Mubadalah.id- Beberapa waktu lalu, seorang teman bercerita dengan mata berkaca. Ia terluka, bukan oleh laki-laki, melainkan oleh sesama perempuan. “Belum sempurna seorang perempuan kalau belum hamil, dan melahirkan. Kasihan suaminya,” begitu kalimat yang diucapkan temannya.
Temannya yang mengucapkan kalimat itu bahkan membandingkan dirinya dengan bangga. Ia berkata tubuhnya subur, sekali berhubungan dengan suami pasti berhasil.
Saya pikir, ia mungkin tidak sadar, atau bahkan tidak mengerti bahwa kesuburan bukan ukuran kesempurnaan. Selain itu, rahim bukan satu-satunya bukti menjadi perempuan.
Saya pribadi belum menjadi ibu. Ketika mendengar cerita itu, hati saya ikut sakit. Kata-kata itu tidak hanya menyakiti teman saya, tapi juga banyak perempuan lain yang belum punya anak, termasuk saya sendiri.
Adalah fakta bahwa masyarakat seringkali mengukur nilai perempuan dari sesuatu yang bahkan bukan sepenuhnya dalam kendali mereka.
Patriarkhi Berwajah Perempuan
Kalimat seperti “belum sempurna karena belum punya anak”, lahir dari budaya yang telah lama menanamkan bahwa perempuan tercipta untuk melahirkan.
Kesempurnaan perempuan diukur dari perannya sebagai istri dan ibu. Nilai ini kemudian menjadi “warisan” dari generasi ke generasi, bahkan oleh perempuan itu sendiri.
Ironisnya, dalam sistem seperti ini, perempuan sering menjadi penjaga nilai patriarkal tanpa mereka sadari. Mereka merasa sedang menasihati, padahal sedang menilai dan meruntuhkan kepercayaan diri perempuan lain.
Ini merupakan bentuk halus dari patriarki, yang tidak hanya lewat kontrol laki-laki, tapi juga melalui lidah perempuan yang telah mewarisinya.
Luka yang Tak Terlihat
Bagi sebagian orang, kalimat itu mungkin terdengar sepele. Namun, bagi perempuan yang berjuang dengan kesuburan, kalimat itu bisa menjadi sumber luka yang panjang.
Rasa bersalah, rasa kurang, dan rasa tidak sempurna sering tumbuh diam-diam di balik senyum. Perempuan yang tak kunjung hamil sering merasa dirinya gagal, padahal tubuh manusia tidak selalu bekerja sesuai keinginan dan rencana.
Yang lebih menyedihkan, komentar penilaian seperti itu sering datang dari orang-orang terdekat: teman, tetangga, dan bahkan mungkin saudara sendiri. Kalimat yang seharusnya memberi dukungan justru berubah menjadi penilaian.
Kesempurnaan Perempuan Ada pada Ketakwaannya
Menurut pemikiran ulama perempuan seperti Bu Nyai Badriyah Fayumi, nilai dan kesempurnaan perempuan tidak ditentukan oleh kemampuan biologis, tetapi oleh ketakwaan dan kontribusi kemanusiaannya.
Dalam berbagai kesempatan, Bu Nyai Badriyah Fayumi sering menekankan pentingnya perempuan untuk terus belajar, berkarya, dan berdaya, karena setiap perempuan adalah khalifah fil ardh.
Sementara itu, Prof. Siti Ruhaini Dzuhayatin, melalui kajian-kajiannya tentang kesetaraan gender dalam Islam, menunjukkan bahwa peran perempuan tidak boleh dibatasi oleh tafsir sempit tentang kodrat biologis semata.
Pandangan ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak bergantung pada jenis kelamin, status pernikahan, atau kemampuan melahirkan, akan tetapi pada ketakwaan dan amal kebaikan.
Bagaimana Kita Menyikapi Kalimat Itu
Ketika kita menjadi korban dari kalimat seperti ini, penting untuk mengingat bahwa fungsi tubuh tidak menentukan nilai diri. Tidak ada yang kurang dari perempuan yang belum hamil, melahirkan, atau tidak memiliki anak.
Daripada membiarkan kata-kata itu tumbuh menjadi luka, kita bisa memilih untuk menumbuhkan hal lain, yakni rasa syukur dan kebahagiaan atas apa yang sudah ada dalam hidup kita.
Kita bisa fokus pada hal-hal yang memberi makna, seperti kasih sayang kepada sesama, karya yang bermanfaat, dan kebaikan yang bisa kita tebarkan di lingkungan sekitar kita.
Setiap perempuan punya jalannya sendiri menuju kebahagiaan.
Dan ketika kalimat seperti itu datang lagi, kita tidak harus membalas dengan kemarahan. Cukup dengan senyum dan keyakinan dalam hati, “aku baik-baik saja dan aku sudah utuh dengan caraku sendiri”.
Belajar untuk Saling Menyembuhkan
Menjadi perempuan di dunia yang penuh standar sudah cukup berat. Maka, sesama perempuan seharusnya menjadi tempat bernaung, bukan saling menghakimi.
Solidaritas perempuan dimulai dari kesadaran bahwa tidak ada satu cara tunggal untuk menjadi perempuan yang “sempurna”.
Kita bisa menjadi perempuan utuh tanpa anak, tanpa pasangan, tanpa memenuhi ukuran dan standar orang lain. Kesempurnaan sejati lahir dari penerimaan diri dan kasih yang kita sebarkan, bukan dari rahim, tapi dari hati.
Pilihan
Mungkin perempuan yang dulu berkata “belum sempurna kalau belum punya anak” tak bermaksud jahat. Ia hanya mengulang suara yang sudah lama hidup dalam pikirannya, yakni suara warisan masyarakat yang mengukur perempuan dari perannya, bukan dari kemanusiaannya.
Namun, di titik ini, kita bisa memilih berbeda. Kita bisa mulai memutus rantai luka itu, berhenti menilai tubuh dan pilihan hidup perempuan lain. Mari saling mendukung kebahagiaan satu sama lain, tanpa menilai dan menghakimi. Women support women. []








































