Mubadalah.id – “Jumat besok pulangmu jangan sore-sore, ya. Bakda Magrib kita silaturahmi ke rumahnya Pak Zulfikar.”
Baru saja aku duduk, ibuku sudah menyambutku dengan kalimat yang membawa sedikit teror. Kata silaturahmi tak berarti benar-benar hanya silaturahmi. Tersirat pernyataan bahwa ibu dan bapakku akan mengenalkanku pada seorang gadis.
Entah ini sudah usaha mereka yang ke berapa untuk mencarikanku jodoh. Barangkali itu didasari kasih sayang dan ketakutan karena hilal jodoh anaknya belum juga terlihat meskipun usianya sudah kepala tiga.
“Anaknya Pak Zul itu lulusan luar negeri, sekarang jadi dosen,” sambung Ibu. “Namanya Salma. Manis anaknya.”
Sambil minum, aku iseng menoleh ke foto dalam ponsel yang Ibu tunjukkan. Demi Tuhan, aku hampir tersedak. Salma? Salma yang dulu suka gonta-ganti warna rambut, fashionable, supel, dan populer itu?
Sering kali aku tak paham dengan orang yang setengah gila stalking seseorang lewat media sosial. Namun, karena Salma, malam ini aku menertawakan diri sendiri. Kubuka Instagram dan kuketik namanya: Salma Ainina Zulfikar.
Silaturahmi
Bakda Magrib di hari Jumat itu aku, orang tuaku, serta pamanku datang ke rumah Salma. Kami berempat disambut dengan hangat oleh ayah dan ibu Salma. Ruang tamu itu menandakan latar belakang penghuninya dari kalangan akademisi. Di dindingnya tergantung foto-foto anggota keluarga mereka saat wisuda. Lemari kaca berisi buku-buku tebal.
Salma datang membawa minuman. Kulirik dia dengan kaus biru muda dan celana jins, lengkap dengan kerudung pasmina biru tua.
“Handoko ini keponakan Pak Dwi Hartono. Wartawan ya, Nak?” kata Pak Zul.
“Sudah kenal kok, Pak. Dulu satu kampus,” kata Salma sambil menghidangkan minuman dan kudapan.
“Lho, kenapa tidak bilang?” seru Pak Zul.
“Kalau kami bilang sudah kenal, nanti Handoko tidak jadi ke sini untuk kenalan. Wong sudah kenal, mau apa lagi?”
Aku tertawa dalam hati. Tampilannya saja yang kini berbeda. Mulut nyeplos Salma masih sama.
Masak Lewat Aplikasi
Kami beranjak ke meja makan untuk santap malam. Salma dengan sigap menata makanan beserta alat makan di meja. Tersedia nasi, sate, telu balado, cap cay, kerupuk, dan buah.
“Wah, makanannya terlihat enak. Ini Nak Salma yang masak?” tanya ibuku.
“Wah, saya tidak bisa, Bu. Ini semua beli kok, Bu, pakai ojek online,” kata Salma. Kulihat ibu Salma memelototinya sambil mencubit kecil pinggangnya sementara Salma hanya nyengir. Sungguh aku ingin tertawa, tapi berusaha kutahan. Aku menebak-nebak kejutan apa lagi yang akan Salma berikan.
Usai makan, aku menawarkan diri untuk membantu Salma membereskan meja makan dan mencuci piring. Tawaran yang jadi angin segar bagi orang tua kami tentunya. Pertanda bahwa kami mulai dekat, goda mereka.
“Jadi wartawan kamu sekarang?” tanya Salma memecah keheningan antara kami.
“Bukan wartawan. Aku kerja di media online dengan posisi redaktur.”
“Kenapa bilangnya wartawan?” seru Salma.
“Pekerjaanku ini susah didefinisikan, Sal. Jadi, ketika aku bilang aku kerja di media, mereka menyimpulkan bahwa pekerjaanku itu wartawan. Ya sudah, daripada ribet, aku iyakan saja.”
“Belajar apa kamu di Jepang?”
“Studi gender.”
“Wah, gawat. Aku sedang berhadapan dengan lulusan S-3, feminis lagi,” candaku.
“Memangnya kenapa kalau aku feminis?”
Salam tertawa terbahak-bahak. “Bukan berarti aku ini monster.”
“Payah kamu, Sal. Sekolah S-3 jauh-jauh ke luar negeri kok perkara jodoh tetap dicarikan.”
Lagi-lagi Salma tertawa. “Kamu juga payah.”
Aku menghela napas panjang. “Sudah berkali-kali aku ditaarufkan, Sal. Selalu gagal.”
“Tuntutanmu macam-macam pasti,” sergah Salma.
“Aku kan tidak ganteng, luar biasa kaku pula. Gajiku juga tidak cukup banyak untuk menjanjikan kehidupan berlebih. Pernah juga yang aku memilih mundur karena perempuan itu sesungguhnya tidak mau. Tidak mau aku mengawali hubungan dengan keterpaksaan.”
“Ini juga bukan pertama kalinya kok untukku.”
Gantian aku yang menertawakan Salma. “Lelaki mana yang menolakmu? Kamu cantik, cerdas, dan karier bagus begini kok. Dulu saja pacarmu gonta-ganti.”
