• Login
  • Register
Selasa, 24 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Selamat Jadi Magister Istriku, Menikah Bukan Alasan Berhenti Bermimpi!

Mendukung istri menjadi perempuan karir dan menggapai mimpi-mimpinya menjadi keharusan suami, begitu pun sebaliknya. Akan tetapi, kesepakaatan-kesepakatan terkait kesalingan peran publik-domestik serta komunikasi internal keluarga juga tidak boleh diabaikan

Irfan Hidayat Irfan Hidayat
22/07/2022
in Pernak-pernik
0
Menikah Bukan Alasan Berhenti Bermimpi

Menikah Bukan Alasan Berhenti Bermimpi

863
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Selamat jadi Magister istriku sayang“, itulah kalimat yang saya sampaikan kepada perempuan yang luar biasa, perempuan dengan penuh tekad untuk menggapai mimpinya. Ia adalah istri saya yang begitu saya cintai. Karena menikah bukan alasan berhenti bermimpi bagi seorang perempuan. Ketika tulisan ini saya buat, ia baru saja menyelesaikan studi magisternya di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Betul! kami dipertemukan oleh kampus istimewa tersebut. Tepatnya ialah ketika Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang entah bagaimana Allah SWT merencanakan ini semua hingga kami menjadi sepasang suami istri. Sampai saat ini, saya sebenarnya masih terheran-heran mengingat perempuan usil dan sering membuat saya berpikir dari pertanyaan-pertanyaannya seputar keadilan perempuan ketika masa KKN dulu, kini menjadi teman hidup saya untuk selamanya.

Setelah menikah, hari demi hari kami lalui dengan penuh semangat. Akan tetapi, melihat dan mengingat bahwa istri saya memiliki cita-cita yang ia ucapkan beberapa hari sebelum kami jadian dulu, membuat saya merasa ganjil. Ganjil rasanya ketika saya tidak mampu mendukungnya untuk meraih mimpi, meski secara perlahan dan bertahap. Atau ketika dia sepenuhnya harus mengurus urusan domestik dengan melupakan semua karir yang ia harapkan.

Alhamdulillah, saya dan istri sama-sama sepakat terkait pembagian peran dalam keluarga (publik-domestik). Bagaimana buku Qiraah Mubadalah dengan tandatangan Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, menjadi motivasi sekaligus paduan kami dalam menjalani hari sebagai keluarga kecil untuk belajar kesalingan dalam rumah tangga. Insyaallah sebentar lagi bertambah Kartu Keluarga (KK) kami. Dan insyaallah, kesepakatan ini akan tetap kami jalankan hingga hari tua, hari di mana anak cucu kami membaca tulisan-tulisan kami termasuk di mubadalah.id.

Istri Menjadi Perempuan Karir, Kenapa Tidak?

Melihat tangis bahagia istri saya ketika telah menyelasaikan S2-nya, saya semakin yakin bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk meraih mimpi, meski sudah berstatus sebagai istri. Menikah bukan alasan berhenti bermimpi.

Hal itu saya lihat dari bagaimana istri saya berjuang untuk menyelesaikan studinya. hal ini ia lakukan di tengah kesibukannya sebagai seorang istri sekaligus voluntir salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Yogyakarta. Bahkan, ia tetap menekuni bisnis pakaian tradisional yang kami rintis dari sebelum menikah.

Baca Juga:

Menyoal Tubuh Perempuan sebagai Fitnah dalam Pemikiran Fikih

Urgensi Ijtihad Fikih yang Berpihak Kepada Perempuan

Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

Belajar dari Khansa binti Khidam Ra: Perempuan yang Dipaksa Menikah Berhak untuk Membatalkannya

Mengenai karirnya ke depan, saya hanya bisa mendukung, mengusahakan, dan mendoakan yang terbaik. Selebihnya, Allah SWT yang berhak menentukan. Namun, memiliki istri yang menjadi perempuan karir bukan lah hal yang dapat diterima oleh semua orang. Termasuk masyarakat yang berada di sekitar kita.

Stigma terhadap istri yang bekerja atau menjadi perempuan karir masih dinilai negatif oleh beberapa masyarakat. Istri yang melakukan peran domestik masih sering dianggap sebagai perempuan yang hanya mementingkan pekerjaan dan mengabaikan peran lain (mengurus rumah tangga). Padahal, setiap keluarga memiliki hak untuk melakukan kesepakatan terkait pembagian peran dan tidak ada Undang-Undang atau peraturan lainnya yang melarang hal itu.

Islam Mendukung Perempuan Karir

Begitu pun dalam Islam. Menurut Faqihudin Abdul Kodir dalam tulisannya yang berjudul: “Islam Mendukung Perempuan Berkarir di Ruang Publik“, menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW juga mendukung perempuan yang berkarir.

Hal itu terdokumentasikan Syekh Abu Syuqqah dalam 6 volume Tahrir al-Mar’ah fi Asr ar-Risalah (1995), bahwa terdapat banyak teks hadits yang mencatat keterlibatan para perempuan di ruang publik pada zaman Nabi SAW, baik dalam bidang pengetahuan, pendidikan, kerja-kerja ekonomi, maupun sosial budaya. Contohnya ialah Siti Aisyah bint Abi Bakr ra, yang merupakan perawi lebih dari 6000 teks hadits, ahli tafsir, dan juga fiqh.

Biasanya, anggapan bahwa laki-laki bertugas di ranah publik, sedangkan perempuan mengurus ranah domestik seringkali menggunakan dalil QS. An-Nisa Ayat 34 yang artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas yang lain (perempuan) …….”.

