Mubadalah.id – Salah satu dewan penasehat ulama perempuan (KUPI), KH. Husein Muhammad menjelaskan bahwa terlepas dari perdebatan yang demikian luas dan beragam pandangan mengenai penafsiran atas ayat jilbab di atas.
Maka pemakaian penutup kepala dan tubuh perempuan tersebut dimaksudkan sebagai mekanisme perlindungan terhadap perempuan dalam tradisi dan etika sosial Arabia saat itu.
Problemnya, menurut Buya Husein, belakangan ini persepsi umum memperlihatkan bahwa berjilbab atau berhijab menjadi ukuran perempuan yang baik-baik, salehah dan berakhlak karimah. Ini problem krusial.
Pertanyaannya, kata Buya Husein, adalah apakah ada jaminan bahwa perempuan berjilbab/berhijab/berkerudung rapat adalah pasti seorang perempuan yang baik, saleh dan berakhlak mulia?
Demikian pula sebaliknya, apakah perempuan yang tidak berjilbab/berhijab/berkerudung rapat pasti perempuan yang berakhlak rendah, bukan perempuan saleh?
Realitas sosial memperlihatkan kepada kita bahwa banyak perempuan yang tak berjilbab/berkerudung ketat justru lebih saleh dari perempuan yang berjilbab/berkerudung ketat. Bahkan, menurut Buya Husein, pada masa lalu, selama berabad-abad, di negeri ini, ibu-ibu dan para istri ulama besar hanya mengenakan kerudung dengan membiarkan sebagian rambut dan leher tetap terbuka.
Para suami mereka yang ulama itu tidak pula memasalahkannya. Tetapi tidak juga menolak kenyataan bahwa banyak pula perempuan yang berjilbab berakhlak mulia dan salehah. Ini sesuatu yang relatif saja.
Buya Husein mengungkapkan bahwa ada hal yang menarik sekali dari pandangan Dr. Muhammad al-Habasy, direktur Pusat Kajian Islam Damaskus, Siria ini. Ia mengatakan:
“Seorang perempuan dapat memilih pakaiannya sendiri untuk berbagai keperluan dan keadaan. Akan tetapi ia bertanggung jawab atas pilihannya itu di hadapan masyarakatnya dan di hadapan Allah. Ia punya hak sosial dengan tetap menjaga kesopanan dan kehormatan dirinya. Akan tetapi mewajibkannya untuk semua perempuan dalam segala situasi atas nama agama, sebagaimana yang berkembang di sejumlah Negara Islam dewasa ini adalah tidak realistis dan menyalahi petunjuk Nabi dan keluwesan dan keluasan fiqh Islam”. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah”, Dar al-Ahbab, Damaskus, Cet. V, 2001, hlm. 67-68). (Rul)