“Justru itu masalahnya, Han. Katanya aku ini cerewet, tidak lembut, tidak keibuan, tidak pandai masak. Barangkali mereka takut padaku. Ya seperti yang kamu bilang tadi, menghadapi feminis itu kegawatan. Lagi pula…aku sudah tidak perawan.”
Bagai petir di siang hari yang cerah aku mendengar kata-kata Salma. Dulu kami hanya mendengar ini sebagai selentingan di antara kawan-kawan. Aku tak terlalu ambil pusing dengan gosip murahan semacam itu. Kini aku benar-benar mendengarnya dari mulut Salma.
“Kamu tidak kaget, Han?” kata Salma heran. “Tidak ingin bertanya kapan, di mana, dengan siapa?”
Aku mengatur napas untuk mengembalikan kestabilan emosiku sekaligus mengatur kata-kata yang pas untuknya.
“Bukan kapasitasku untuk mengomentari dosa zinamu di masa lalu….”
“Aku mencoba mengawali hubungan yang serius dengan keterbukaan, Han. Nyatanya mereka tidak bisa terima ini. Aku tidak bisa memaksa. Kenapa kamu bisa setenang itu mendengar bahwa aku tidak lagi perawan?”
“Karena…aku sudah…tidak perjaka.”
“Demi Tuhan! Kamu serius, Han?”
Tawaku meledak-ledak hingga perutku mengeras. Bola mata Salma terbelalak, seolah akan lepas dari kelopaknya. “Aku bercanda. Boro-boro, Sal. Ada yang mau saja sudah syukur.”
“Ah, sialan kamu, Han!”
Kulirik jam dinding di ruang makan itu. Sudah hampir jam 8 malam. “Pamit ya, Sal. Terima kasih makan malamnya. Kamu pintar masak ya, tapi lewat aplikasi.”
Salma nyengir. “Lebih baik beli kan daripada kalian datang ke sini hanya kusuguhi air?”
“Sekalipun ini jadi taarufku ke sekian yang gagal, aku senang bisa bertemu denganmu.”
Salma mengernyitkan dahi. “Gagal bagaimana?”
“Kan kita sudah kenal? Sudah tahu bahwa kondisi masing-masing. Ya aku sudah tahu jawabanmu apa.”
“Bagaimana mungkin aku menjawab kalau kamu tidak pernah bertanya? Jujur saja, kamu dulu naksir aku kan?”
Mati aku! Ternyata dia tidak secuek yang aku kira. Dia sadar bahwa dulu aku suka diam-diam memperhatikannya. Perasaan itu tak pernah kusampaikan kepadanya hingga kami wisuda, lalu putus kontak.
“Kamu kan tidak pernah tidak punya pacar. Pacar-pacarmu bikin aku jiper. Ganteng-ganteng, kaya, bermobil, sementara aku ke kampus cuma naik bus.”
“Harusnya dulu kamu tanya, mau tidak aku diajak naik bus. Aku mau kok.”
Aku berkata dengan ragu, “Kalau…sekarang…masih mau tidak?”
“Tentu tidak. Kan kamu punya motor. Kalau kamu mau tidak?”
“Mau apa?”
“Menikah denganku.”
“Apa???”
Jodoh yang Dijebak
Salma benar-benar membuatku serangan jantung. Semua terasa cepat. Beberapa jam lalu aku masih jadi laki-laki yang nyaris putus asa perkara jodoh, lalu detik ini tiba-tiba seorang perempuan melamarku. Lamaran dari Salma.
Barangkali Salma adalah perempuan paling terus terang yang pernah aku temui. Dengan keterus-terangannya, Salma selalu bisa menularkan gairah hidup kepada orang sekitarnya. Tak terkecuali aku dulu, mahasiswa cupu yang selalu semangat masuk kelas supaya bisa melihatnya.
“Kamu kok agresif begini sih, Sal?”
Salma menggebrak meja. “Karena kamu itu pasif! Kalau kamu pasif, aku juga pasif, di mana titik temunya? Jadi, kamu mau tidak?”
“Mau…tapi kan….”
“Tapimu itu tidak penting,” potong Salma. “Cepat putuskan apakah kamu mau menikah denganku meski aku tidak bisa masak.”
Aku mencoba menjawab pertanyaan dan lamaran dari Salma dengan tergagap, “Ya…tidak…apa-apa. Masakanku lumayan kok. Kalau kamu suruh aku hamil dan melahirkan, baru aku repot.”
Dengan cepat Salma berdiri, lalu menarik tanganku. “Ya sudah. Ayo, sebelum aku berubah pikiran!”
Buset! Salma menyeretku ke ruang tamu. Bagi Salma, barangkali jodoh tak cukup dikejar, tapi harus dijebak. Sekalipun masih syok, diam-diam aku bahagia masuk dalam perangkap lamaran dari Salma.
“Pak, Bu, kami sudah sepakat,” seru Salma.
Perbincangan antara orang-orang tua itu terhenti sesaat. Semua mata tiba-tiba tertuju pada kami. “Sepakat? Sepakat untuk apa?” tanya ayah Salma.
“Ya sepakat untuk menikah. Apa lagi?”
Sesaat mereka tertegun, saling pandang, lalu tersenyum sambil mengucap syukur layaknya paduan suara, “Alhamdulillaaaaaaah!” []