Mubadalah.id – Kepergian Prof. Dr. KH. Ali Yafie turut dirasakan oleh Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, KH. Marzuki Wahid, MA.
“Inaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun, duka mendalam, atas kepulangan ke rahmatillah guru kita, kiai kita, dan acuan moral kita, Angurutta Prof. Dr. KH. Ali Yafie,” tulis Kiai Marzuki Wahid dalam unggahan di laman Facebooknya, pada Sabtu 23 Februari 2023.
Seperti diketahui, KH. Ali Yafie dikabarkan wafat tadi malam, pukul 22:13 WIB, pada Sabtu, 25 Februari 2023.
Kiai Marzuki, menyampaikan bahwa ia bersaksi, KH. Ali Yafie adalah ulama-kiai-cendikiawan yang kongruen dan konsisten antara pikiran, hati, dan tindakan. Situasi boleh berubah dan keadaan boleh bergeser, tapi prinsip moral dan dasar nilai bagi beliau haruslah tetap tegak lurus menjadi landasan perubahan tersebut.
Sebagai Ketua Umum MUI dan Rais Aam PBNU, KH. Ali Yafie, lanjut kata Kiai Marzuki tidak hanya ‘alim ‘allamah dalam fiqh dan Ushul fiqh, tetapi juga menguasai pengetahuan kontemporer secara memadai.
Oleh karena itu, ilmu-ilmu keislaman dalam pikiran dan tindakannya sangat kontekstual dan responsif terhadap perubahan sosial.
“Saya sangat beruntung sekitar tahun 2007an dapat kesempatan untuk menjadi tukang ketik beliau pada saat beliau menulis buku “Menggagas Fiqh Lingkungan Hidup”. Saya bisa sering berjumpa, duduk bareng, makan bareng, berdiskusi, dan sekaligus juga belajar banyak tentang fiqh lingkungan hidup,” jelasnya.
Sikap Tawadlu KH. Ali Yafie
Bahkan, sangking tawadlunya, meskipun tulisan beliau tentang lingkungan hidup sangat memadai, tetapi beliau tidak berkenan bukunya dengan judul “Fiqh Lingkungan Hidup”, tetapi “Menggagas Fiqh Lingkungan Hidup”.
Dalam buku ini, beliau mengusulkan untuk menambahi “hifdh al-bi’ah” (perlindungan lingkungan hidup) dalam maqashid asy-syari’ah (tujuan utama syari’at Islam).
Sehingga tidak lagi adl-dlaruriyat al-khams (lima prinsip dasar), tetapi menjadi adl-dlaruriyat as-sitt (enam prinsip dasar), bahkan adl-dlaruriyat as-sab’ (tujuh prinsip dasar) karena hifdh an-nasl (perlindungan keturunan) itu berbeda dengan hifdh al-‘irdl (perlindungan martabat).
Dalam buku ini juga, beliau berpendapat bahwa hifdh an-nafs (perlindungan jiwa) dalam maqashid asy-syari’ah lebih kita dahulukan/utamakan dari pada hifdh ad-din (perlindungan agama).
Alasannya, kita tidak bisa menjalankan dan melindungi agama dengan baik dan sempurna jika jiwa kita tidak terlindungi, kesehatan kita terganggu, dan keadaan tidak kondusif untuk menjalankan agama.
Banyak sekali pikiran-pikiran progresif beliau yang layak kita catat dan jadikan acuan bagi pengembangan “Fiqh Indonesia”.
KH. Ali Yafie dan Gus Dur
Mantan Sekretaris Lakpesdam PBNU itu mengungkapkan, KH. Ali Yafie dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam mengemudikan PBNU itu sesungguhnya adalah pasangan yang ideal.
Ibarat mobil yang melaju kencang ke depan dalam mengejar perubahan zaman, Gus Dur adalah gas, KH. Ali Yafie adalah rem-nya. Mobil tetap melaju kencang ke depan, tetapi permainan gas dan rem yang seimbang itu sangat kita butuhkan.
Semoga KH. Ali Yafie segera bertemu dengan Gus Dur di surga-Nya yang terindah. Amin.
Akhirnya, sebagai seorang santri kami hanya bisa berdoa:
قدّس الله روحه وغفر ذنوبه ونوّر ضريحه ورحمه رحمة الأبرار وأسكنه مساكن الأخيار في جنات تجري من تحتها الأنهار. مع النبيين والصديقين والشهداء والصالحين الأطهار. ٱمين ياسميع الدعاء
[]….وله الفاتحة