Rusdiyana (2021), dalam penelitiannya yang berjudul: “Interpretation QS. an-Nisa’: 34 Perspectives of Amina Wadud Muhsin and The Implication of Her Thinking In Indonesia“, mengutip pendapat KH. Husein Muhammad terkait tafsir QS. An-Nisa Ayat 34 yang harus kita pahami dari segi sosiologis dan kontekstual.

Ketika turun ayat tersebut, perempuan di masyarakat jahiliyah anggapannya tidak berharga sama sekali. Sehingga, penyebutan perempuan dalam ayat Al-Qur’an adalah kemajuan luar biasa. Serta merupakan petunjuk mengenai penerapan ‘maslahat’ untuk situasi dan kondisi nyata yang terjadi ketika ayat itu turun.

Hal tersebut jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi sekarang. Sejarah modern telah mejadi realita sosial yang membuktikan bahwa banyak perempuan yang mampu melakukan tugas-tugas yang selama ini anggapannya hanya objek monopoli kaum laki-laki. Perempuan di masa sekarang mempunyai kemampuan untuk ikut andil dalam dunia profesi atau wanita karir. Maka, angapan bahwa pekerjaan perempuan hanya sebatas pekerjaan rumahan merupakan anggapan kurang bahkan tidak tepat.

Implementasi Mubadalah dalam Keluarga

Menurut K.H. Faqihuddin Abdul Kodir, prinsip kesalingan mubadalah pada dasarnya adalah menekankan pada prinsip kesalingan antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan. Melalui prinsip kesalingan ini, sebagaimana laki-laki yang ingin dihormati pilihannya, diakui keberadaannya, didengar suaranya, serta dipenuhi segala keinginannya, maka berlaku juga bagi perempuan untuk mendapatkan perlakuan yang serupa.

Perspektif mubadalah mencerminkan suatu keadilan dan kesetaraan dalam relasi antara suami dan istri. Yakni mendorong kerja sama yang partisipatif, adil, serta memberi manfaat bagi keduanya tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Ruang publik tidak hanya suami berikan, dan ruang domestik juga tidak hanya terbebani bagi istri semata. Partisipasi keduanya (publik dan domestik), harus kita berikan secara adil meskipun melakukannya melalui model, cara, serta pilihan yang berbeda-beda.

Kemudian, terdapat hadits riwayat Ahmad, ath-Thabrani, dan ad-Daruqutni yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain”. Hadits ini menjelaskan bahwa jalan untuk menjadi manusia yang paling baik ialah dengan memberi manfaat kepada manusia lain. Memberikan manfaat ini dapat kita lakukan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan memaksimalkan potensi dan peluang yang kita miliki serta berkarya di bidang masing-masing.

Beberapa penjelasan tersebut sangat cukup menjadi alasan untuk tidak terjadi lagi pengekangan dalam keluarga. Terlebih melarang istri untuk berkarir dan menggapai mimpi dan cita-citanya. Setiap manusia, baik laki-laki atau perempuan, suami atau istri, tetap memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah komunikasi internal dalam keluarga. Komunikasi menjadi hal penting dalam implementasi prinsip mubadalah dalam keluarga dalam upaya belajar menghadirkan kemaslahatan. Hal ini dapat kita mulai dengan menerapkan konsep maṣlaḥah ta’awun. Saling memberikan bantuan/kontribusi, motivasi atau dukungan antara istri dan suami, hingga tetangga atau masyarakat sekitar.

Untuk itu, mendukung istri menjadi perempuan karir dan menggapai mimpi-mimpinya menjadi keharusan suami, begitu pun sebaliknya. Akan tetapi, kesepakaatan-kesepakatan terkait kesalingan peran publik-domestik serta komunikasi internal keluarga juga tidak boleh kita abaikan.

Sekali lagi, selamat jadi Magister istriku sayang. mari bersama-sama mewujudkan mimpi dan cita-cita kita! []

Tags: kesalingan keluargaperempuanperempuan bekerjaperkawinanperspektif mubadalah
Irfan Hidayat

Irfan Hidayat

Alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa

Terkait Posts

Khitan perempuan

Membongkar Dalil Lemah di Balik Khitan Perempuan

24 Juni 2025
Fitnah Perempuan

Mengkaji Ulang Fitnah Perempuan dalam Pandangan Agama

24 Juni 2025
Tubuh Perempuan Sumber Fitnah

Stigma Tubuh Perempuan sebagai Sumber Fitnah

23 Juni 2025
fikih perempuan

Menyoal Tubuh Perempuan sebagai Fitnah dalam Pemikiran Fikih

23 Juni 2025
Seksualitas Perempuan

Seksualitas Perempuan dalam Fikih: Antara Penghormatan dan Subordinasi

23 Juni 2025
Debat Agama

Kisah Salim dan Debat Agama

23 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bias Kultural

    Bias Kultural dalam Duka: Laki-Laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membongkar Dalil Lemah di Balik Khitan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingkah Melabeli Wahabi Lingkungan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kasus Francisca Christy: Ancaman Kekerasan di Era Digital itu Nyata !!!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berbagi dan Selfie: Mengkaji Etika Berbagi di Tengah Dunia Digital
  • Kasus Francisca Christy: Ancaman Kekerasan di Era Digital itu Nyata !!!
  • Bias Kultural dalam Duka: Laki-Laki Tak Boleh Sepi, Perempuan Harus Mengisi
  • Membongkar Dalil Lemah di Balik Khitan Perempuan
  • Bukan Tak Mau Menikah, Tapi Realitas yang Tak Ramah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID