpinan Malahayati tak main-main. Mereka memiliki benteng di Teluk Lamreh Kraung Raya dan 100 kapal.
Tak hanya di bidang militer, Malahayati juga terkenal sebagai seorang diplomat ulung dan ahli politik dalam negeri. Dia berhasil menjalin ikatan persahabatan dengan utusan Ratu Elisabeth I dari Inggris, yakni Sir James Lancaster. Malahayati juga lah yang dengan kecerdikannya mampu menyelesaikan intrik istana dengan melengserkan putra mahkota dari Sultan Alaiddin Ali yang berencana melakukan kudeta. Lalu mengangkat Darmawangsa sebagai Sultan baru berjuluk Sultan Iskandar Muda yang membawa Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaanya.
Kisah Laksamana Malahayati adalah bukti bahwa perempuan berhak menjadi apa saja yang dicita-citakannya. Selama ini bahkan hingga saat ini masih tumbuh beberapa anggapan akan batasan peran perempuan terutama dalam hal kepemimpinan dan militer. Meskipun telah banyak sosok yang dapat menjadi bukti bahwa menjadi perempuan bukanlah batasan.
Salah satu penyebab adanya subordinasi perempuan khususnya di bidang kepemimpinan dan militer adalah karena kurangnya dukungan keluarga. Perempuan harus berusaha keras untuk menyakinkan keluarganya seperti suami, orang tua, dan anak-anak untuk berkompetisi dalam posisi tertentu. Untungnya semakin ke sini, makin banyak kita temui pemimpin-pemimpin perempuan di berbagai sektor dan jabatan. Bahkan negara Indonesia juga pernah memiliki presiden seorang perempuan. Karena pada intinya menjadi perempuan bukanlah batasan. (bebarengan)