Mubadalah.id – Di sebuah pusat perbelanjaan yang ramai di kota metropolitan, terdapat seorang perempuan muda berpakaian rapi dan sopan. Namun, ada satu hal yang mencolok dari penampilannya— ia tidak memakai jilbab, sebuah aksesori yang lazim di kebanyakan kalangan muslimah. Karyawan perempuan ini adalah salah satu dari banyak individu yang terkena dampak larangan berjilbab di sektor pelayanan.
Korban Merek Perusahaan
Dalam mencari pekerjaan, Fira, panggilan akrabnya, memiliki kualifikasi dan keahlian yang kompeten pada bidangnya. Hal yang menarik saat Fira melamar sebagai SPG di beberapa toko di pusat perbelanjaan ini. Ia menghadapi sebuah kebijakan perusahaan yang melarang para karyawan perempuan untuk memakai jilbab. Alasannya? Menjaga keseragaman merek dan citra yang telah mereka bangun dengan hati-hati.
Begitu pula dengan beberapa perusahaan lain di sektor pelayanan seperti hotel dan restoran, banyak menjumpai larangan-larangan serupa. Padahal, para karyawan perempuan ini memiliki keyakinan agama dalam menganggap jilbab sebagai bagian integral dari identitas dan kebebasan beragama mereka.
Dalam memilih pekerjaan, mereka berharap dapat bekerja di tempat yang menghormati kebebasan beragama, dan memfasilitasi praktik keyakinan mereka.
Kenapa Jilbab Jadi Polemik?
Dalam pertemuan saya dengan Fira, saya memberanikan diri untuk mengulik lebih jauh tentang pengalamannya ini. Fira mengaku bahwa ia selalu dihantui rasa bersalah dengan tindakannya, tetapi mendepatkan pekerjaan lebih sulit baginya. Perasaan dilema antara mengorbankan identitas dan keyakinan agama mereka atau mencari pekerjaan lain yang lebih menghormati kebebasan beragama terus menjadi polemik dalam kehidupan Fira.
Larangan berjilbab ini menghasilkan ketidakadilan yang tidak bisa diabaikan. Fira merasa terjebak di antara pengorbanan untuk mendapatkan pekerjaan dan mempertahankan nilai-nilai agamanya. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, perlindungan terhadap kebebasan beragama menjadi semakin penting.
Para pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa perusahaan sedang berusaha menjaga keseragaman dan citra merek yang telah mereka bangun, sehingga pelamar yang seharusnya menyesuaikan diri. Di sisi lain, banyak yang mencoba mengkritisi hal ini bahwa kesetaraan dan inklusivitas adalah prinsip yang tak terpisahkan dalam masyarakat modern.
Kesadaran terhadap kebebasan beragama menjadi salah satu fondasi dasar harus ada agar mampu menghormati dan menjaga keberagaman ini. Banyak negara di seluruh dunia telah mengakui pentingnya melindungi kebebasan beragama individu.
Dalam beberapa kasus, hukum telah memberlakukan prinsip atas regulasi melindungi hak-hak ini. Mengabaikan kebebasan beragama dalam kebijakan perusahaan berpotensi melanggar prinsip-prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi yang telah menjadi hak asasi manusia.
Bagaimana Seharusnya Bersikap?
Dalam perjuangan melawan larangan berjilbab ini, para perempuan Muslim yang bekerja di sektor pelayanan seperti Fira adalah bukti nyata bahwa kekerasan dan diskriminasi perempuan masih banyak terjadi. Fira adalah contoh penindasan kaum elit pada otonomi tubuh perempuan.
Mengapa dalam kasus ini Fira tidak dapat dipersalahkan? Fira adalah wajah ribuan perempuan dan kelompok rentan lainnya yang tidak mendapatkan kesempatan atau previlage lebih. Perusahan memiliki power yang lebih dominan, dengan kebijakannya seharusnya mampu menghadirkan inklusivitas untuk perempuan memilih menggunakan jilbab atau tidak.
Perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab memberikan alternatif model berpakaian yang ramah bagi pengguna jilbab dan yang tidak. Sehingga, permasalahan kontrol atas ketubuhan perempuan tidak lagi menjadi sebuah polemik yang terus berulang.
Fira dan teman perempuan lain yang senasib dengannya juga mendapatkan pengakuan dan keadilan. Mereka ingin hak mereka untuk bekerja tanpa harus mengorbankan identitas agama mereka. Masyarakat harus terus berusaha untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, menghormati kebebasan beragama, dan mendorong keragaman sebagai kekuatan yang memperkaya kita semua. []