Mubadalah.id – Dalam majelis tahlil, selalu ada irama yang tak tergesa: pelan, mantap, dan penuh kepasrahan. Begitulah kehadiran Bude Jazil—mengalir tenang, namun setiap ucapannya menancap dalam hati. Nama lengkapnya, Nyai Hj Jazilah Yusuf. Orang-orang mengenalnya sebagai Nyai Jazil.
Bude Jazil adalah putri Ny. Hj. Hindun Munawir, cucu dari Kiai Munawir Krapyak Yogyakarta—ulama besar yang meninggalkan jejak kuat dalam tradisi pembelajaran Al-Qur’an di Indonesia. Garis nasab itu seperti mengalirkan takdir: ia hidup sepenuhnya untuk menjaga, merawat, dan menurunkan cahaya Al-Qur’an.
Sejak awal 1980-an hingga awal 2000-an, Bude Jazil menjadi guru ngaji seluruh santri putri di Pondok Pesantren Kempek Cirebon. Di tangannya, Al-Qur’an bukan sekadar bacaan, melainkan cahaya yang menembus hati. Koreksinya lembut tapi tegas; senyumnya menumbuhkan keyakinan bahwa kami sedang belajar di jalan yang diridhai Allah.
Hidupnya ia jalani tanpa suami, tanpa anak. Namun, sepi tak pernah menjadi bagian dari dirinya. Bude Jazil sangat tampak menggantungkan seluruh hidupnya hanya kepada Allah dan menjadikan pengabdian di pesantren sebagai napasnya. Mengurus santri, mengatur kegiatan, dan mengisi waktu dengan mengaji adalah ibadah yang beliau jalani tanpa keluh, seolah setiap detiknya adalah dzikir yang tak putus.
Sepercik Nasihat Nyai Hj Jazilah Yusuf
Nasihat Nyai Hj Jazilah Yusuf sederhana tetapi mengakar. “Sebagai seorang perempuan harus mengabdi dan berkhidmah. Berkhidmah kepada suami, berkhidmah kepada keluarga. Tidak perlu mencari urusan yang tidak bermanfaat. Jika semua itu dilakukan dengan niat ibadah, pahalanya besar sekali.” Pesan lainnya, “Jika tidak mengajar, ya mengaji. Jika tidak mengaji, ya nderes—atau membaca. Jangan senang berbicara hal-hal kosong yang tidak berguna.”
Sebagian orang mungkin memandang kata “berkhidmah” sebagai pagar yang membatasi gerak perempuan. Namun, dari beliau saya belajar bahwa khidmah adalah pilihan sadar: memusatkan tenaga, pikiran, dan waktu pada hal-hal yang membawa maslahat.
Khidmah baginya bukan sekadar bekerja atau melayani, tetapi cara untuk selalu mengingat Allah dalam setiap langkah. Inilah bentuk kuasa yang sunyi—menentukan prioritas hidup dan menolak hanyut dalam kesibukan yang sia-sia.
Seperti firman Allah yang seolah menjadi napas dalam hidupnya:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Maka ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)
Bagi Bude Jazil, mengajar dengan sabar, mengaji dengan khusyuk, memberi dengan ikhlas, dan menjaga lisan dari yang sia-sia adalah bentuk dzikir dan syukur yang hidup. Kebaikan baginya bukan konsep di kepala, melainkan amal yang konsisten, dijalani hari demi hari, tanpa putus.
Kini, sosok perempuan kharismatik itu telah tiada. Namun, setiap kali saya mendengar suara santri melantunkan ayat-ayat di malam hari, saya membayangkan Bude Jazil tersenyum. Warisannya bukan berupa harta atau gelar, melainkan generasi yang lidahnya basah oleh kalam Allah.
Bude Jazil telah berpulang pada Kamis 7 Agustus 2025, tetapi cahaya yang ditinggalkannya tak padam. Dalam dunia yang kerap terjebak pada hal-hal remeh, beliau mengingatkan kami pada inti hidup: mengabdi, mengaji, dan berbuat baik. Di sanalah keberuntungan sejati yang tak akan lekang, bahkan setelah tanah memeluk tubuhnya. Laha al-fatihah. []