Mubadalah.id – Di balik tepuk tangan penonton yang meriah dan sorot lampu panggung yang gemerlap, siapa sangka ada kisah kelam yang tersembunyi dalam dunia hiburan sirkus di Indonesia. Kasus eksploitasi yang menimpa mantan pemain sirkus OCI (Oriental Circus Indonesia) baru-baru ini mencuat ke permukaan dan menyedot perhatian publik. Bukan hanya tentang pelanggaran hukum, tapi juga luka batin yang mendalam, terutama bagi perempuan-perempuan yang menjadi korban.
Para mantan pemain sirkus akhirnya memberanikan diri untuk angkat suara setelah bertahun-tahun bungkam. Mereka mengungkap berbagai bentuk kekerasan yang dialami: dari kekerasan fisik, verbal, penyiksaan, hingga eksploitasi terhadap perempuan dan anak di bawah umur. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, melainkan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius.
Speak Up
Dalam salah satu video yang tayang di kanal YouTube Forum Keadilan TV, empat orang terlihat berbincang mengenai kasus ini. Reza Indragiri tampil sebagai host, didampingi Chak Sholeh selaku pengacara korban, serta dua penyintas, Vivi dan Butet, yang mengungkapkan kisah pilu mereka sebagai korban eksploitasi OCI. Suasana dalam video itu sunyi—bukan karena tidak ada suara, tapi karena kisah yang dibagikan begitu memilukan.
Vivi adalah satu dari banyak anak yang direkrut sejak usia dini untuk tampil di atas panggung. Ia tidak pernah merasakan dunia sekolah, tidak tahu rasanya belajar di kelas, dan bahkan tidak mengetahui siapa orang tuanya. “Saya besar di sana, di lingkungan sirkus. Tapi rasanya seperti penjara,” ungkapnya lirih.
Ia pernah mencoba kabur dari rumah sirkus di Cisarua, Bogor, dan sempat bersembunyi selama tiga hari. Namun, persembunyiannya terendus. Vivi mendapat paksaan untuk kembali oleh security bos sirkus.
Apa yang terjadi setelah itu adalah mimpi buruk: ia disiksa, dipukul, bahkan disetrum di beberapa bagian tubuhnya. Dan yang paling menyakitkan, ia dipasung selama dua minggu dengan rantai besar oleh pemilik sirkus, Frans dan istrinya.
Harapan datang dari seseorang yang tak terduga. Vivi akhirnya berani bercerita kepada guru silatnya—sosok yang kemudian membawanya kabur ke Semarang dan akhirnya menjadi suaminya. Namun, luka-luka yang ia tinggalkan pada masa lalu tidak bisa hilang begitu saja. Tubuh dan jiwanya menyimpan trauma yang terus menghantuinya hingga kini.
Cerita serupa datang dari Butet, korban lainnya. Ia juga mengalami penyiksaan selama bekerja di OCI. Butet bahkan sempat hamil, dan bukannya mendapat dukungan, ia justru dirantai selama dua bulan sebagai bentuk hukuman. “Saya tidak sempat menyusui anak saya. Bahkan saat dia lahir, langsung dipisahkan,” ujarnya sembari menahan air mata.
Rantai Eksploitasi
Dua tahun berselang, Butet akhirnya bertemu kembali dengan anaknya. Tapi harapan untuk menjalin kedekatan kandas. “Anak saya bahkan tidak mengenal saya,” ucapnya dengan nada getir.
Yang lebih menyakitkan lagi, sang anak ternyata dijadikan korban berikutnya: dilatih menjadi pemain sirkus sejak kecil. Rantai eksploitasi itu seolah tidak pernah putus.
Kisah Vivi dan Butet mencerminkan betapa sistematisnya praktik eksploitasi ini dijalankan. Bukan hanya tubuh mereka yang direnggut, tapi juga masa depan, hak pendidikan, dan bahkan hak menjadi ibu. Satu demi satu, hak-hak dasar itu dilucuti oleh industri yang seharusnya menjadi tempat berkarya, bukan menyiksa.
Publik pun mulai tersadar. Di balik sorotan lampu sirkus yang memukau, ternyata ada penderitaan mendalam yang selama ini tersembunyi. Kasus ini membuka mata kita tentang pentingnya perlindungan hukum dan penegakan keadilan di industri hiburan, terutama yang melibatkan anak-anak dan perempuan.
Apa yang para korban alami adalah pelanggaran terhadap hak dasar sebagai manusia. Negara seharusnya hadir, bukan hanya setelah kasus meledak, tetapi jauh sebelumnya: dengan pengawasan ketat, regulasi yang berpihak pada korban, dan perlindungan hukum yang tegas terhadap pelaku.
Penting juga bagi masyarakat untuk memahami bahwa tidak semua gemerlap berarti indah. Edukasi mengenai hak-hak pekerja, terutama bagi perempuan dan anak, menjadi hal krusial agar mereka tidak mudah termanipulasi dan tereksploitasi.
Kita perlu menghapus praktik-praktik buruk yang selama ini ditoleransi atas nama “tradisi” atau “hiburan”. Dunia sirkus—atau dunia hiburan apapun—tidak boleh menjadi tempat penyiksaan. Ia harus menjadi ruang aman bagi semua pekerja di dalamnya, termasuk perempuan dan anak-anak.
Kisah Vivi dan Butet bukan hanya cerita lama yang baru mereka buka, tapi juga pengingat keras bahwa keadilan masih menjadi barang mahal bagi mereka yang paling lemah. Sudah saatnya kita berhenti memalingkan wajah dari kenyataan dan mulai berdiri bersama mereka yang berani bersuara. []